Jumat, 08 Mei 2009
Angka, Penanda Peradaban
Mengapa kaum muslim mencintai angka ganjil ? dan menganggap begitu penting angka sembilan bagi sebagian mereka ? Mengapa orang China justru tidak menyukainya serta lebih menfavoritkan angka delapan? Atau juga orang barat, mengapa mereka menghindari angka 13?
Misteri inilah yang kini terus menggelayuti benak banyak orang yang hidup di dunia fana ini. Wanita Jerman pengagum tokoh sufi Maulana Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimel, melalui bukunya ‘Misteri Angka Angka’ pernah menulis panjang lebar mengenai daya magis atau misteri yang melatarbelakangi angkaangka ini. Tapi yang penting sebenarnya sampai sejauh manakah pengaruh peradaban Islam dalam bidang numerology ini?
Bila kita lihat banyak sekali orang yang tidak sadar bahwa bentuk angka yang kita lihat sehari-hari itu adalah angka Arab (Arabic number). Ketidaktahuan ini pun meluas, tak peduli mereka itu adalah orang yang tinggal di belahan bumi barat, timur, utara, atau selatan. Mereka terkecoh seolah angka yang lazim digunakan adalah angka latin. Almarhum Nurcholish Madjid dalam sebuah ceramahnya beberapa tahun silam pernah menyinggung soal `eksistensi’ angka tersebut.
Dia mengungkapkan bahwa di Barat pun ketika orang ingin menyebut nama angka, maka dia harus menjelaskan terlebih dahulu apa nama angka itu. Sebab, ada dua model angka yang masih lazim dipakai hingga kini, yakni angka Romawi (disimbolkan I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, ...) dan angka Arab (disimbolkan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9...)
`’Kalau tulisan Latin itu sudah lama mati. Dalam pergaulan dunia modern kini tinggal angka Romawi dan Arab yang masih digunakan. Namun angka Romawi pun sangat jarang digunakan karena tidak praktis dan memakan tempat. Beda dengan angka Arab yang sangat praktis dan mengena sesuai alur logika,’’ kata Nurcholish Madjid.
Harus diakui, kepraktisan angka Arab yang pengaruhnya mendunia itu juga sebagai imbas dari penyebaran ajaran Islam. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat kalau kita membaca tulisan surat kabar atau teks tayangan elektronik berbahasa Cina. Dalam tulisan Cina itu, meski semua kalimatnya menggunakan huruf tersebut, namun ketika harus menyebutkan soal angka, maka akan kembali memakai angka angka Arab.
Mengapa ini terjadi?
Jawabannya, bila masih menggunakan angka Cina, maka kalimatnya menjadi sangat panjang. Bahkan mungkin menjadi sangat sulit dipahami dengan mudah bila sudah menyebut jumlah triliunan.
Tapi yang paling mendasar,`berkah’ dari digunakannya angka Arab ini adalah dipakainya logika matematika. Ini juga sebagai imbas dari kejayaan peradaban Islam di mana kemudian memperkenalkan aneka model hitungan, seperti misalnya penggunaan metode al-jabar yang dikenal di dunia ilmu pengetahuan masa kini sebagai algebra, atau algorithm yang kemudian kita kenal sebagai logaritma.
Dan salah satu karya sarjana Arab yang kemudian disebut sebagai salah satu peletak dasar matematika adalah buku yang ditulis Muhammad ibn Musa al Khwarizmi, IHisab alJabr wa al-Muqabalah (buku tentang restitusi dan Persamaan) yang ditulis sekitar tahun 800 M. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Robert dari Chester sekitar tahun 1143 M.
Bukan hanya itu, berkat angka Arab itulah dunia mengenal model enghitungan ganjil dan genap. Model ini tidak dikenal dalam angka Romawi karena model ini hanya mempadankan bahwa angka itu jumlah bilangan saja.
Pengaruh yang paling sederhana bagi dunia masa moderen ini adalah berkat adanya pemikiran `ganjil-genap’, para keturunan nabi Adam SAW ini dapat membuat lift dan membuat baut. Inilah hal yang paling sepele, sebelum terkait dengan hitungan invers sebagai kelanjutan aljabar yang kemudian bisa menghitung keretakan pesawat seperti yang dipakai dalam disertasi BJ Habibie itu.
Daya tarik terhadap misteri angka itulah yang terus membuat manusia semenjak ribuan tahun lalu hingga masa kini, menjadi penasaran. Awalnya, manusia bertanya-tanya mengenai tanda apakah yang diberikan oleh Sang Pembuat Alam Semesta ketika menampilkan hamparan bumi, panas matahari, serta sosok bulan dan bintang.
Akibatnya, sebagai hasil perenungannya kemudian membuat manusia berpikir bahwa ada sesuatu misteri ketika harus melambangkan ciptaan Tuhan itu. Begitu juga angka, sebagai salah satu metode dalam sistem lambang manusia, juga dipercaya punya sesuatu hal atau maksa yang khusus.
Pada awal peradaban, angka memang dianggap sebagai hal yang merepresentasi kan roh-roh,dewa, dewa, atau setan-setan. Dengan mengetahui angka maka dianggap seorang manusia memiliki kekuatan sihir, membuat mantera-mantera, atau bisa membuat sesuatu. Situasi seperti ini pernah terjadi ketika para cenayang atau tukang sulap (Alchemy) ingin membuat emas tiruan.
Namun, seiring dengan hadirnya agama samawi, secara perlahan hal itu dikikis. Ajaran dan peradaban Islam kemudian mengokohkan dan memberi dasar logikanya dengan merobek misteri menjadi hal yang bisa dinalar. Dan argumentasi inilah yang kemudian turut pula menjadi alasan mengapa orang Indonesia dahulu pernah menyebut matematika atau ilmu hitung sebagai ilmu pasti.
Pada sisi lain, adanya dasar logika dalam memahami angka itu kemudian dapat menjawab misteri mengapa kaum Muslim menyukai angka ganjil. Sebagai jawabannya adalah karena dalam sebuah hadits disebutkan Rasul Muhammad SAW pernah berkata angka ganjil itu mendekatkan kepada eksistensi sebenar-benarnya dari Allah SWT yang tunggal (monoteisme).
Sedangkan dasar logika angka sembilan menjadi favorit, terutama di kalangan kaum sufi, karena angka ini melambangkan `kesempurnaan’. Sebab, setelah angka sembilan bilangan adalah kembali ke `0’ (nol). Maka angka sembilan dipakai sebagai lambang `ketertinggian’ (ultimate). Hal ini kemudian dieksplisitkan dengan sifat Allah SWT yang jumlah 99 itu.
Begitu pula bila ingin membuka misteri mengapa orang China yang lebih menyukai angka `8’ dari pada angka `9’? Tak jauh beda dengan kepercayaan kaum sufi, orang Cina pun percaya angka `9’ sembilan sebagai angka tertinggi. Untuk itu, mereka pun tahu diri karena `manusia biasa’ tak akan pernah dapat menggapainya. Yang bisa menggapai hingga posisi `sempurna’ itu hanyalah orang yang sangat mujur dan dikasihi Tuhan saja.
Akibatnya, mereka lebih suka memilih angka `8’ dari pada angka ‘9’. Hal ini karena tarikan garis yang ada dalam angka ini tidak terputus dan juga melambangkan simbol `Yin dan Yang’. Angka `8’ melambangkan kedudukan yang tinggi (meski tidak sempurna) namun masih bisa digapai manusia asalkan didukung dengan usaha yang keras serta keberuntungan.
Sedangkan untuk misteri angka `13’ yang membuat orang barat ketakutan itu ternyata berasal dari kepercayaan dalam tradisi Kristen karena terkenang akan peristiwa ‘Perjamuan Terakhir’. Waktu itu, salah seorang murid - ketiga belas yang bernama Yudas skariot, mengkhianati Yesus.
Imbas buruk pengkhianatan Yudas itu ternyata kemudian sangat luar biasa. Para tokoh besar seperti Napoleon, J Paul Getty, dan Franklin Delano Rosevelt tak berani melakukan perjamuan dengan tamu sebanyak 13 orang. Begitu juga dengan hotel-hotel serta nomor duduk dalam penerbangan, juga tak ada yang berani memakai angka ini. Angka `13’ dianggap angka kebuntungan.
Jadi, bila jika dikaji lebih mendalam,angka-angka itu ternyata bukan hanya mengelilingi rumusan abstrak, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah sistem dari berbagai hubungan yang misterius. Dan di sinilah kazanah Islam telah memberikan andil terbesarnya kepada kehidup an alam semesta. Pengetahuan mengenai angka ini kemudian tercermin dalam pengetahuan kesusasteraan sistem astronomi, arsitektur, matematika, dan juga dalam musik yang dianggap memanifestasikan harmoni kehidupan.
Angka 99
Sembilan puluh sembilan acapkali dianggap sebagai ide mengenai kebalikan keesaan absolut. Angka ini dipandang sebagai sebuah ‘kehendak’ untuk mencapai kesempurnaan. Umat muslim memandang angka ini sebagai sebutan atau nama terindah Allah (al-asmaa al-husna) yang mengacu pada keesaan yang inheren di dalam nama kebesaran-Nya yang meliputi segala sesuatu.
Pada berbagai karya puisi klasik Islam,sebutan nama 99 ini sangatlah akrab disebut. Kaum sufi menghapal dan mendzikirkan segala nama itu. Bahkan, acapkali dilantunkan melalui tuturan bait lagu-lagu yang indah. Yang paling elok, para penyair musilim selalu mentamsilkan proses pertemuan dengan Tuhan dengan melansirkan penggalan puisi: Berilah kami 99 ciuman ditambah 1 (satu). Makna puisi ini jelas, yakni keinginan sebuah hati manusia agar bisa mencapai mencapai kesempurnaan yang dilambangkan pada angka berikutnya, yakni 100.
Republika Newsroom
Penulis : subarkah, Senin, 14 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar