Rabu, 20 Mei 2009

Tipu Daya yang Menimpa Ulama



Kalangan Ulama ini ada beberapa golongan.
Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu rasionaI. Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan. Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri. Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan Allah swt. Bahkan mereka berasumsi bahwa Allah tidak akan menyiksanya, karena ilmunya telah mencapai suatu tahap tertentu. Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain, dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya.

Mereka sebenarnya tertipu. Kalau saja mereka mau melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua: Ilmu Muamalat dan Ilmu Mukasyafah, yaitu pengetahuan terhadap Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Sementara Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju, yaitu pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji.

Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu mengobati orang lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengobati dirinya sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan. Lalu apa gunanya pengobatan tersebut? Sungguh jauh dari harapan, di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mau meminum obat tersebut setelah merasakan demam. Mereka melupakan firman Allah swt.:
"Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa dan benar-benar merugi orang yang mengotorinya". (Q.S. asy-Sayms: 9-10).

Allah tidak berfirman, "Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia".

Mereka pun alpa terhadap sabda Nabi saw.:
"Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh dari-Nya".

"Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan atas ilmunya".

Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan. Mereka itu adalah para Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri, dan semoga Allah menjaga kita dari tingkah laku mereka. Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi, egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahwa ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.

Kelompok Pertama:
Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi ruhani jiwanya. Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan Allah swt. seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status, berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas di tengah-tengah negeri dan penduduknya. Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya terhadap hadis Nabi saw.:

"Riya’ adalah syirik kecil".
"Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering".
"Cinta harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air menumbuhkan sayur mayur".
Dan hadis-hadis lainnya. Mereka pun melupakan firman Allah swt.:
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". (Q.S. asy-Syu’ara’: 89).

Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka. Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya. Ia ibarat orang berpenyakit kudis, lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan meminum obat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum obat. Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol. Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya semakin bertambahlah penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan. Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati, akan tampak pengaruhnya pada fisik.

Kelompok Kedua:
Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syari’at. Hanya saja, karena mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas dari cacian tersebut. Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang telah sampat pada taraf ilmu pengetahuan.

Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut, sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahwa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan. Mereka beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah. Mereka Iupa pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi saw. dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir. Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam. Lalu Umar berkata, "Kami adalah kaum dimana Allah meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam."
Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mereka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tidak menduga bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.
Lantas ia berkelit, "Ini merupakan kemarahan demi kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya." Tentu tindakannya merupakan tipudaya. Sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya. Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira.
Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap, "Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada manusia," padahal ucapannya itu didasari riya’. Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya.
Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu, ia menjawab, "Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama ummat Islam, dan menolak bahaya dari penguasa itu." Padahal ia terkena tipudayanya sendiri. Tentunya, bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia justru emosi pada tindakan orang lain itu.
Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya bahwa harta itu haram, tiba-tiba syetan berbisik, "Ini harta tanpa pemilik, bisa dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Andakan pemuka ummat dan pakar mereka. Karena Andalah agama ini bisa tegak."

Di sini ada tiga tipudaya:
Pertama, bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya.
Kedua, demi kemaslahatan ummat Islam.
Ketiga, ia adalah pemuka ummat. Lantas apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata, "Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula memancarkan air" yang dialirkan ke pertanian."

Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya, dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.

Kelompok Ketiga:
Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur, dendam dan ambisi meraih posisi.
Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya.

Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi, berupa rekayasa syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam. Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali. Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan rumput yang ada. Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam tanah, dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai. Ketika alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan merusak tanaman.
Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah. Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak dipandang sebelah mata saja.

Kelompok Keempat:
Para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan. Mereka lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan kehidupan. Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih. Mereka sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah maupun batiniah. Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.

Mereka ini terpedaya oleh dua hal:
Pertama: Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun terapinya dalam kitab Al-Ihya’. Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau menggunakannya. Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi bahwa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati. Mereka lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya. Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang mengelilinginya, karena ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi rujukan. Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan kejelekan masing-masing, namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.
Kedua: Juga dari segi ilmu pengetahuan. Bahwa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga ilmunya dapat menyelamatkannya. Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah kecintaannya terhadap Allah swt. Cinta kepada Allah swt. tidak bisa diraih kecuali dengan ma’rifatullah. Ma’rifat ini ada tiga: Ma’rifat Dzat, Ma’rifat Sifat dan Ma’rifat Af’aal. Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih (pemahaman) itu datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti dan mencegah, agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa, sebagaimana firman-Nya:
"Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". (Q.S. at-Taubah: 122).

Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama tersebut pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antar ulama (khilafiyah). Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metode perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan. Sepanjang siang dan malam mereka berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan atau terman.
Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk suatu gengsi di hadapan orang lain. Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan. Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti.
Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!

Kelompok Kelima:
Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter lawan-lawannya yang kontra. Mereka memperbanyak wacana logika yang berbeda-beda, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang berbeda. Mereka ini ada dua kalangan:
Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat bahwa kesesatan itu bisa menyelamatkannya. Kelompok ini terpecah-pecah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Mereka tersesat karena memvonis suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya. Mereka menganggap dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubhat.

kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail, mereka berpandangan bahwa polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati posisi utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun bisa sempurna agamanya sepanjang belum mengkaji detail. Siapa yang membenarkan Allah tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan tidak bisa dianggap dekat dengan Allah swt. Mereka sarma sekali tidak menoleh pada generasi pertama, bahwa Nabi saw. yang disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah meriwayatkan dari Nabi saw. yang bersada:
"Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali jika perdebatan didatangkan kepada mereka".

Kelompok Keenam:
Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang yang membahas seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara tentang predikat-predikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki predikat yang sama. Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja, di mana kalangan awam tidak mengetahuinya.
Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat. Sebab mereka kagum dengan dirinya sendiri.
Mereka menduga, bahwa mereka tidak menyelami ilmu cinta kepada Allah kecuali mereka pasti selamat saat itu.
Mereka pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka hafal akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya. Hal itu disebabkan:

· Mereka menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.

· Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.

· Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.

· Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.

· Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal mereka lari dari Allah swt.

· Mereka menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka merasa dirinya aman dari siksa Allah.

· Mereka berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka lupa dengan-Nya.

· Mereka merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh dari-Nya.

· Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.

· Mereka menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk, namun hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya.

Seandainya mereka dihalangi dari majelis-majelisnya di mana manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.

Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia, namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil dihadapannya, ia merasa gelisah dan dengki. Bila ada sebagian sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya, ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.

KelompokKetujuh:
Mereka beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam nasihat. Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali penasihat yang dilindungi oleh Allah swt. Mereka menekuni ketaatan, melakukan ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syari’at dan keadilan, semata-mata agar dikagumi. Kelompok lain malah menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan Tuhan.
Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam ekstase, walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif Mereka sebenarnya adalah syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan. Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka.
Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi jalan Allah, dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesayan dan penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap rahmat kepada Allah swt., hingga mereka yang mendengarnya pun malah putus asa terhadap rahmat Allah swt.

Kelompok Kedelapan:
Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari. Mereka menduga dirinya akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong. Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.

Kelompok Kesembilan:
Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis, yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mereka mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi. Hasrat mereka agar bisa berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia bisa mengatakan, "Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan, saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain."
Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami Sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh! Bahkan tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja. Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu. Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa. Sementara syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa, sampai hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti. Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur.
Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw, lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia bisa mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah saw. Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu huruf pun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.
Penghafalan hadis bisa melalui dua metode. Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya. Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain. Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur. Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.
Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup banyak. Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya. Hadis memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.:
"Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tak berguna".
Lantas ia berdiri dan berkata, "Ini sudah cukup bagiku hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang lain." Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.

Kelompok Kesepuluh:
Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, karena menduga disiplin ilmunya bisa menyelamatkannya. Mereka merasa sebagai ulama ummat. Karena tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka tenggelam dalam bidang tersebut. Sungguh ini keterpedayaan yang besar. Kalau mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti juga bahasa Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya. Mereka hanya dibedakan adanya syari’at saja. Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah. Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah, sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Pakar dalam hal ini sebenarnya terkena tipudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar