Senin, 18 Mei 2009

Ketika Hati Bersimpuh Di Hadapan Ilahi


Ma`iz bin Malik datang menemui Rasulullah saw, seraya berkata :
”Ya Rasulullah, bersihkanlah saya dari dosa yang telah saya lakukan.”

Rasulullah saw. menjawab: “Celaka engkau ! Pulanglah , Mintalah ampun kepada Allah swt. dan bertaubatlah kepada-Nya !”.

Ma`iz lalu berpaling, tapi tidak berapa jauh dari tempat itu, ia kembali lagi menghadap Rasulullah saw. dan berkata lagi :
”Ya, Rasulullah. Suci kanlah diri saya dari dosa yang telah saya lakukan.”

Nabi saw pun berkata seperti sebelumnya, sampai terulang kejadian semacam itu tiga kali. Dan ketika untuk keempat kalinya Ma`iz menghadapnya dan mengulangi perkataannya itu, maka Rasul akhirnya bertanya kepadanya :

”Dalam perkara apa ?”, ia menjawab :”Dari perbuatan zina”.

Kemudian Rasulullah saw bertanya kepada yang hadir ketika itu: “Apakah ia gila ?”, dan salah seorang sahabat mengabari bahwa Ma`iz sama sekali tidak gila. “Apa ia mabuk khamr ?” tanya Rasulullah saw selanjutnya. Lalu salah seorang di antara para sahabat itu bangkit dan mencium nafas yang keluar dari mulut Ma’iz, namun ia sama sekali tidak mencium bau minuman keras.

Kemudian Rasulullah saw. mengintrogasinya :”Apa engkau telah berzina ?”, Ma`iz menjawab: “Benar, ya Ra sulullah.” Segera Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabat untuk merajamnya.

Pada saat itu, yang hadir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pihak yang tidak senang atas perbuatan zina dengan berpendapat :
”Celakalah, ia telah terjerat oleh dosa-dosanya.”

Sedang pihak yang simpati atas pengakuan Ma`iz mengatakan :
“Tidak ada taubat yang melebihi taubatnya Ma`iz.”
Akhirnya Ma`iz menghampiri Rasulullah saw, dan berjabat tangan dengannya.
Kemudian ia berkata :”Lemparilah aku dengan batu-batu sampai aku mati.”

Maka ia dirajam dua atau tiga hari, kemudian datanglah Rasul sambil memberikan salam kepada para sahabat yang sedang duduk, dan beliau pun ikut duduk.
Lantas Rasulullah saw. berkata :”Mintalah ampunan kepada Allah swt untuk Ma`iz bin Malik, sungguh ia telah benar-benar bertaubat kepada Allah swt, seandainya taubatnya itu kamu bagi-bagikan kepada satu ummat pasti akan mencukupinya.”

Beberapa hari sesudah itu, tiba-tiba datang seorang wanita dari daerah Ghamid menghadap Rasulullah saw seraya berkata :
”Ya Rasulullah saw., sucikanlah diriku dari dosa-dosa yang telah aku lakukan.”

Rasul menjawab :”Celakalah engkau, pulanglah!, mintalah ampun kepada Allah swt dan bertaubatlah kepada-Nya!”.

Namun wanita itu kemudian bertanya :
”Apakah tuan akan mengulangi sikap tuan terhadap Ma`iz kemarin kepada saya?”.

“Ada apa dengan anda ?” Rasul bertanya kepadanya.

Sambil mengusap perutnya yang sedang hamil, wanita itu menjawab:
”Kehamilanku ini adalah hasil dari perbuatan mesum yang aku lakukan bersama Ma`iz!”.

Dengan terkejut Rasûlullâh saw berkata :
”Jadi engkau adalah wanita yang dihamilinya?”.

Wanita itu menjawab “Benar!”.

Baiklah, tunggu sampai engkau melahirkan anak yang ada dalam perutmu ini.” (Diriwayatkan dari Buraidah).

Buraidah selanjutnya berkata :”Kemudian wanita itupun dirawat oleh seorang Anshar sampai akhirnya ia melahirkan anaknya. Kemudian ia pun kembali mendatangi Rasulullah saw dan berkata :
”Aku telah melahirkan bayi dalam kandunganku”.

Namun Rasulullah saw menjawab :”Tetapi saya tidak akan merajamnya dengan meninggalkan bayinya tanpa seorangpun yang menyusuinya.”

Saat itu tampillah seorang dari kaum Anshar seraya berkata :”Saya akan menanggung penyusuannya ya Nabiyullah.” Selanjutnya Buraidah berkata :”Kemudian dirajamnya wanita itu.” (HR.Muslim No.1695).

Dalam riwayat An-Nasa`i, disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan menggali sebuah lubang dan mengubur wanita itu sampai ke dadanya, kemudian memerintahkan kepada kaum muslimin untuk merajamnya. Pada saat itu datanglah Khalid bin al-Walid dengan menggenggam sebuah batu dan melemparkannya ke arah wanita itu, sehingga darahnya memercik mengenai wajah atau dahi Khalid.

Melihat itu, Khalid pun menyumpahi wanita itu, Rasulullah saw mendengar umpatan Khalid, dan memperingatinya : ”Wahai Khalid, jangan engkau berkata demikian, demi Zat Yang jiwaku berada ditangan-Nya, Sungguh wanita ini telah melakukan taubat yang sebenar-benarnya, yang apabila taubatnya dibagikan kepada satu kaum pasti akan mencukupinya.”

Setelah itu Rasulullah saw. memerintahkan mengangkat mayat wanita itu untuk di shalatkan dan dikuburkan. (HR.An-Nasa`i, dalam As-Sunan Al-Kubra, No. 7197).

Dari fakta historis Islam ini, kita dapat menangkap betapa tingginya kesadaran kaum muslimin terdahulu terhadap penarapan syariat Islam, kisah Ma`iz bin Malik dan kekasihnya merupakan salah satu dari banyak contoh tentang kesadaran dan semangat penerapan syariat Allah.

Meski tidak ada seorang pun mengetahui perbuatan zina yang mereka lakukan, dan sekalipun terbuka berbagai kesempatan untuk terhindar dari jeratan hukum atas perbuatan mesum yang dilakukannya, namun mereka berdua menutup semua pintu dan celah itu bagi dirinya, bahkan sebaliknya ia mengakui segala kesalahannya dan memohon untuk diterapkan hukum pidana Islam atas dirinya.

Ungkapan historis yang terlontar dari Ma`iz dan kekasihnya, “Bersihkan diri saya, ya Rasulullah !”, mencerminkan suatu kesadaran yang kuat, mengalahkan keinginan manusiawi mereka berdua untuk tetap survival (bertahan hidup) di dunia yang fana ini. Mereka berdua lebih senang memilih disucikan dari dosa melalui rajam terhadap perbuatan yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Allah swt dan terbebas dari pengadilan akhirat, daripada menutup-nutupi kesalahan dirinya demi untuk tetap mempertahankan keinginan menikmati manisnya kehidupan dunia sambil bermohon ampunan kepada Allah atas kesalahannya, yang siapa tahu akan dapat di ampuni-Nya juga tanpa melalui hukum rajam tersebut.

Kekuatan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap yang dimiliki Ma`iz dan kekasihnya, maupun para sahabat lainnya r.a tidak semata-mata muncul begitu saja me lainkan lahir dari sebuah konsepsi yang sama di kalangan mereka mengenai wahyu Allah swt, sebuah konsepsi yang terpatri kuat dalam hati dan pikiran mereka, konsepsi yang ditanamkan oleh Rasulullah saw melalui berbagai peperangan, dakwah, dan berbagai cobaan kehidupan dunia, dan dengan konsepsi ini mereka mampu mene rapkan syariat Islam dan menciptakan keadilan, perluasan wilayah pembebasan dan menjaga stabilitas regional. Bahkan melalui konsepsi ini terbentuklah komunitas Muslim yang pertama secara unik (QS. 3 : 110).

Konsepsi itu adalah keharusan bagi mereka untuk menerima al-Qur`an dan melaksanakannya dalam kehidupan keseharian, baik yang berkaitan dengan segala urusan pribadi maupun dalam komunitas yang hidup bersamanya (Q.S. 2 : 285).

Sikap mereka kepada al-Qur`an tak ubahnya bagaikan prajurit yang menerima “perintah harian” di lapangan, dengan segera melaksanakannya setelah mendengar perintah tersebut.

Dari Ibnu Mas`ud r.a. berkata : “Dahulu kami, jika mempelajari 10 ayat kami tidak melaluinya sehingga kami mengerti maknanya dan mengimplementasikannya”. (Lihat “Tafsir Al Qur`an Al`Azhim” Ibnu Katsir, dalam Muqaddimah At-Tafsir / 22).

Konsepsi ini sangat berbeda dengan sistem kajian sebagian orang “Tokoh pembaharu Islam” dalam menelaah al-Qur`an. Mereka tidak menghadap al-Qur`an untuk dimplementasikan melainkan hanya untuk mengkritisi, mengkoreksi bahkan merombak tatanan nilai di dalamnya.

Kalau dulu para sahabat sebelum menghadap ke al-Qur`an membuang terlebih dahulu segala persepsi dan ketentuan pribadinya, untuk selanjutnya mengambil jawaban al-Qur`an atas segala pertanyaan yang bergejolak dalam diri mereka, sedang para “Tokoh pembaharu Islam” menghadap al-Qur`an dengan membawa persepsi dan ketentuan personal sebagai parameternya dalam menilai atau menafsirkan al-Qur`an untuk kemudian mencari dalil yang membenarkan apa yang telah ada dalam pemikiran dan benak mereka.

Sehingga lebih mudahnya mereka menjadikan akal mereka sebagai timbangan terhadap wahyu. Maka wajar sekali apabila karya-karya mereka banyak mengandung kerancuan dan jauh dari semangat Qur`ani. Sampa-sampai seorang penafsir mengatakan bahwa nash al-Qur`an wajib ditakwilkan agar cocok dengan pemahaman akal !, suatu prinsip yang berbahaya mengingat wahyu dan akal bukanlah merupakan dua hal yang sepadan karena wahyu adalah pokok rujukan bagi akal, yang menimbang dan menguji kesimpulan serta meluruskan kekurangan dan penyimpangan akal.

Sesungguhnya menerima otoritas wahyu tidaklah berarti mendepak akal , diantara keduanya tentu saja terdapat kesesuaian dan keserasian, namun akal bukanlah pemegang keputusan terakhir.

Ringkasnya, menjadikan kitab Allah swt sebagai sumber petunjuk satu-satunya dalam kehidupan dan mengembalikan segala masalah hanya kepada-Nya merupakan suatu keharusan dari setiap diri kita.

Kita sama-sama bersepakat bahwa dalam menanggulangi masalah kerusakan sebuah pesawat terbang, kita harus memanggil seorang insinyur yang membuat pesawat itu, dan kita sama-sama bersepakat bahwa seorang pilot yang akan mengoperasionalkan suatu pesawat terbang harus mengikuti buku petunjuk operasional pesawat yang dikeluarkan dari perusahaan yang memproduksinya. Tetapi mengapa kita tidak mau menerapkan prinsip ini dalam diri kita sendiri.

Allah swt lah yang menciptakan kita dan hanya petunjuk-Nya yang benar. Sedang kita mengetahui bahwa pegangan yang mantap dan pengarahan yang benar hanyalah : Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”.
(QS. 2:120)


sumber : http://labbaik.worldpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar