Sabtu, 16 Mei 2009

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab (3)


Pada edisi sebelumnya kita telah memaparkan beberapa ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Ciri-ciri mereka adalah tidak meminta diruqyah, tidak meminta dikay, tidak melakukan tathayyur dan hanya bertawakkal kepada Allah. Kita telah menjelaskan ciri yang pertama dengan rinci. Sekarang kita akan memperinci keterangan tentang ciri-ciri yang berikutnya.

2. Tidak Meminta dikay

Kay adalah metode pengobatan dengan cara menempelkan besi panas dan yang sejenisnya pada kulit bagian tubuh yang sakit. Pengobatan dengan cara kay adalah perkara yang diperbolehkan dalam syariat islam. Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Beliau berkata,
“Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Kaab. Lalu sang tabib memutus salah satu urat Ubay bin Kaab kemudian mengkaynya.” (HR. Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu,
“Bahwasanya beliau mengkay penyakit bisul yang besar dan muncul pada bagian dalam lambung. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.” (HR. Al Bukhari)
Dalam hadits yang lain Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkay As’ad bin Zuroroh karena wajah dan tubuhnya memerah.” (HR. At Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini hasan ghorib)
Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang kebolehan melakukan pengobatan dengan cara kay. Akan tetapi di sana terdapat pula sebagian hadits yang melarangnya. Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan ketidaksukaannya terhadap pengobatan dengan cara kay ini.
Adapun hadits-hadits itu sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Penyembuhan itu terdapat pada tiga hal; Minum madu, berbekam, dan dikay dengan api. Dan aku melarang umatku dari melakukan kay.” (HR. Al Bukhari)
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Dan aku tidak suka bila aku dikay.” (HR. Al Bukhari)
Hadits-hadits ini seolah-olah berlawanan dengan hadits-hadits di atas. Maka untuk memahaminya marilah kita menyimak penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini,

“Hadits-hadits mengenai pengobatan dengan cara kay mengandung empat hal:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
2. Ketidaksukaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kay.
3. Pujian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang yang meninggalkan kay.
4. Larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dari perbuatan kay.

Alhamdulillah, keempat jenis hadits ini tidaklah saling bertentangan satu sama lain. Karena perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kebolehannya. Sedangkan ketidaksukaan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menunjukkan pelarangannya. Sementara pujian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bagi orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa yang demikian itu lebih baik dan lebih utama. Adapun larangan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam apabila dilakukan dengan permintaan sendiri dan hukumnya makruh. Bisa pula yang dimaksud bahwa kay termasuk jenis pengobatan yang tidak dibutuhkan, tetapi dilakukan ketika khawatir akan tertimpa oleh sebuah penyakit. Wallahu a’lam.” (Zadul Ma’ad 4/60).
Tidak meminta untuk dikay termasuk dari ciri-ciri orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab dikarenakan perbuatan ini akan melemahkan penyandaran diri kepada Allah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

3. Tidak bertathayyur (Melakukan Thiyarah)
Thiyarah adalah suatu metode peramalan nasib. Asal istilah ini bermakna ramalan nasib buruk dengan melihat burung. Namun sesungguhnya perkara ini lebih umum dari yang telah disebutkan. Maka mencakup segala ramalan nasib buruk baik dengan melihat dan mendengar sesuatu. Demikian pula segala ramalan nasib buruk yang dikaitkan dengan zaman atau tempat tertentu.
Dahulu bangsa Arab dikenal suka melakukan hal ini. Apabila salah seorang dari mereka ingin melakukan suatu kebaikan lalu dia melihat burung melintas ke kanan atau ke kiri maka niatnya diurungkan. Hal ini disesuaikan dengan adat kebiasaan yang berlaku di kalangan mereka. Di antara mereka ada yang bila mendengar sebuah suara atau melihat seseorang dia meramal nasib buruk (akan menimpanya). Di antara mereka ada yang meramalkan nasib buruk jika melakukan pernikahan di bulan Syawwal. Oleh karena ini ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengikat akad nikah denganku di bulan Syawal, mulai berumah tangga denganku di bulan Syawwal. Maka siapa di antara kalian (wahai para istri nabi) yang paling besar keberuntungannya di sisi beliau.” (HR. Muslim)
Di antara mereka ada yang meramal nasib buruk yang dikaitkan dengan hari Rabu atau dengan bulan Safar. Ini semua merupakan perkara yang telah dibatalkan oleh syariat sebab membahayakan akal, pemikiran dan jalan hidup seseorang. Apabila seorang insan tidak mempedulikan ramalan-ramalan itu maka inilah yang disebut dengan bertawakkal kepada Allah. Karenanya beliau menutup pembicaraan dengan menyatakan, “Mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” Maka peniadaan seluruh perkara ini dari diri mereka menunjukkan kekuatan tawakkal mereka. (Al-Qaulul Mufid/1-99)
Melakukan thiyarah adalah perkara yang diharomkan karena merupakan kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“At-Thiyarah itu syirik. At-Thiyarah itu syirik. Dan tak seorang pun dari kita kecuali (di hatinya terdapat perkara ini). Akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Hadits hasan shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan yang selainnya).
Dinyatakan sebagai syirik sebab thiyarah mengandung ketergantungan hati kepada yang selain Allah. (Fathul Majid halaman 377)

4. Bertawakkal kepada Rabb Mereka

Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dasar berpijak yang mengumpulkan seluruh ciri yang sebelumnya yaitu bertawakkal, kejujuran penyandaran diri dan hati kepada Allah ta’ala. Inilah puncak perealisasian tauhid yang membuahkan berbagai kedudukan yang mulia. Yaitu yang berupa kecintaan, pengharapan, rasa takut dan keridhaan terhadap Allah sebagai Rabb dan Ilah (sesembahan). Demikian pula keridhaan terhadap keputusan takdirnya. (Fathul Majid halaman 87)
Sebuah pertanyaan yang masih tersisa dalam pembahasan ini yaitu, “Apakah melakukan perkara-perkara di atas adalah tercela atau hanya mengurangi kesempurnaan tauhid? .” Jawabannya bahwa perkara-perkara itu mengurangi kesempurnaan tauhid kecuali yang berkaitan dengan thiyarah. Sebab thiyarah mengandung bahaya dan tidak memiliki hakikat sama sekali. (Qaulul Mufid 1/99)
Keempat ciri yang telah disebutkan di atas menunjukkan kekuatan tawakkal dan penyerahan urusan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hati mereka tidak bergantung kepada selain Allah dalam setiap perkara yang telah Allah atur dan tetapkan. Sehingga mereka tidak berharap dan takut kecuali kepada Rabb mereka.
Mereka meyakini bahwa segala yang menimpa mereka merupakan takdir dan pilihan Allah bagi mereka. Mereka tidak meminta perlindungan kecuali kepada Allah semata untuk menghilangkan bahaya yang menimpa. Allah berfirman tentang ucapan Nabi Ya’qub ‘alaihis salam,

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (Yusuf: 86) (Qurratul Uyun halaman 29)

Untuk menutup penjelasan kali ini, baik sekali bila kita mencermati keterangan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di. Beliau berkata, “Maka barangsiapa merealisasikan tauhid dalam bentuk yang seperti ini, dia akan memperoleh keutamaan-keutamaan yang diisyaratkan pada bab sebelumnya secara sempurna. Wallahu a’lam.” (Al-Qaulul Sadid halaman 23).

SELESAI

Oleh: Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani
Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar