Rabu, 23 Januari 2013

Tafsir Surat Al Al - 'Ashr





“Demi masa!” (ayat 1). Atau demi waktu ‘Ashar, waktu petang hari seketika bayang-bayang badan sudah mulai lebih panjang daripada badan kita sendiri, sehingga masuklah waktu sembahyang ‘Ashar. Maka terdapatlah pada ayat yang pendek ini dua macam tafsir.
Syaikh Muhammad Abduh menerangkan di dalam Tafsir Juzu’ Amma bahwa telah teradat bagi bangsa Arab apabila hari telah sore, mereka duduk bercakap-cakap membicarakan soal-soal kehidupan dan ceritera-ceritera lain yang berkenaan dengan urusan sehari-hari. Karena banyak percakapan yang melantur, keraplah kejadian pertengkaran, bersakit-sakitan hati sehingga menimbulkan permusuhan. Lalu ada yang mengutuki waktu ‘Ashar (petang hari), mengatakan waktu ‘Ashar waktu yang celaka, atau naas, banyak bahaya terjadi di waktu itu. Maka datanglah ayat ini memberi peringatan “Demi ‘Ashar”, perhatikanlah waktu ‘Ashar. Bukan waktu ‘Ashar yang salah. Yang salah adalah manusia-manusia yang mempergunakan waktu itu dengan salah. Mempergunakannya untuk bercakap-cakap yang tidak tentu ujung pangkal. Misalnya bermegah-megahan harta, memuji diri, menghina merendahkan orang lain. Tentu orang yang dihinakan tiada terima, dan timbullah saling sengketa.
Lalu kamu salahkan waktu ‘Ashar, padahal kamulah yang salah. Padahal kalau kamu percakapkan apa yang berfaedah, dengan tidak menyinggung perasaan teman dudukmu, tentulah waktu ‘Ashar itu akan membawa manfaat pula bagimu.
Inilah satu tafsir.
Tafsir yang lain: “Demi Masa!”
Masa seluruhnya ini, waktu-waktu yang kita lalui dalam hidup kita, zaman demi zaman, masa demi masa, dalam bahasa Arab ‘Ashr juga sebutannya. Sebagai semasa Indonesia dijajah.
Belanda dapat disebut “’Ashru Isti’maril holandiy” (Masa penjajahan Belanda), “’Ashru Isti’maril Yabaniy”, masa penjajahan Jepang. “’Ashrust Tsaurati Indonesia Al-Kubra”, masa Revolusi Besar Indonesia, “’Ashrul Istiqlal”, masa kemerdekaan dan sebagainya.
Berputarlah bumi ini dan berbagailah masa yang dilaluinya; suka dan duka, naik dan turun, masa muda dan masa tua. Ada masa hidup, kemudian mati dan tinggallah kenang-kenangan ke masa lalu.
Diambil Tuhanlah masa menjadi sumpah, atau menjadi sesuatu yang mesti diingat-ingati. Kita hidup di dunia ini adalah melalui masa. Setelah itu kita pun akan pergi. Dan apabila kita telah pergi, artinya mati, habislah masa yang kita pakai dan yang telah lalu tidaklah dapat diulang lagi, dan masa itu akan terus dipakai manusia yang tinggal, silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi.
Diperingatkanlah masa itu kepada kita dengan sumpah, agar dia jangan disia-siakan, jangan diabaikan. Sejarah kemanusiaan ditentukan oleh edaran masa.
“Sesungguhnya manusia itu adalah di dalam kerugian.” (ayat 2). Di dalam masa yang dilalui itu nyatalah bahwa manusia hanya rugi selalu. Dalam hidup melalui masa itu tidak ada keuntungan sama-sekali. Hanya rugi jua yang didapati: Sehari mulai lahir ke dunia, di hari dan sehari itu usia sudah kurang satu hari. Setiap hari dilalui, sampai hitungan bulan dan tahun, dari muda ke tua, hanya kerugian jua yang dihadapi.
Di waktu kecil senanglah badan dalam pangkuan ibu, itu pun rugi karena belum merasai arti hidup. Setelah mulai dewasa bolehlah berdiri sendiri, beristeri atau bersuami. Namun kerugian pun telah ada. Sebab hidup mulai bergantung kepada tenaga dan kegiatan sendiri, tidak lagi ditanggung orang lain.
Sampai kepada kepuasan bersetubuh suami isteri yang berlaku dalam beberapa menit ialah untuk menghasil anak yang akan dididik dan diasuh, menjadi tanggungjawab sampai ke sekolahnya dan perguruannya untuk bertahun-tahun.
Di waktu badan masih muda dan gagah perkasa harapan masih banyak. Tetapi bilamana usia mulai lanjut barulah kita insaf bahwa tidaklah semua yang kita angankan di waktu muda telah tercapai.
Banyak pengalaman di masa muda telah menjadi kekayaan jiwa setelah tua. Kita berkata dalam hati supaya begini dikerjakan, jangan ditempuh jalan itu, begini mengurusnya, begitu melakukannya. Pengalaman itu mahal sekali. Tetapi kita tidak ada tenaga lagi buat mengerjakannya sendiri. Setinggi-tingginya hanyalah menceriterakan pengalaman itu kepada yang muda.
Sesudah itu kita bertambah nyanyuk, bertambah sepi; bahkan kadang-kadang bertambah menjadi beban berat buat anak-cucu. Sesudah itu kita pun mati!
Itu kalau umur panjang. Kalau usia pendek kerugian itu akan lebih besar lagi. Belum ada apa-apa kita sudah pergi. Kerugianlah seluruh masa hidup itu. Kerugian!
“Kecuali orang yang beriman.” (pangkal ayat 3). Yang tidak akan merasakan kerugian dalam masa hanyalah orang-orang yang beriman. Orang-orang yang mempunyai kepercayaan bahwa hidupnya ini adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia datang ke dunia ini sementara waktu; namun masa yang sementara itu dapat diisi dengan baik karena ada kepercayaan; ada tempat berlindung. Iman menyebabkan manusia insaf dari mana datangnya. Iman menimbulkan keinsafan guna apa dia hidup di dunia ini, yaitu untuk berbakti kepada Maha Pencipta dan kepada sesama manusia. Iman menimbulkan keyakinan bahwasanya sesudah hidup yang sekarang ini ada lagi hidup. Itulah hidup yang sebenarnya, hidup yang baqa. Di sana kelak segala sesuatu yang kita lakukan selama masa hidup di dunia ini akan diberi nailainya oleh Allah. “Dan beramal shalih,” bekerja yang baik dan berfaedah. Sebab hidup itu adalah suatu kenyataan dan mati pun kenyataan pula, dan manusia yang di keliling kita pun suatu kenyataan pula. Yang baik terpuji di sini, yang buruk adalah merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain. Sinar Iman yang telah tumbuh dalamjiwa itu dan telah menjadi keyakinan, dengan sendinya menimbulkan perbuatan baik. Dalam kandungan perut ibu tubuh kita bergerak. Untuk lahir ke dunia kita pun bergerak. Maka hidup itu sendiri pun adalah gerak. Gerak itu adalah gerak maju! Berhenti sama dengan mati. Mengapa kita akan berdiam diri? Mengapa kita akan menganggur? Tabiat tubuh kita sendiri pun adalah bergerak dan bekerja. Kerja hanyalah satu dari dua, kerja baik atau kerja jahat. Setelah kita meninggalkan dunia ini kita menghadapi dua kenyataan. Kenyataan pertama adalah sepeninggal kita, yaitu kenang-kenangan orang yang tinggal. Dan kenyataan kedua ialah bahwa kita kembali ke hadhirat Tuhan.
Kalau kita beramal shalih di masa hidup, namun setelah kita mati kenangan kita akan tetap hidup berlama masa. Kadang-kadang kenangan itu hidup lebih lama daripada masa hidup jasmani kita sendiri. Dan sebagai Mu’min kita percaya bahwa di sisi Allah amalan yang kita tinggalkan itulah kekayaan yang akan kita hadapkan ke hadapan Hadhirat Ilahi. Sebab itu tidaklah akan rugi masa hidup kita.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kebenaran.” Karena nyatalah sudah bahwa hidup yang bahagia itu adalah hidup bermasyarakat. Hidup nafsi-nafsi adalah hidup yang sangat rugi. Maka hubungkanlah tali kasih-sayang dengan sesama manusia, beri-memberi ingat apa yang benar. Supaya yang benar itu dapat dijunjung tinggi bersama. Ingat-memperingatkan pula mana yang salah, supaya yang salah itu sama-sama dijauhi.
Dengan demikian beruntunglah masa hidup. Tidak akan pernah merasa rugi. Karena setiap pribadi merasakan bahwa dirinya tidaklah terlepas dari ikatan bersama. Bertemulah pepatah yang terkenal: “Duduk seorang bersempit-sempit, duduk ramai berlapang-lapang.” Dan rugilah orang yang menyendiri, yang menganggap kebenaran hanya untuk dirinya seorang.
“Dan berpesan-pesanan dengan Kesabaran.” (ujung ayat 3). Tidaklah cukup kalau hanya pesan-memesan tentang nilai-nilai Kebenaran. Sebab hidup di dunia itu bukanlah jalan datar saja. Kerapkali kaki ini terantuk duri, teracung kikil. Percobaan terlalu banyak. Kesusahan kadang-kadang sama banyaknya dengan kemudahan. Banyaklah orang yang rugi karena dia tidak tahan menempuh kesukaran dan halangan hidup. Dia rugi sebab dia mundur, atau dia rugi sebab dia tidak berani maju. Dia berhenti di tengah perjalanan. Padahal berhenti artinya pun mundur. Sedang umur berkurang juga.
Di dalam Al-Qur’an banyak diterangkan bahwa kesabaran hanya dapat dicapai oleh orang yang kuat jiwanya, (Surat Fushshilat 41:35). Orang yang lemah akan rugilah.
Maka daripada pengecualian yang empat ini: (1) Iman, (2) Amal shalih, (3) Ingat-mengingat tentang Kebenaran, (4) Ingat-mengingat tentang Kesabaran, kerugian yang mengancam masa hidup itu pastilah dapat dielakkan.
Kalau tidak ada syarat yang empat ini rugilah seluruh masa hidup.
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya “Miftahu Daris-Sa’adah” menerengkan: “Kalau keempat martabat telah tercapai oleh manusia, hasillah tujuannya menuju kesempurnaan hidup. Pertama: Mengetahui Kebenaran. Kedua: Mengamalkan Kebenaran itu. Ketiga: Mengajarkan kepada orang yang belum pandai memakaikannya. Keempat: Sabar di dalam menyesuaikan diri dengan Kebenaran dan mengamalkan dan mengajarkannya. Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat ini.
Dalam Surat ini Tuhan menerangkan martabat yang empat itu. Dan Tuhan bersumpah, demi masa, bahwasanya tiap-tiap orang rugilah hidupnya kecuali orang yang beriman. Yaitu orang yang mengetahui kebenaran lalu mengakuinya. Itulah martabat pertama.
Beramal yang shalih, yaitu setelah Kebenaran itu diketahui lalu diamalkan; itulah martabat yang kedua.
Berpesan-pesanan dengan Kebenaran itu, tunjuk menunjuki jalan ke sana. Itulah martabat ketiga.
Berpesan-pesanan, nasihat-menasihati, supaya sabar menegakkan kebenaran dan teguh hati jangan bergoncang. Itulah martabat keempat. Dengan demikian tercapailah kesempurnaan.
Sebab kesempurnaan itu ialah sempurna pada diri sendiri dan menyempurnakan pula bagi orang lain. Kesempurnaan itu dicapai dengan kekuatan ilmu dan kekuatan amal. Buat memenuhi kekuatan ilmiah ialah Iman. Buat peneguh kekuatan amaliah ialah berbuat amal yang shalih. Dan menyempurnakan orang lain ialah dengan mengajarkannya kepada mereka dan mengajaknya bersabar dalam berilmu dan beramal.
Lantaran itu meskipun Surat ini pendek sekali namun isinya mengumpulkan kebajikan dengan segala cabang rantingnya. Segala pujilah bagi Allah yang telah menjadikan kitabnya mencukupi dari segala macam kitab, pengobat dari segala macam penyakit dan penunjuk bagi segala jalan kebenaran.” Sekian kita salin dari Ibnul Qayyim.
Ar-Razi menulis pula dalam tafsirnya: “Dalam Surat ini terkandung peringatan yang keras. Karena sekalian manusia dianggap rugilah adanya, kecuali barangsiapa yang berpegang dengan keempatnya ini. Yaitu: Iman, Amal Shalih, Pesan-memesan kepada Kebenaran dan Pesan-memesan kepada Kesabaran. Itu menunjukkan bahwa keselamatan hidup bergantung kepada keempatnya, jangan ada yang tinggal. Dan dapat juga diambil kesimpulan dari Surat ini bahwa mencari selamat bukanlah untuk diri sendiri saja, melainkan disuruh juga menyampaikan, atau sampai-menyampaikan dengan orang lain. Menyeru kepada Agama, Nasihat atas Kebenaran, Amar ma’ruf nahyi munkar, dan supaya mencintai atas saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya. Dua kali diulang tentang pesan-memesan, wasiat mewasiati, karena pada yang pertama menyerunya kepada jalan Allah dan pada yang kedua supaya berteguh hati menjalankannya. Atau pada yang pertama menyuruh dengan ma’ruf dan pada yang kedua mencegah dari yang munkar. Di dalam Surat Luqman, 21:17 dengan terang-terang ditulis wasiat Luqman kepada anaknya agar dia suka menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan bersabar atas apa pun jua yang menimpa diri.
Menurut keterangan Ibnu Katsir pula di dalam tafsirnya: “Suatu keterangan daripada Ath-Thabrani yang ia terima dari jalan Hamaad bin Salmah, dari Tsabit bin ‘Ubaidillah bin Hashn: “Kalau dua orang sahabat Rasulullah SAW bertemu, belumlah mereka berpisah melainkan salah seorang di antara mereka membaca Surat Al-‘Ashr ini terlebih dahulu, barulah mereka mengucapkan salam tanda berpisah.”
Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan Hadis pertemuan dan perpisahan dua sahabat ini berkata: “Ada orang yang menyangka bahwa ini hanya semata-mata tabarruk (mengambil berkat) saja. Sangka itu salah. Maksud membaca ketika akan berpisah ialah memperingatkan isi ayat-ayat, khusus berkenaan dengan pesan-memesan Kebenaran dan pesan-memesan atas Kesabaran itu, sehingga menimbulkan kesan yang baik.”
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Kalau manusia seanteronya sudi merenungkan Surat ini, sudah cukuplah itu baginya.”
Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan Surat ini dengan tersendiri, dan Sayid Rasyid Ridha pernah mencetak tafsir gurunya ini dengan sebuah buku tersendiri pula, dan menjadi salah satu pelajaran kami di Sumatera Thawalib, Padang Panjang pada tahun 1922.
Tafsir Al Azhar . Oleh Buya Hamka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar