Rabu, 27 Mei 2009

Jangan Sepelekan Dispepsia


Sindrom dispepsia alias gangguan maag, sering dikeluhkan anggota masyarakat yang datang ke praktik dokter. Bila keluhan sering kambuh, dokter sering disalahkan karena tak pintar mengobati. Sebenarnya apa sih dispepsia itu?

Hasil penelitian penduduk di perkotaan, khususnya di DKI Jakarta, tahun 2007, didapatkan prevalensi dispepsia sebesar 58,1 persen. Data tersebut mengemuka dalam seminar tentang gangguan abdominal dispepsia yang diadakan Pathlab dan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) di Jakarta, pekan lalu.

Survei lain yang dilakukan sebuah perusahaan obat, lima dari sepuluh orang atau satu dari dua orang profesional di kota besar, berpotensi menderita gangguan saluran pencernaan. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, jarak tempuh rumah dan kantor yang jauh, serta persaingan ketat, kerap menjadi alasan para profesional menunda bahkan lupa makan.

Hal itu masih diperparah dengan gaya hidup di kota besar yang kurang sehat. Akibatnya, potensi terserang penyakit gangguan saluran pencernaan semakin tinggi.

Menurut Dr. R. Marcellus Simadibrata, Sp.PD, KGEH, Ph.D, staf Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, selama ini masyakarat keliru memahami penyakit maag. Sebenarnya istilah itu berhubungan dengan lambung.

Padahal, yang terkena bukan hanya lambung, melainkan organ saluran cerna yang lain. Istilah yang tepat adalah sindroma dispepsia.

Akut dan kronis

Sindroma dispepsia merupakan keluhan saluran cerna bagian atas berupa rasa nyeri atau tidak enak. Rasa tak enak di abdo men mencakup distensi, anoreksia, cepat kenyang, dan nausea.

Dikatakan Dr. Marcellus, dispepsia dapat diklasifikasikan atas beberapa sebab, yakni dispepsia tipe ulkus dan nonulkus (ada tidaknya ulkus di lambung), juga dispepsia tipe organik dan fungsional (ada tidaknya kelainan organik di lambung atau organ sekitar).

"Yang termasuk kelainan organik lambung antara lain ulkus lambung, tumor jinak-ganas dari lambung, dan gastritis berat," kata pria yang mendapat gelar Ph.D dari Universitas Amsterdam ini.

Menurut lamanya keluhan dapat dibagi atas dispepsia akut dan kronis. Dispepsia akut bila keluhan berlangsung kurang dari tiga bulan, sedangkan kronis bila berlangsung lebih dari tiga bulan.

Klasifikasi terakhir menurut jenis keluhan dan patofisiologisnya dapat dibagi atas tiga tipe, yakni dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia seperti ulkus, dan dispepsia nonspesifik.

Didominasi mual

Gejala yang menyertai sindrom dispepsia tak hanya nyeri di ulu hati, tetapi didominasi rasa mual, kembung, perut terasa penuh, muntah, cepat kenyang, sering bersendawa, serta diare. Keluhan yang merupakan gejala sindroma dispepsia adalah nyeri di dada.

Keluhan ini muncul bukan sebagai gejala sakit jantung, meski penderita mungkin menyangkanya seperti itu. Keluhan nyeri dada sering dirasakan di malam hari, tidak jarang di siang hari. Ketika kita enak-enak duduk, tiba-tiba dada terasa sakit atau panas.

Untuk membedakan nyeri dada akibat dispepsia dengan nyeri akibat gangguan jantung, cukup dengan minum air putih. "Bila setelah minum air putih serangan hilang, kemungkinan besar disebabkan asam lambung," ungkapnya.

Bila Anda termasuk jarang sarapan pagi, berisiko terserang sindroma dispepsia. Di pagi hari kebutuhan kalori cukup banyak. Bila tidak sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam.

Stres yang meningkat dan terlalu banyak pekerjaan juga dapat mencetuskan dispepsia. "Stres membuat tubuh mengeluarkan hormon endoktrin yang merangsang produksi asam lambung, jadi pencetusnya bukan langsung dari stresnya," tuturnya.

Dr. Marcellus menyarankan untuk menghindari kopi sebagai pengganti sarapan. Kafein juga bisa menjadi pencetus dispepsia. Begitu pula obat batuk dan obat sakit kepala yang mengandung kafein. Waspadai penggunaan obat antinyeri serta obat lain berisi asam befenamat atau asam asetilsalisilat. Hindari makanan pedas, asam, dan bersantan. Bagi yang diserang maag, jangan makan cokelat karena akan menambah nyeri.

Perlu endoskopi

Untuk mengetahui gangguan dispepsia, pemeriksaan laboratorium terdiri atas pemeriksaan tinja (telur cacing, parasit lain), darah perifer lengkap (Hb, Ht, leukosit dan trombosit), kimia darah (fungsi hati, gula darah), elektrolit darah, fungsi gondok (TSH, T4 dan T3 serum), infeksi Helicobacterpylori (serum IgG H.pylori, urea breath test), serta histopatologi (mukosa lambung).

Perlu juga pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas, kerena endoskopi memiliki sensitivitas dan spesifikasi tinggi dalam mendeteksi kelainan di lambung.

"Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya grastritis, tumor, dan ulkus di lambung," ujarnya.

Indikasi pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas, antara lain bila penderita berusia di atas 45 tahun, punya riwayat kanker dalam keluarga dan tanda bahaya (alarm symptoms), antara lain anemia, demam, berat badan turun, muntah berat dan persisten, buang air besar disertai darah hitam.

Pemeriksaan penunjang lain adalah ultrasonografi, CT scan atau MRI abdomen, elektrogastrogafi, manometri, Ph-metri 24 jam. Ultrasonografi atau CT scan atau MRI abdomen memiliki sensitivitas dan spesifikasi tinggi dalam mendeteksi kelainan di luar saluran cerna, antara lain batu kandung empedu, masa tumor rongga abdomen. Elektrogastrografi untuk menilai gangguan motilitas lambung, sedangkan manometri menilai adanya refluks gastroesofageal.

Lakukan Pencegahan

Untuk menghindari gangguan dispepsia berikut komplikasinya, lakukan hal sederhana ini:

1. Biasakan hidup sehat dan makan teratur, hindari makanan yang dapat memicu produksi asam lambung berlebihan, kelola stres agar hormon yang terbentuk tidak merangsang produksi asam lambung, lalu sediakan obat-obat yang lengkap agar tak terjadi serangan.
2. Netralkan asam lambung dengan pengobatan antasida.
3. Kurangi produksi asam lambung dengan mengonsumsi golongan obat acid blocker.
4. Perkuat pertahanan mukosa lambung.

Catatannya: keempat pengobatan ini biasanya dilakukan pada penderita sindroma dispepsia cukup parah. Artinya, keluhannya sudah terlalu sering, sehingga mengganggu aktivitas, termasuk muntah-muntah. Dalam kondisi ini, harus dilakukan kombinasi yang cukup baik dan tidak bisa hanya dengan satu macam pengobatan.

Karena Suara Bising

Menurut Dr. R. Marcellus Simadibrata, Sp.PD, KGEH, Ph.D, peran stres karena suara bising pada pekerja pabrik berperan terhadap makin banyaknya sindrom dispepsia.

Beherapa penyebab dispepsia, yakni:
1. Dispepsia organik:
- Kelainan di lambung atau duodenum, seperti ulkus, tumor jinak/ganas, gastritis/duodenitis berat.
- Hati, seperti hepatitis, tumor jinak/ganas, abses.
- Pankreas, seperti pankreatisia akut/kronis, tumor jinak/ganas.
- Kandung empedu, seperti tumor, batu, infeksi.
- Saluran empedu, seperti tumor, batu, infeksi.

2. Dispepsia dismotilitas:
- Stres.
- Kelainan endokrin, seperti hipotiroid, diabetes melitus.
- Obat, seperti zat besi, theofilin, antibiotika.
- Gangguan metabolisme, seperti hipokalemia.
Sumber: Senior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar