Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi. Siapa yang lebih baik di antara keduanya?
Si miskin yang sabar atau si kaya yang
pandai bersyukur dan murah hati?
Sebagian sufi, seperti Harits
al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali, memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si
miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan
merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw, yang hartawan, tapi dermawan, semacam
Utsman Ibn 'Affan dan Abdul Rahman Ibn 'Auf.
Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu
pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf, mengemukakan pemikiran baru
dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah
memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada
orang yang lebih bertakwa di antara keduanya.
(Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara', Hlh.
25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si
miskin lebih banyak, maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya
lebih banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama, maka
kemuliaan mereka sederajat dan setingkat. Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn
Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karena
langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus
menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan
Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai
itu, tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat diidentifikasi
sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi
pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk.
Pengaruh ini, tentu sangat bergantung
kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia yang tidak siap
dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi saw, dapat
mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi). Sebaliknya, banyak pula
manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya
menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah, ''Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya
serba cukup.'' (Al-'Alaq: 6-7).
Sebagai alat uji, kefakiran dan
kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar.
Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah swt
membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9). Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar
ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini, karena perkataan 'dibuat kaya' (Aghna)
dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin ('Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali,
kaya di situ lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan
ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw bukan saja dapat mengatasi
kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan
semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah
swt.
By A Ilyas Ismail MA
Kamis, 14 Mei 2009 pukul 12:22:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar