Rabu, 23 Januari 2013

TAFSIR SURAT AL-'ASHR



Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini:
“Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?”
’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.”
“Coba bacakan kepadaku surat itu!”
Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash.
Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.”
 ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?”
Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.”
Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa  yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah.
Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1).
Allah bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2).
Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7).
Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), 
Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2).

Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.
Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman besi di dalam sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada orangnya).

Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”

Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup.

Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun, ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.
Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). 

Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri.
Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain.
Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. 

Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat. 

Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)




TAFSIR SURAT AL-’ASHR
Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM






Tidak ada komentar:

Posting Komentar