Jumat, 27 Januari 2012

Filsafat, Ilmu dan Agama




“Aku Berfikir Maka Aku Ada” Begitulah Socrates menggambarkan keberadaannya. Baginya akal adalah segalanya dan merupakan pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Ia berfilsafat untuk hidup karena dengan berfikir maka eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan.

Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang ada. Sedangkan ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dari waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan lain sebagainya.

Lalu adakah hubungan antara filsafat dengan ilmu? suatu pertanyaan yang sangat mendasar mengingat kedua kata tersebut bukanlah sesuatu yang asing terdengar di kalangan masyarakat umum apalagi di kalangan akademisi. Oleh karena itu, saya akan berusaha menjabarkan pengertian filsafat dan ilmu itu sendiri.

Filsafat berasal dari kata yunani yakni Philosophia yang merupakan kata majmuk yang terdiri atas Philo dan Sophia. Philo artinya Cinta. Dalam arti luas yaitu Ingin dan karena itu lalu berusaha untuk menggapai apa yang diinginkan. Sophia artinya Kebijaksanaan. Jadi orang yang cinta kepada ilmu pengetahuan disebut Philosophos atau Filosof. Kata Philosophia ini pertamakali dikemukakan oleh Heraklitos. Menurutnya, Philosophos (ahli filsafat) harus mempunyai pengetahuan yang kuat sekali sebagai pengejawantahan dari kecintaannya kepada pengetahuan.

Jadi, secara linguistic filsafat dapat diartikan sebagai keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijaksanaan atau keinginan yang kuat untuk menjadi bijak.

Sebenarnya ada banyak sekali definisi tentang filsafat akan tetapi perbedaan-perbedaan dari definisi itu menurut Abu Bakar Ajjeh (1970:9) disebabkan karena konotasi filsafat yang juga didorong oleh keyakinan hidup masing-masing. Oleh karena itu tidak salah apabila ada asumsi yang mengatakan bahwa filsafat merupakan sesuatu yang sangat rumit dan jelimet, hal ini sesuai dengan ungkapan bahwa filsafat adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai.

Ilmu adalah Suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah, empiris dan logis (Theo Marc. 1990.59). Ilmu adalah segala sesuatu yang yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti yang kongkrit (Atang Munaja. 1988.125). Dari pengertian-pengertian ini dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku haruslah mempunyai paradigma (positivistic paradigm) serta metode-metode yang jelas (scientific method) yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara gamblan (transparan)

Korelasi Filsafat, Ilmu dan Agama

Filsafat yang mengedepankan eksplorasi logika yang insyaf, radikal dan bebas ternyata tidak selamanya mampu memberikan solusi terbaik kepada manusia. Filsafat dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami kemajuan (passif). filusuf hanya bisa berfikir tanpa bisa mengekspresikan hasil pemikirannya dalam bentuk yang lebih praktis. inilah yang membingungkan. Maka lahirlah Ilmu (sains) yang menjadi cabang atau pemekaran dari filsafat itu sendiri yang tidak hanya mengandalkan kekuatan logika semata, tetapi sudah berupaya menjabarkan dengan bukti2 empiris dan rasional melalui riset-riset atau uji coba yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun lagi-lagi hal itu tidak cukup untuk menjawab dan menyelesaikan problematika kehidupan karena kerapkali dijumpai teori (ilmu) yang tidak sesuai dengan realita, pun sebaliknya, realita tidak selamanya harus dibarengi dengan teori. Oleh karena itu manusia terus mencari solusi guna menjawab tantangan-tantangan tersebut, yaitu dengan agama.

Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan sains (ilmu).

Filsafat lahir dari ketakjuban. Inilah yang dikatakan Plato dalam Theaetetus (CPD 155d) yang dikemukakan oleh para filusuf selama berabad-abad. Ketakjuban di sini bukanlah hanya bengong dan diam belaka melainkan timbulnya rasa penasaran yang sangat kuat yang mendorong untuk mencari kepuasan dari ketakjuban tersebut, namun usaha ini tidak pernah berakhir karena filsafat tidak akan pernah berakhir selama akal manusia masih ada.

Juga sains, ia lahir dari ketakjuban para filusuf yang berusaha mencar kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains melengkapinya dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah berusaha bangkit dari ke-mandeg-an yang selama ini menjadi predikat tetap filsafat. Sains sudah mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya dengan berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat tenang dan bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.

Dalam sains juga terdapat banyak perbedaan yang mengemuka, salahsatunya adalah perbedaan Newton dan Einstein dalam empat komponen analitis yaitu zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Natural Prinsipia mathematica (1686) menganggap empat komponen itu sebagai sesuatu yang absolut. hal itu ditentang oleh Enstein dalam bukunya The Special Theory of Relativity (1905) bahwa keempat komponen tersebut adalah relatif karena tidak mungkin bisa mengukur sesuatu dengan sesuatu yang absolut.

Perbedaan ini menimbulkan bebagai macam keraguan di kalangan masyarakat umum, yang bisa menjadikan keabsrutan dan kesimpangsiuran dalam mencari solusi problematika kehidupan.

Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral yang disebabkan ilmu daapat menjadikan manusia dalam malapetaka yang cukup besar. Dewasa ini ada terdapat kurang lebih 40.000 reaktor nuklir di seluruh dunia dengan kekuatan 1.000.000 kali bom atom yang diledakkan pihak sekutu di Hiroshima beberapa yang tahun yang lalu. Dengan kekuatan ini mudahlah manusia menghancurkan dunia , tidak banyak yang dapat kita harapkan apabila para pembuat nuklir itu berseteru dengan saling menghancurkan. Harapan kita hanya satu, mereka mempunyai sedikit kesadaran moral yang bisa membimbing keilmuan mereka untuk dapat ditransformasikan ke jalan yang benar.

Dengan beberapa kekurangan serta kelemahan filsafat dan ilmu, kita bisa menyempurnakannya dengan moral (agama) yang bisa menjadi mediator guna menyempurnakan kedua konsep tersebut utnuk bisa diaktualisasikan dalam kehidupan duniawi yang praktis. Karena agama memiliki dua unsur yang menjadi ciri khas keduanya (filsafat dan ilmu). Agama tidak hanya bersifat dogmatis belaka namun juga bisa berlogika dan memberikan pembuktian-pembuktian yang empiris, riil, logis, sistematis. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang memang menjadi ending dari filsafat dan ilmu dapat direalisasikan dengan konsep kebenaran hakiki yang dimiliki agama.


http://filsafat.kompasiana.com/2010/11/27/paradigma-filsafat-ilmu-dan-agama/

***************

Catatan :

Ilmu, Filsafat ataupun Agama sama-sama bertujuan dan berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.

Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan exploirasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.

Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah.

Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman(Annshari, 1996:158-160).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar