Sabtu, 16 Mei 2009
Padamnya Rasa Cemburu
Cemburu, asal tidak berlebihan, merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki pasangan suami istri. Sayangnya, kerusakan moral atas nama modernitas telah mengikis rasa cemburu itu. Walhasil, pintu perselingkuhan pun terbuka lebar hingga berujung pada runtuhnya bangunan rumah tangga.
Banyak kita jumpai fenomena di mana seorang suami tidak lagi merasa berat hati bila melihat istrinya keluar rumah berdandan lengkap dengan beraneka polesan make-up di wajah. Sang istri datang ke pesta, ke pusat perbelanjaan, ataupun ke tempat kerja hanya dengan pakaian ‘sekedarnya’ yang memperlihatkan auratnya. Tak cuma itu, keluarnya istri dari rumah pun seringkali hanya ditemani sopir pribadinya.
Hati suami seakan tak tergerak. Darahnya pun seolah tidak mendidih melihat semua itu. Justru terselip rasa bangga bila istrinya dapat tampil cantik di hadapan banyak orang. Parahnya lagi, dia tetap merasa tenang ketika ada lelaki lain yang mendekati istrinya dan berbicara dengan nada akrab. Bahkan sekali lagi dia merasa bangga bila lelaki lain itu mengagumi kecantikan istrinya.
Yang ironis, sang suami dengan semua itu, kemudian memandang dirinya sebagai seorang yang berpikiran maju, moderat, penuh pengertian, dan mengikuti perkembangan jaman. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Kebobrokan akhlak yang sangat parah pun menimpa, tatkala ghirah itu hilang… tatkala bara cemburu itu padam… Seorang suami tidak lagi memiliki ghirah terhadap istrinya, tidak ada rasa cemburu yang membuat dia menjaga istri dengan baik. Menyimpannya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tidak halal… Tidak ada lagi rasa cemburu di hatinya yang dapat mendorong untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, agar tidak melakukan pelanggaran akhlak dan moral. Bahkan, dia sendiri terjerembab, jatuh dalam jurang kenistaan.
Ghirah yang Hilang
Bila kita bandingkan kenyataan yang kita dapati pada hari ini dan kisah masa lalu, maka yang terucap hanyalah kata rindu, rindu kepada masa lalu. Betapa orang-orang dahulu begitu menjaga wanita mereka. Tidak mereka biarkan wanita mereka terlihat oleh mata-mata yang tidak halal, apalagi terkena sentuhan. Merupakan suatu aib bagi mereka bila wanita keluar rumah tanpa memakai kain penutup seluruh tubuhnya. Suatu cela bagi mereka bila ada lelaki lain berbicara dengan wanita mereka.
Mereka lazimkan wanita untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri). Perbuatan seperti itu bukan sekedar tradisi dan budaya suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Namun demikianlah yang diinginkan dalam syariat agama yang mulia ini. Dengan ghirah ini kemuliaan mereka pun tetap terjaga dan akhlak mereka terpelihara. Namun ketika ghirah ditanggalkan dan wanita dibiarkan keluar dari rumahnya tanpa rasa malu, terjadilah apa yang terjadi. Fitnah dan kerusakan moral yang tak terkira. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya telah memperingatkan:
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya dengan turun temurun, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Maka hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah kalian dari wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil adalah pada wanitanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2742)
Jaman memang telah berubah. Mayoritas manusia semakin jauh dari akhlak yang lurus. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak datang kepada kalian suatu jaman kecuali jaman setelahnya lebih jelek darinya (yakni dari jaman sebelumnya) hingga kalian bertemu dengan Tuhan kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7068)
Ghirah Seorang Suami Menurut Tuntunan Islam
Di dalam agama yang mulia ini, seorang suami dituntut untuk memiliki ghirah atau rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya:
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red)…”
Mendengar penuturan Sa‘ad yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencelanya, bahkan beliau bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, dalam kitab An Nikah, bab “Al-Ghairah” dan Muslim no. 1499)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim disebutkan bahwa tatkala turun ayat:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa‘ad bin ‘Ubadah: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.” Mendengar ucapan Sa‘ad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”. Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.” Sa‘ad berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/385)
Asma bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya: “Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya, mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik Az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bagiannya, dan jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh1. Suatu hari aku datang dari tanah Az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya untuk memboncengkan aku di belakangnya2. Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan Az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui Az-Zubair. Lalu kuceritakan padanya: ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang shahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Bukanlah makna ghirah atau cemburu itu dengan selalu berprasangka buruk kepada istri sehingga selalu mengintainya siang dan malam guna mencari-cari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa….” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Hati-hati kalian dari prasangka3 karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)
Ghirah Menyaring Kejelekan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata, bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling memiliki ghirah terhadap umatnya. Dan ghirah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dibanding beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada satupun yang lebih ghirah daripada Allah. Karena ghirah-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)
Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Pokok dari agama ini adalah ghirah, maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama. Ghirah ini akan melindungi hati sehingga terlindung pula anggota badan lainnya, tertolaklah dengannya segala perbuatan jelek dan keji. Sementara tidak adanya ghirah menyebabkan matinya hati hingga anggota badan lainnya pun ikut mati, akibatnya tidak ada penolakan terhadap perbuatan jelek dan keji.” (Ad-Daau wad Dawa, hal. 109-110)
Awal Runtuhnya Ghirah
Hilangnya ghirah dari lubuk hati seorang insan disebabkan oleh banyak hal, di antara sebab terbesar yang bisa kita saksikan adalah:
1. Kebanyakan mereka berpaling dari mempelajari agama yang agung ini, yang dengannya Allah memuliakan kita setelah sebelumnya kita hina. Namun ketika nikmat yang agung ini disia-siakan dan manusia enggan mengikuti petunjuk Rasul yang menyampaikan agama ini, mereka kembali terpuruk hina dina di hadapan umat lainnya. Sehingga mereka merasa minder bila tidak mengikuti orang-orang kafir. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, mereka terus mengikuti jejak orang-orang kafir tersebut. Dalam keadaan mereka menyangka bahwa itu adalah peradaban dan kemajuan, padahal sebenarnya hal itu adalah kehinaan dan kehancuran. Kenyataan yang demikian ini telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya, beliau bersabda:
“Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara hidupnya) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
2. Termasuk perkara yang menyebabkan hilangnya ghirah dalam dada kaum muslimin adalah banyaknya fitnah dan perubahan yang mereka terima lalu ditelan mentah-mentah oleh hati-hati mereka sehingga menjadi bagian darinya. Akibatnya terbaliklah fitrah mereka. Dalam pandangan mereka, yang mungkar adalah ma‘ruf dan yang ma‘ruf adalah mungkar. Bila ada yang membawakan kebenaran kepada mereka sementara kebenaran itu menyelisihi kebiasaan mereka, maka mereka menganggap hal itu jumud, terbelakang, dan menghambat kemajuan. Membebaskan wanita keluar dari rumahnya dengan segenap keindahannya adalah termasuk kemajuan dalam pikiran kotor mereka.
3. Hal lain yang membuat seorang suami menanggalkan ghirah-nya adalah persangkaannya yang keliru. Dia menyangka bahwa rasa malu dan menutup tubuh (berhijab) bagi wanita adalah bagian dari masa lalu sehingga telah ketinggalan jaman bila tetap dikenakan di masa modern ini. Ia tidak ingin mengekang istrinya dengan kebiasaan yang sudah usang dimakan jaman, bahkan ia ingin menunjukkan kepada istrinya dan kepada orang lain bahwa ia seorang laki-laki yang moderat dan selalu mengikuti kemajuan.
4. Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati dan hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)
Dari penjelasan yang kita dapatkan di atas, pahamlah kita bahwa ghirah dalam batasan yang diperkenankan syariat merupakan sifat yang terpuji. Dengan ghirah ini seorang laki-laki dapat menjaga istrinya dan mahramnya yang lain dari perbuatan yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya tidak adanya ghirah menyebabkan seorang suami membiarkan istrinya jatuh ke dalam lumpur noda dan dosa. Akibatnya kejelekan dan fitnah pun tersebar…
Betapa butuhnya kita untuk kembali kepada aturan syariat yang mulia ini. Betapa perlunya kita kembali menengok ke masa lalu yang sangat menjaga ghirah, masa lalu yang sarat dengan penerapan ajaran agama yang mulia ini. Dan sungguh ini adalah senandung kerinduan kepada masa lalu….
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar