Sabtu, 16 Mei 2009

Masuk surga tanpa Hisab dan Azab (2)


Pada edisi yang lalu, kita telah membahas tentang ditampakkannya umat-umat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Diceritakan bahwa beliau melihat seorang nabi yang bersamanya hanya beberapa orang, seorang nabi yang bersamanya satu dua orang saja dan seorang nabi yang tidak seorang pun bersamanya. Ini merupakan bantahan para pemuja suara mayoritas dan menganggapnya sebagai penentu kebenaran.
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa pada umatnya terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Lalu beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya.
Sebagian sahabat berkata, “Barangkali mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sedangkan sebagian yang lain berkata, “Barangkali mereka adalah orang-orang yang dilahirkan pada masa Islam. Sehingga mereka tak pernah berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.” Berikutnya mereka menyebutkan beberapa kemungkinan yang lain.
Mereka memberitahukan perkaranya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tatkala beliau keluar. Maka beliau bersabda,
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, tidak bertathayyur dan hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.”
Hadits di atas menyebutkan tentang sikap para sahabat yang memperbincangkan siapa gerangan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Ini menunjukkan keutamaan mereka dalam agama. Mereka bersemangat untuk bermudzkaroh tentang ilmu agama. Demikian pula mereka antusias untuk memahami pembicaran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk diamalkan.
Peristiwa ini juga menunjukkan kebolehan berijtihad dalam perkara-perkara yang di sana tidak terdapat dalil khusus selama yang melakukannya adalah seorang yang berilmu dan berhak untuk berijtihad. Hal ini terlihat dari perbuatan para sahabat yang masing-masingnya berijtihad untuk memahami gerangan yang dimaksud oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya terhadap mereka.
Namun perlu diingat oleh seorang yang berijtihad jika dia tidak memiliki dalil, maka tidak boleh dia memastikan kebenaran ijtihadnya. Hendaknya dia hanya mengatakan, “Barangkali hukumnya demikian dan demikian.” Oleh sebab itu para sahabat tidak memastikan kebenaran ijtihad mereka dalam memahami pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pada hadits di atas. (Lihat Qurratul Uyun halaman 28-29).
Hadits di atas menunjukkan pula tentang kebolehan berdialog dan mengadakan pembahasan tentang nash-nash syar’i dalam rangka mengambil pelajaran dan menerangkan kebenaran. Juga hadits di atas menunjukkan tentang kedalaman ilmu salaf karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan memperoleh yang dinyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan mengamalkannya. Ini menunjukkan bahwa mereka bersemangat untuk meraih kebaikan. (Lihat Fathul Majid)
Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan ciri-ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab sebagai berikut:
1. Tidak minta diruqyah
2. Tidak minta dikay
3. Tidak bertathayyur (melakukan thiyarah)
4. Hanya bertawakkal kepada Rabb mereka
1. Tidak Minta Diruqyah
Ruqyah adalah mengobati sebuah penyakit dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran atau zikir-zikir yang warid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Yang dicela dalam hadits di atas adalah orang-orang yang meminta untuk diruqyah oleh yang selainnya. Adapun orang- orang yang meruqyah selainnya maka tidak tercela dan bukan yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah”
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiah bahwa riwayat ini merupakan kesalahan dari rowi hadits. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang meruqyah. Maka beliau menjawab,
“Barangsiapa yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Di samping itu beliau bersabda,
“Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim, Abu Daud dari sahabat ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Selanjutnya Syaikhul Islam berkata, “Jibril ‘alaihis salam pernah meruqyah Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam. Demikian pula Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam pernah meruqyah sahabatnya.” (Lihat Fathul Majid beserta takhrijnya halaman 85-86).
Hadits tentang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diruqyah oleh Jibril diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Telah diriwayatkan dari hadits ‘Aisyah, Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud dan yang selain mereka dalam Shahih Al Bukhari dan yang selainnya, bacaan ruqyah yang cukup banyak dari Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam.
Perbedaan antara meruqyah dan minta diruqyah bahwa seorang yang minta diruqyah meminta dan mengalihkan hatinya kepada yang selain Allah. Sedangkan seorang yang meruqyah berbuat kebaikan kepada orang lain. Karenanya, yang dicela dalam hadits di atas adalah seorang yang meminta diruqyah. Maka seorang yang berbuat demikian tidak tergolong dari orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang sempurna tawakkal dan penyandaran hatinya kepada Allah. Demikian lebih kurang yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Fathul Majid halaman 86)
Orang-orang yang tidak meminta diruqyah oleh yang selainnya mendapatkan ganjaran masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Karena mereka memiliki beberapa sifat sebagai berikut
Pertama, karena penyandaran diri mereka sangat kuat terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, karena kemuliaan diri mereka yang tidak mau merendah kepada selain Allah (dengan meminta diruqyah oleh orang lain).
Ketiga, karena dalam perbuatan meminta diruqyah terdapat keterikatan kepada selain Dzat Allah. Yaitu keterikatan kepada orang yang meruqyah.
(Lihat Al-Qaulul Mufid 1/197)
Mengenai hukum ruqyah terbagi sebagai berikut:
1. Meruqyah Orang Lain
Hukumnya adalah mustahab. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Meruqyah termasuk perkara yang memberi kemanfaatan bagi orang lain.
2. Meminta Diruqyah
Hukumnya adalah makruh berdasarkan hadits Ibnu Abbas di atas. Karena dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.
3. Tidak Menolak Orang Lain untuk Meruqyah tanpa Memintanya
Hukumnya adalah mubah (diperbolehkan). Yang demikian ini tidak mengurangi kesempurnaan tauhid. Sebab Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam tidak menolak ‘Aisyah untuk meruqyahnya. Adapun hadits di atas berbunyi, “Tidak minta diruqyah.” Tentunya berbeda antara seorang yang diruqyah dengan memintanya dan seorang yang diruqyah tanpa memintanya.
4. Tidak Bersedia untuk Diruqyah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menolak ketika diruqyah oleh malaikat Jibril ‘alahis salam dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani
(Bersambung ke bagian tiga insya Allah ta’ala)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar