Sabtu, 04 Agustus 2012

Tentang Puasa



Tujuan dan Keutamaan Puasa

Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45).

Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.

Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji.

Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.

Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.

''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi).

Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.

Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT. 

Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.

Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.

Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.

Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.

Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).

Jenis Puasa dalam Islam

 

Dalam Islam dikenal berbagai macam puasa, :


Pertama, puasa wajib, yang meliputi puasa Ramadhan, puasa kafarat (denda atau tebusan), dan puasa nazar. Puasa kafarat adalah puasa yang dilakukan seseorang karena sebab-sebab tertentu, seperti bersetubuh di siang hari bulan Ramadahan. Sedangkan, puasa nazar adalah puasa yang diwajibkan atas seseorang karena suatu nazar.

Kedua, puasa haram.  Puasa bisa menjadi haram hukumnya jika dilakukan pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Puasa pada hari tasyrik atau 11, 12, dan 13 Zulhijah juga hukumnya haram. Bahkan, puasa sunah seorang istri yang dilakukan tanpa izin suaminya juga hukumnya haram. Puasa yang dilakukan seorang wanita dalam keadaan haid dan nifas juga haram.

Ketiga
, puasa sunah. Salah satunya, puasa Senin-Kamis, serta puasa Nabi Daud AS – sehari puasa, besoknya tidak.

Keempat
, puasa makruh. Puasa jenis ini terbagi menjadi tiga macam.  Pertama, puasa hari Jumat, kecuali beberapa hari sebelumnya telah puasa. Kedua, puasa wisal. Yakni puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan dan minum pada malam harinya. Ketiga, puasa dahri atau puasa yang dilakukan secara terus menerus. 



Berkah Makan Sahur


Rasulullah SAW pernah menjelaskan melalui sabdanya, "Beda antara puasa kami dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim dan Abu Daud).

Allah SWT mewajibkan puasa kepada kaum Muslimin, seperti Dia telah mewajib­kannya kepada Ahli Kitab sebelum Muhammad SAW Pada mulanya. Waktu dan hukumnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan kepada Ahli Kitab sebelum Muhammad, yaitu tidak bcieh makan, tidak boleh minum, dan tidak boleh bersetubuh lagi sesudah tidur (selama waktu puasa).

Kemu­dian Rasulullah SAW melakukan sunah makan sahur, lain dari apa yang dilakukan Ahli Kitab yang terdahu­lu Rasulullah SAW menamakan makan sahur itu bagai At-Ghidza At-Mubarak. Kata beliau. "Mari makan Ghidza' Al-Mubarak, yaitu makan sahur."

Makan sahur itu merupakan suatu keberkahan, karena ia mengikuti sunah Rasulullah. Tujuannya, menguatkan orang yang puasa dan menambah semangat orang untuk terus berpuasa karena ringan dan berkurangnya beban yang diderita. Allah SWT melipatkan ampunan dan rahmat-Nya kepada orang-orang yang bersahur.

Begitu pula para malaikat-Nya memohon ampunan untuk mereka, memintakan limpahan karunia-Nya. Supaya mereka dibebaskan Al- Khaliq dari kesempitan akal, kekerdilan hati, kejumudan, dan segala hal yang merugikan dalam bulan turunnya Alquran ini.

Mengundurkan makan sahur hingga sebelum fa­jar sangat terpuji, karena Rasulullah dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur, kemudian sesudah sele­sai makan langsung Nabi Muhammad saw pergi menunaikan shalat Subuh.

Antara usai makan sahur Nabi SAW dan pergi shalatnya itu kira-kira sebanyak orang membaca 50 ayat Alquran. Mengenai sunah ini dikatakan, kare­na kebiasaan orang Arab mengira-ngirakan waktunya dengan pekerjaannya. Maka Zaid pun mengisya­ratkan pada bacaan ayat Alquran, selain untuk meng­isyaratkan juga bahwa masa Ramadhan adalah wak­tu ibadah, dan bacaannya tentu saja dengan pema­haman.

Adapun makan sahur seorang Mukmin yang paling utama ialah buah kurma. Sabda Rasulullah SAW, "Sebaik-baik makan sahur seorang Mukmin ialah kurma."

Namun, bagi yang tidak memiliki makanan sahur, tetap dianjurkan untuk minum meskipun hanya seteguk air. Nabi Muhammad SAw menjelaskan, "Makan sahur se­luruhnya berkah, janganlah kalian meninggalkannya Meskipun hanya minum seteguk air, karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur."

Rasulullah SAW juga bersabda, "Siapa yang hendak berpuasa hendak- bersahur meskipun hanya sedikit."

Untuk itu, sangat dianjurkan untuk manfaatkan kesempatan mendapatkan pahala besar yang disediakan oleh Allah Yang Maha Rahman dan Rahim buat mereka yang bersahur itu.

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang laki-laki dari sahabat Nabi SAW mengatakan, "Saya pergi menemui Nabi SAW sedang makan sahur, lalu Beliau SAW bersabda, "Ia (sahur) suatu keberkahan yang diberikan Allah ke­pada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan dia.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar