Senin, 28 Januari 2013

Sekutu yang Gemar Berkhianat







Allah swt menegaskan, definisi al falaah (kemenangan) adalah ketika kita selalu memperbaiki, menata, dan membersihkan  hati. Sedangkan kerugian adalah ketika kita membiarkan hati kita kotor, mendiamkan penyimpangannya, mengabaikan noda yang ada di dalamnya. “Sungguh telah menang orang yang mensucikan (hati)nya. Dan telah rugi  orang yang mengotori (hati)nya.” (QS Asy Syams : 9-10).

Mari perhatikan sekali lagi, ciri kemenangan dan kekalahan yang disampaikan Allah swt itu. Karenanya, para salafushalih sering menekankan pentingnya muhasabah (menghitung dan mengevaluasi) diri. Dikatakan oleh Maimun bin Mahran rahimahullah, “Orang yang bertakwa, sangat detail mengevaluasi dirinya daripada seorang penguasa yang jahat, dan melebihi seorang rekan kerja yang kikir pada hartanya.” Maimun juga mengatakan, “Seseorang tidak akan disebut sebagai orang bertakwa, hingga ia memeriksa dan mengevaluasi  dirinya lebih detail daripada seorang rekan kerja yang kikir terhadap hartanya”.

Seberapa sering kita berbicara pada diri sendiri tentang apa yang telah kita lakukan?
Seorang shalih bahkan lebih detail menyebut karakter jiwa kita. Ia mengibaratkan usia kita, anggota tubuh kita, pikiran kita, seluruh  yang ada  pada diri kita dalam hidup ini adalah modal, asset, harta yang harus dipelihara bahkan diberdayakan untuk meraih kebahagiaan di dunia dan yang pasti di akhirat. Katanya, “”Jiwa ini, seperti sekutu yang gemar berkhianat. Jika ia tidak diperiksa dan dievaluasi, ia akan mencuri harta milikmu”. 

Bagaimanapun tingginya ilmu seseorang, luasnya pengetahuan yang dimiliki, banyaknya ibadah yang dilakukan, tetap saja karakter hatinya tidak pernah berubah. Hati akan tetap menjadi “asy syariik al khawwaan”, sekutu yang gemar berkhianat. Persis ungkapan Al Qur’an bahwa karakter jiwa kita adalah “ammarratun bissuu’”, sering mengajak pada keburukan. Karenanya, Hasan Al Bashri menguraikan arti dari orang mukmin adalah, “orang yang selalu mencaci dirinya dalam setiap keadaannya. Orang yang selalu menganggap kekurangan diri, lalu menyesali dan mencaci dirinya sendiri”. Sedangkan orang yang faajir (banyak berdosa) adalah orang yang terus berjalan tanpa mencaci dirinya sendiri.”

Mari membersihkan dan meluruskan jiwa kita, sekarang. Mengembalikan niatan yang menyimpang, meluruskan kembali lintasan pikiran yang tidak sesuai keridhaan Allah swt, menyadarkan, mendidik dan memberitahu hati dan jiwa tentang kekurangan – kekurangannya dalam melaksanakan hak – hak Allah swt. 

Mari melihat Malik bin Dinar rahimahullah, ketika ia memuji orang yang meluruskan, membersihkan, mengingatkan dirinya sendiri dengan kekurangan dan mengatakan, “Semoga Allah swt merahmati seorang hamba yang mengatakan pada dirinya sendiri: ‘Bukankah kamu melakukan ini? Bukankah kamu melakukan itu?’ Lalu orang itu menghina dan mengikatnya dengan Kitabullah dan menjadikannya sebagai pemimpin jiwanya.”

Bila setiap orang Mukmin sangat memerlukan sikap meluruskan jiwanya, tentu saja sikap itu lebih dibutuhkan  lagi  bagi seorang pemimpin, seorang pendakwah, atau seorang yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan orang banyak. Seperti ungkapan Imam Ali radhiallahuanhu yang menasehati  para pemimpin, para pendakwah dan orang – orang yang melakukan perbaikan diantara manusia, “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya sebagai pemimpin bagi manusia, hendaknya ia memulai dengan meluruskan dan mendidik jiwanya terlebih dahulu sebelum meluruskan dan mendidik orang lain. Hendaknya ia meluruskan sikapnya, sebelum meluruskan lisannya. Mengajarkan jiwa sendiri dan meluruskannya, itu lebih utama daripada mengajari orang lain dan meluruskan mereka.”

Kita semua adalah pemimpin. Karena setiap kita memiliki tanggung jawab dalam tingkatan yang berbeda.  Kita semua adalah pendakwah. Karena setiap kita memang wajib menjadi pendakwah, mengajak kepada kebaikan, menghalangi kemungkaran di wilayah yang berbeda – beda. Kita semua adalah penggerak ke arah kebaikan, karena kita selalu ingin kehidupan ini berubah ke arah yang lebih baik. 

Membina dan membimbing jiwa dan hati sendiri harus lebih diprioritaskan ketimbang membina dan membimbing orang lain. Ada perkataan sangat dalam dan menyentuh tentang hal ini, diungkapkan oleh Syaikh Ahmad Rasyid, seorang pendakwah yang banyak mendalami masalah jiwa. “Seseorang yang bila engkau memandangnya tidak menjadikan jiwamu terbimbing dan tersadar, ketahuilah bahwa orang itu juga bukan orang yang pandai membimbing dan menyadarkan jiwanya sendiri”.

Orang – orang shalih terdahulu mempunyai perilaku yang begitu indah, sirah hidup yang harum, akhlak yang terpuji, sehingga mereka mampu membimbing, meluruskan orang lain sekedar mereka melihat dirinya sendiri. Itulah yang kita dapat dari kisah – kisah tentang para Imam terdahulu, semisal Imam Malik dan Imam Hasan Al Bashri. Murid para imam mengatakan, bahwa melihat keduanya memberi manfaat bagi mereka, meski keduanya tidak mengucapkan kata – kata.

Tengoklah hati ini. Lihat jiwa ini. Luruskan dia, bimbing dia, sadarkan dia. Agar benar – benar terpelihara. Karena di jalan yang kita lalui, terlalu banyak persimpangan. Dan di persimpangan itu terlalu banyak tarikan yang bisa menyimpangkannya dari jalan yang seharusnya kita tempuh.

Wallahu ‘alam bishawab.


Sebuah nasehat Ruhani dari Ust. M Lili Nur Aulia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar