Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama,
lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan).
Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al
Qadar: 1). Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat
selanjutnya (yang artinya), “Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat
dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar:
3-5). Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan
jumlah tak terhingga. Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan
sampai terbitnya waktu fajar. (Zaadul
Maysir, 6/179)
Kedua,
lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di
lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” Mujahid dan Qotadah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah
shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000
bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.
Ketiga,
menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR.
Bukhari no. 1901)
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul
Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Carilah
lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”
(HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Terjadinya
lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam
genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Carilah
lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”
(HR. Bukhari no. 2017)
Lalu
kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani telah
menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang
paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau
adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Fathul Baari, 6/306, Mawqi’ Al Islam Asy Syamilah).
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin
juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua
tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala.
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada
sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no.
2021)
Para
ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti
terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal
ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti
malah orang-orang akan bermalas-malasan.
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat
dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang
dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana
terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu
‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu,
jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di
dalamnya?”
Beliau menjawab,
”Katakanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni
(Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)
Beliau menjawab,
”Katakanlah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni
(Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)
Tanda Malam Lailatul Qadar
Pertama,
udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Lailatul qadar adalah
malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu
dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR.
Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)
Kedua,
malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan
tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada
hari-hari yang lain.
Ketiga,
manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada
sebagian sahabat.
Keempat,
matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar.
Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Shubuh
hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip
bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174)
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul
qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul
qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang
yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Di bulan
Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan.
Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan
luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Oleh
karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu
dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia
dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”
(HR. Muslim no. 1175)
Seharusnya
setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya
dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam
tersebut. ‘Aisyah mengatakan, “Apabila Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan),
beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari
berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”
(HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
Sufyan
Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam
tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksana kan
shalat jika mereka mampu. (Latho-if
Al Ma’arif, hal. 331)
Adapun
yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam
dengan ibadah dan bukan seluruh malam. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama
Syafi’iyah. Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat,
bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah).
Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar
berdasarkan hadits, “Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala
dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR.
Bukhari no. 1901)
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir
pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak, “Bagaimana
pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang tidur (namun
hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari
lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan
bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian
malam tersebut.” (Latho-if Al
Ma’arif, hal. 331)
Dari
riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa
mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak
boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan
amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah: (1)
Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf, (2) Berdzikir dengan memperbanyak
bacaan tasbih (subhanallah),
tahlil (laa ilaha illallah),
tahmid (alhamdulillah)
dan dzikir lainnya, (3) Memperbanyak istighfar, dan (4) Memperbanyak do’a.
(Lihat pembahasan di “Al Islam
Su-al wa Jawab” pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753)
Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah
mewafatkan beliau. Inilah penuturan ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar,
untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat
dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu. (HR. Bukhari
no. 2026 dan Muslim 1172)
Beberapa
hal yang harus diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.
Pertama, i’tikaf harus dilakukan
di masjid dan boleh di masjid mana saja. I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di
masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “(Tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”
(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di
rumah sama sekali.
Menurut
mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman
Allah di atas (yang artinya) “Sedang
kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari
Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak
ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan
masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih dipersilisihkan
statusnya, apakah marfu’
(sabda Nabi) atau mauquf (perkataan
sahabat).
Kedua, wanita juga boleh
beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun
wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: (1) Diizinkan oleh
suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).
Ketiga, yang membatalkan i’tikaf
adalah: (1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang
mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa
dilakukan di luar masjid), (2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan
Surat Al Baqarah: 187 di atas.
Keempat, hal-hal yang dibolehkan
ketika beri’tikaf di antaranya: (1) Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti
keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam
masjid, (2) Melakukan hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain,
(3) Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya, (4)
Mandi dan berwudhu di masjid, dan (5) Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Kelima, jika ingin beri’tikaf
selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai
memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul
Fithri menuju lapangan.
Keenam, hendaknya ketika
beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir,
bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan
menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
(pembahasan i’tikaf ini disarikan dari Shahih
Fiqih Sunnah, 2/150-158)
Semoga
Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan
amalan ketaatan. Hanya Allah-lah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]
At Tauhid edisi V/37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar