Senin, 18 Mei 2009

Allah SWT Yang Maha Suci


Allah Swt bukanlah jisim (korporeal) yang berbentuk, bukan jauhar (element) yang bisa dibatasi dan diukur. Dia tidak seperti jisim (benda), yang bisa diukur dan bisa dibagi.

Dia bukan jauhar dan juga bukan yang ditempati oleh jauhar, bukan ‘aradh (sifat yang ada pada elemen ) dan juga bukan yang ditempati oleh ‘aradh.

Dia tidak seperti segala sesuatu yang diwujudkan-Nya, bahkan segala sesuatu yang diwujudkan-Nya juga tidak seperti Dia. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia tidak sama apa pun.

Dia tidak bisa diukur oleh apapun dan tidak terjangkau oleh penjuru. Dia tidak diliputi oleh arah dan tidak termuat oleh bumi dan langit.

Dia “bersemayam“ (Istiwa ) di Arasy sesuai dengan maksud dan aspek yang difirmankan-Nya, sesuai dengan makna yang dikehendaki-Nya, dengan istiwa yang tersucikan dari bersentuhan, menetap, bertempat, menempati dan berpindah-pindah.

Dia tidak dibawa oleh Arasy, namun justru Arasy dan para malaikat penjaga Arasy dibawa oleh kelembutan kekuasaan-Nya dan di paksa berada dalam “genggaman” - Nya.

Dia berada “diatas“ Arasy, langit dan “diatas” segala sesuatu sampai pada batas bintang yang tertinggi sekalipun, dengan ketinggian yang tidak bisa menambah dekat dengan Arasy dan langit, sebagaimana tidak bisa semakin jauh dari bumi dan dataran yang paling rendah sekalipun, bahkan Dia-lah Yang Maha tinggi derajat-Nya dari Arasy dan langit.

Dia lebih tinggi derajat-Nya daripada bumi dan dataran paling rendah. Meskipun begitu Dia lebih dekat dengan segala sesuatu yang ada, Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya.

Dia menyaksikan segala sesuatu, dekatnya tidak sama seperti jisim (benda) , demikian pula Dzat-Nya.

Dia tidak menempati benda dan tidak ditempati oleh benda. Tidak membutuhkan ruang dan waktu, bahkan Dia wujud sebelum diciptakannya ruang dan waktu, sementara Dia sekarang masih tetap seperti semula.

Dia sama sekali tidak berbeda dengan makhluk-Nya dalam segi sifat-sifat-Nya.

Dia dalam Dzat-Nya tidak ada unsur lain, sementara pada yang lain juga tidak ada Dzat-Nya.

Dia suci dari segala perubahan dan pergantian, tidak ditempati oleh segala yang bersifat baru (hawaadits) dan tidak dihinggapi oleh sifat-sifat baru yang non-esensial, akan tetapi Dia senantiasa dalam sifat-sifat keagungan-Nya yang tersucikan dari sifat aus dan sirna, dalam sifat-sifat kesempurnaan-Nya itu tidak memerlukan penyempurnaan tambahan.

Wujud Dzat-Nya dapat diketahui secara rasional, dan dapat dilihat melalui mata hati, sebagai nikmat dan kelembutan-Nya terhadap orang-orang yang baik disurga yang abadi, untuk menyempurnakan terhadap nikmat-nikmat-Nya adalah dengan bisa dengan menyaksikan “Wajah”-Nya Yang Mulia.


Dikutip dari kitab Qawaa’idul “Aqaaid Fit-tauhid Karya Imam Al-Ghazali.
(TAUHIDULLAH, Penerbit Risalah Gusti, Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar