Sabtu, 16 Mei 2009

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab (1)


Pembahasan kita kali ini secara umum masih termasuk ke dalam keutamaan Tauhid. Hanya saja kita khususkan keutamaan ini karena ini merupakan keutamaan yang Allah khususkan bagi para muwahiddun, orang benar-benar merealisasikan tauhidnya dengan sempurna. Keutamaan itu adalah dimasukkannya dia ke dalam surga tanpa harus dihisab.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Al-Imam Al Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam shahih keduanya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang (sejumlah sepuluh atau kurang) dan seorang nabi yang bersamanya satu dan dua orang, serta seorang nabi yang tak seorang pun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak. Aku pun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku, “Ini adalah Musa bersama kaumnya.” Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku, “Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.”
Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada di antara mereka yang berkata, “Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ada lagi yang berkata, “Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada Allah.” Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda,
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya dikay, tidak melakukan tathayyur dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka.”
Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.
Beliau menjawab,
“Kamu termasuk golongan mereka.”
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka.”
Beliau menjawab, “Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah.”
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya bahwa orang-orang yang masuk surga tanda melalui hisab maupun azab adalah mereka yang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta dikay, tidak melakukan tathayyur dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka.
Ruqyah adalah mengobati suatu penyakit dengan cara membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mayoritas Manusia Mengingkari
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa yang selamat dari semua umat jumlahnya sedikit. Mayoritas dari mereka lebih cenderung mengikuti tabiat manusia yaitu pengingkaran terhadap para Rasul sehingga mereka binasa. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman

وَمَا وَجَدْنَا لأكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ (١٠٢)

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raf: 102).

قُلْ سِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (٤٢)

“Katakanlah: ‘Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)’.” (Ar-Ruum: 42)
Kata Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, “Orang-orang yang selamat dari segala umat jumlahnya sedikit. Sedangkan mayoritas dari mereka dikuasai oleh tabiat manusia. Mereka bermaksiat kepada utusan Allah dan mereka binasa.
Orang-orang yang selamat walaupun jumlahnya sedikit, mereka disebut assawadu a’dhom. Karena mereka besar nilainya di sisi Allah walaupun jumlah mereka sedikit. Maka setiap muslim hendaknya berhati-hati dengan jumlah yang banyak. Banyak orang yang tertipu dengan jumlah yang mayoritas. Sampai-sampai sebagian orang yang mengaku berilmu mereka meyakini dalam agama mereka apa yangdiyakini oleh orang-orang bodoh dan sesat. Kemudian mereka tidak menoleh kepada apa yang diucapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Kebenaran Tidak Disandarkan kepada Jumlah Mayoritas
Di dalam hadits ini diceritakan juga bahwa ada nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya. Maksudnya nabi tersebut ketika Allah utus kepada sebuah kaum, beliau ‘alaihissalam tidak memiliki seorang pengikut pun. Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa ini adalah bantahan bagi orang-orang yang mengukur kebenaran dengan jumlah yang banyak, melalui sistem demokrasi misalnya. Kebenaran adalah apa yang datang dari sisi Allah ta’ala, sebagaimana firmannya,

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١٤٧)

“Kebenaran itu datang dari sisi Rabbmu, maka janganlah engkau termasuk ke dalam orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Di lain ayat Allah berfirman,

اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Ikutilah oleh kalian apa yang diturunkan oleh Allah.” (Al-Baqarah: 170)
Di dalam Al-Quran Allah ta’ala malah melarang untuk mengikuti kebanyakan orang,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Jika engkau mentaati mayoritas orang dimuka bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Al-An’am: 116)

Tidaklah Allah memerintahkan untuk mengikuti suara mayoritas. Yang Allah perintahkan adalah mengikuti kebenaran yang datang dari Allah ta’ala. (bersambung ke bagian kedua insya Allah)

Oleh: Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani
(Sumber: Buletin Jum’at Al Muslim, diterbitkan oleh Panitia Kajian Islam Yogyakarta;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar