Sabtu, 16 Mei 2009
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya:
Apa hukumnya menikahkan anak perempuan dari kaum muslimin dengan pria non muslim?
Jawaban:
Hukum syariat terhadap pernikahan seperti itu adalah batil berdasarkan nash-nash Al-Qur’ân, As-Sunnah dan ijmâ’ (kesepakatan) kaum muslimin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ۚ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلاَ تَنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولاَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللهُ يَدْعُوْ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لََعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, Sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ
“Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Yang demikian karena dikhawatirkan para wanita muslimah nantinya akan disimpangkan oleh orang-orang kafir tersebut dari aqidahnya atau akan dirusak oleh mereka dan bukannya para wanita muslimah itu yang sanggup memperbaiki suami mereka yang kafir, karena Allah berfirman:
أُولاَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ
“Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221)
Yaitu orang-orang kafir itu dari langkah-langkah mereka akan mengajak kepada apa yang menjadi sebab masuknya ke neraka, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Hubungan pernikahan termasuk cara yang paling kuat untuk mempengaruhi jiwa masuk dalam ajakan sesat ini. Sedangkan orang kâfir itu tidak pernah ridha dari kaum muslimah sampai dia mau mengikuti agama orang kafir tersebut. Allah berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Maka lelaki non muslim tidak sekufu dengan muslimah sama sekali, karena hak-hak hidup berumah tangga menuntut seorang istri sekian dari hak untuk suaminya. Allah berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (An-Nisaa’: 34)
Maka hal ini tidak akan menjadi baik jika suami adalah seorang yang kafir sementara istri adalah muslimah. Allah berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 141)
Demikian pula kedudukan suami adalah lebih tinggi di atas istri baik secara lahir maupun batin dan ini termasuk hal yang bertentangan dengan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
اَلإسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”
Yang wajib adalah agar dilakukan pada masalah ini satu perlakuan yang benar dan menerapkan (hukuman) pada apa yang semestinya atas wanita-wanita yang telah tergoda oleh nafsunya untuk melakukan tindakan tersebut (menikah dengan pria kâfir) suatu hal yang menjadi tuntutan dari kaidah-kaidah syariat yang suci ini. Barangsiapa melakukan (perbuatan tersebut) dalam keadaan menganggapnya halal, maka wanita itu murtad dan walinya jika bertindak sama maka sama pula hukumnya.
Jika wanita itu melakukannya namun ia tidak menganggap halal pernikahan tersebut, berarti ia telah melakukan dosa besar dan kejahatan besar. Akan tetapi ia tidak dihukumi murtad dan wajib ditegakkan hukum had kepadanya dengan hukuman rajam bila ia pernah menikah. Jika ia masih perawan maka ia terkena hukuman dera (cambuk) dan diasingkan selama setahun. Ini semua jika keadaan wanita itu mengetahui (memiliki ilmu tentang hukumnya). Sedangkan jika ia tidak mengetahui, maka gugurlah hukuman kepadanya, karena hukum had menjadi gugur disebabkan adanya syubhat (kekaburan karena tidak berilmu).
Sebagaimana wajibnya untuk terjadi perceraian di antara mereka berdua, wajib pula untuk menerapkan pada hak suami apa yang menjadi tuntutan dari kaidah-kaidah syari’at Islam yang indah ini. Maka penguasa melihat dari sisi maslahat syar’inya dan berijtihad pada macam perceraian apa yang diberlakukan atas mereka. Sampai-sampai seandainya saja maslahat menuntut untuk dilakukan hukuman terhadap mereka dengan hukuman mati, maka bisa dilakukan terhadap mereka dan yang seperti ini dibolehkan secara syari’at.
(Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, jilid 10, hal. 136-138)
(Dinukil dari Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’ah Al-Muslimah bab Nikah wa Thalaq (Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian), perangkum: Amin bin Yahya Ad-Duwaisi, judul: Pernikahan antara Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim, hal. 199-202, penerjemah Abu ‘Abdirrahman Muhammad bin Munir, muraja’ah: Al-Ustadz Abu Muhammad ‘Abdul Mu’thi, Lc., penerbit: Qaulan Karima Purwokerto, cet. ke-1 Ramadhan 1426H/Oktober 2005M, untuk http://akhwat.web.id)
Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alu Syaikh rahimahullâhu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar