Senin, 28 Januari 2013

Anak-Anak Yatim Pengukir Sejarah



Islam menempatkan anak yatim pada posisi istimewa. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya apabila anak yatim dipukul dan menangis, guncanglah arsy Allah SWT. Pada saat itulah Allah bertanya, ‘Hai malaikat-malaikat-Ku, siapakah yang menyakiti anak ini?’.” Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barang siapa melindungi anak yatim dengan makanan dan minumannya, Allah SWT mewajibkan surga baginya.”

Di ranah peradaban Islam kita mengenal tokoh-tokoh Islam yang mengawali perjuangan mereka sejak kecil ketika mereka menjadi yatim. Selain Nabi Muhammad SAW, teladan dari semua teladan anak yatim, sebut saja Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, dan lain-lain. Keyatiman mereka tidak membuat mereka terpuruk, malah sebaliknya, bangkit meraih kehidupan yang lebih bermartabat. Mereka telah mengukir sejarah dengan karya-karya mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Ahmad bin Hanbal lahir pada Rabi’ul Awwal tahun 780 H di Baghdad.

Ketika masih kanak-kanak, ia sudah ditinggal sang ayah untuk selamanya. Sejak itu, hanya ibunyalah yang mengasuhnya dan menyekolahkannya di madrasah, untuk menimba ilmu-ilmu agama, menghafal Al-Quran, dan mempelajari bahasa Arab.
 

Ketika memasuki umur 15 tahun, ia baru mengawali mempelajari hadits dan menghafalnya. Dan ketika menginjak usia yang ke-20, ia mengawali perjalanannya untuk menimba ilmu. Dalam perjalanan ilmiyahnya itu, ia menuju Kuffah, Makkah, Madinah, Syam, Yaman, dan kembali ke Baghdad.

Keprihatinannya saat menjadi yatim membuahkan keteguhan dalam jiwanya. Ia menjadi sosok yang penyabar, berpendirian kuat, dan berani mengungkapan kebenaran.

Kepribadiannya ini tampak terlihat jelas saat ia berhadapan dengan Khalifah Al-Makmun Al-Abbasi pada tahun 212 H, penganut paham Mu’tazilah, yang memaksanya untuk mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Pendiriannya bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah bagaikan tonggak yang menancap kuat yang tidak terpengaruh oleh maklumat Khalifah Al-Makmun tersebut. Hingga akhirnya ia dipenjara. Sejak saat itu, separuh hidupnya dihabiskan di dalam penjara Dinasti Abbasiyyah.

Imam Syafi’i


Pribadi yatim lain yang teguh dan kuat adalah Imam Syafi`i (150-204 H). Nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin As-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hisyam bin Al-Mutallib bin ‘Abdu Manaf bin Qusaiy bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Luaiy bin Ghalib Al-Qurasyi Asy-Syafi‘i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada Abdul Manaf.

Ia lahir di Ghazzah atau Ghuzzah, sebuah kota pelabuhan di selatan Palestina yang kini dikenal dengan sebutan Jalur Gazza, pada tahun 150 H. Tahun lahirnya Imam Syafi’i bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Hanifah. Seakan keduanya diciptakan untuk saling menggantikan maqam keimaman dalam ranah kefiqihan.

Ayahnya meninggal ketika ia belum genap berusia dua tahun. Karena khawatir gagal mendidik anaknya di negeri orang, ibunda Imam Syafi’i membawa putranya hijrah ke kota asal leluhurnya, Makkah Al-Mukarramah. 

Sejak kecil Syafi’i dikenal cerdas dan mempunyai hafalan yang kuat. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ia telah hafal Al-Qur’an di usia lima tahun. Selain menghafal Al-Qur’an, ia juga banyak menghafal syair sastra Arab yang indah. Syafi’i muda juga dikenal sangat pandai dalam ilmu bahasa Arab.

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru ilmu fiqih kepada mufti kota suci itu, Muslim bin Khalid Az-Zanji. Karena ketekunannya, semua ilmu fiqih dilalapnya dengan cepat. Ia juga cerdas dan benar-benar seorang yang berbakat menjadi mufti.

Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang luar biasa itu dan mengizinkannya memberi fatwa, meski usia Imam Syafi’i waktu itu baru 15 tahun. Sungguh luar biasa. Menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah, tempat yang begitu mendunia yang dihuni oleh puluhan ulama besar dan didatangi jutaan umat manusia setiap tahunnya.

Meski keilmuan fiqihnya sudah diakui oleh semua pihak, Imam Syafi’i tak berpuas diri. Ketika mendengar bahwa di Madinah (Masjid Nabawi) ada seorang alim besar yang ilmunya sangat luas dan mendalam, ia tergerak untuk mendatanginya dan berguru kepadanya. Ulama itu adalah Imam Malik bin Anas, pendiri Madzhab Maliki.

Tapi ada satu masalah yang mengganjal. Majelis Imam Malik adalah majelis khusus untuk ulama besar, bukan untuk remaja berusia belasan tahun. Namun Imam Syafi'i pantang mundur. Dengan tekad baja, ia menghafal Al-Muwaththa,' kitab tebal berisi ribuan hadits yang disusun oleh Imam Malik, dalam tempo sembilan hari. Berbekal hafalan itu ia mendaftarkan diri dan diterima oleh Imam Malik.

Puas menyerap semua ilmu Al-Imam Malik, Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Kemudian ia hijrah lagi ke Baghdad pada tahun 183 H M untuk menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, ulama besar Madzhab Hanafi dan murid langsung Imam Nu’man bin Tsabit Al-Hanafi.

Imam Ahmad bin Hanbal, murid utama Imam Syafi’i saat di Makkah, berkata tentang sang guru, “Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al-Quran dan as-sunnah. Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i.”

Sufyan Ats-Tsauri


Nama lengkapnya Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’. Ia lahir di Kuffah pada tahun 97 H/715 M. Kakeknya termasuk salah satu tabi’in terkemuka dan ikut bersama Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal. Ayah Sufyan adalah salah satu ulama Kuffah. Hal ini yang mungkin menjadikan Imam Sufyan Ats-Tsauri sudah menuntut ilmu ketika dirinya masih belia.

Ayahnya meninggal dunia ketika ia belum genap berusia sembilan tahun. Sejak saat itu, ibunya yang merawat, mengasuhnya, dan mengarahkan dirinya untuk belajar hadits di masjid.

Suatu hari, ibunya membuat tenunan, lalu menjualnya dengan harga sepuluh dirham. Kemudian ia memanggil Sufyan, “Putraku, ini ada uang sepuluh dirham. Pergi dan gunakanlah uang ini untuk belajar hadits di masjid. Kemudian, perhatikan, jika kamu melihat apa yang kamu pelajari memiliki pengaruh terhadap akal, hati, dan perbuatanmu, datanglah kemari lagi. Nanti akan Ibu beri uang sepuluh dirham lagi, untuk kamu gunakan menuntut ilmu. Namun, jika kamu tidak menemukan pengaruh tersebut, tinggalkan saja ilmu itu, karena ilmu tidak bersedia ikut kecuali dengan orang yang ikhlas, tulus, dan sungguh-sungguh.”

Sejak kecil, Sufyan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan sangat menonjol di dalam berbagai disiplin ilmu, terutama di bidang hadits dan fiqih, sehingga melambungkan namanya dalam dunia keilmuan Islam.

Seperti halnya Imam Malik yang disebut sebagai “tokohnya” Makkah dan Imam Abdurhman Al-Auza’i sebagai tokohnya Syam, Imam Sufyan Ats-Tsauri adalah tokohnya Kuffah. Jumlah hadits yang diriwayatkan Imam Sufyan tak kurang dari 30 ribu hadits. Diceritakan oleh Yahya bin Yaman, ia telah meriwayatkan 20 ribuan hadits yang melalui Sufyan Ats-Tsauri.

Dalam ranah fiqih, Imam Sufyan Ats-Tsauri terkenal dengan kemampuan berijtihadnya yang banyak mengandalkan logika dalam bentuk qiyas.

Dalam berfatwa, Imam Sufyan Ats-Tsauri dikenal sangat berhati-hati. Tak jarang seseorang yang datang kepadanya untuk meminta fatwa harus menunggu selama berhari-hari bila sang imam ragu atas salah satu hadits yang dihafalnya. Imam Sufyan akan meminta waktu untuk memeriksa semua catatan haditsnya buat memastikan kebenaran dalil atas fatwa yang akan dikeluarkannya.

Selain Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Sufyan Ats-Tsauri, masih banyak anak yatim lain yang berhasil mengukir sejarah. Di antaranya, Imam Bukhari, penyusun kitab Shahih Bukhari, Ibnu Qayyim Al-Jauzi, pakar ilmu-ilmu Islam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar