Senin, 18 Mei 2009
Tiga Sebab Munculnya Ekstremitas
Sifat tergesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا (البخاري)
“Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu melainkan pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan sikapilah dengan gembira (lapang dada).” (Al-Bukhari)
Hadits di atas menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam adalah moderat dan jauh dari ekstremitas. Al-Qur’an dan Sunnah telah menggariskan segala sesuatu yang membuat manusia mencapai kebaikan, kebahagiaan, serta kejayaan dunia dan akhirat. Ada nash-nash yang amat rinci seperti penjelasan mengenai praktik ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah seperti itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain yang diterangkan secara rinci adalah pembagian harta waris. Siapa yang berhak memperolah harta waris dan berapa bagian untuk masing-masing orang yang berhak itu.
Selain itu, ada pula petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum. Perinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu. Yakni para ulama dengan kualifikasi tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini banyak berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan lain sebagainya. Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan oleh Islam.
Tanpa standar itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena seseorang tidak suka dengan cara temannya berislam –yang belum tentu salah– dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang yang selalu mengambil pilihan yang sulit dan ‘keras’ akan menuduh orang yang berbeda dengan dirinya sebagai orang yang tidak komit, lembek, dan penakut. Jadi tidak ada Islam ekstrem, yang ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw., “Binasalah mutanath-thi’un.” Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (Muslim)
Imam Nawawi, dalam kitabnya Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata ‘mutanath-thi’un’ yang ada dalam hadits itu: “Mutanath-thi’un adalah orang-orang yang mendalam-dalami (secara memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang tidak seharusnya keras.”
Mengapa muncul sikap memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan Islam? Banyak sebab, antara lain:
1. Memahami Syariat Islam secara parsial.
Pemahaman parsial tentang Islam (syariat Islam) mempunyai peran besar dalam memunculkan perilaku ekstrem. Syariat Islam Islam merupakan satu bangunan utuh yang satu komponen dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya akidah dan keimanan. Lantai pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta’abbudi) adalah lantai kedua. Lantai ketiganya adalah mu’amalat dengan segala cabangnya. Dan bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian itu.
Syariat Islam bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan, hukum rajam, atau hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata Islam, menegakkan syariat Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait dengan hal ini, Dr. ‘Ali Juraisyah menegaskan, “Bukan hanya dengan hudud syariat Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum mu’amalah. Sedangkan mu’amalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syariat. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan mu’amalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”
Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa “mendirikan” negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah lebih penting dari membina akidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena kesemuanya itu adalah merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari integralitas Islam.
Dalam pembahasan iman kepada Allah, misalnya, ada bagian yang oleh para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.
Dari situ jelas bahwa akidah bukan saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia adalah merupakan bagian dari pembahasan iman kepada Allah. Dan iman kepada Allah adalah rukun pertama dari rukun iman. Dan selain mempunyai rukun, iman juga mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat “hanyalah” satu dari rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian asasi dari Islam dan bukanlah keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada dzikir, ada ukhuwwah, ada khusyu, ada tawadhu’, ada jihad dan seterusnya.
2. Kedangkalan Ilmu.
Semangat saja belum cukup untuk membela Islam. Selain semangat harus ada ilmu. Akibat kedangkalan pemahaman dan tidak menguasai sendi-sendi hukum dalam Islam dapat pula memunculkan ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi –semoga Allah menjaganya– untuk menggambarkan hal itu dengan menggunakan istilah dha’ful-bashirati bihaqiqatid-din (lemahnya pemahaman tentang hakikat agama).
Lebih jelasnya beliau menyebutkan, “Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan mutlak tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan sikap ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya pegangan dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama.” (Lihat Ash-Shahwatul-Islamiyyah Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)
Dari kedangkalan ilmu pula dapat muncul perilaku mudah mengkafirkan orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak wajib dimiliki oleh para dai. Ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)
3. Terburu Nafsu
Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik terkait dengan dunia maupun akhirat. “Apabila untuk mencapainya mengambil jalan pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil berkeyakinan bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan mengantarkan kepada tujuan, maka ini jelas kesalahan besar. Dari sinilah berangkatnya sikap mengharamkan untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah,” Kata Dr. Muhammad Zuhaili.
“Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan hawa nafsunya dan merasa bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya juga diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah jalan yang salah atau kurang,” imbuh Muhammad Zuhaili (Al-I’tidal Fit-tadayyun hal. 11-12).
Sikap isti’jal kerap muncul dan seringkali tampil sebagai ekstremitas. Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi ketika cita-cita menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan kesabaran untuk menempuh perjalanan yang pernah ditempuh oleh Rasulullah saw. Dr. Sayyid Muhammad Nuh menggambarkan sikap isti’jal itu, “Ia ingin mengubah kondisi atau realita kehidupan kaum muslimin dalam waktu sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub dan wasilahnya.” (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal. 81)
Jadi, aslinya Islam itu mudah, adil, seimbang, dan wasath (moderat). Orang yang paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh ajaran Islam. Dan ekstremitas terjadi justru manakala orang meninggalkan Islam atau menyimpang dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh Rasulullah saw. Allahu A’lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar