Sabtu, 09 Mei 2009

Cahaya Peradaban Islam di Afrika Barat


Ke mana para pelajar Muslim di abad ke-12 hingga 16 M menimba ilmu? Universitas Sankore, pasti jawabannya. Tinta emas sejarah peradaban Islam mencatat perguruan tinggi yang berada di Timbuktu, Mali, Afrika Barat, itu selama empat abad lamanya sempat menjelma menjadi lembaga pendidikan berkelas dunia.

Meski tak setenar Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, pada era kejayaan Islam Universitas Sankore telah menjadi obor peradaban dari Afrika Barat. Laiknya magnet, perguruan tinggi yang berdiri pada 989 M itu mampu membetot minat para pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam untuk menimba ilmu di universitas itu.

Pada abad ke-12 saja, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan abad yang lampau masih jauh lebih banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa.

Penulis asal Prancis, Felix Dubois dalam bukunya bertajuk, Timbuctoo the Mysterious, Universitas Sankore menerapkan standar dan persyaratan yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya. Tak heran jika universitas tersebut mampu menghasilkan para sarjana berkelas dunia.

Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena, lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.

Jumlah risalah sebanyak itu dengan tema yang beragam dinilai kalangan sejarawan sungguh sangat fenomenal. "Koleksi risalah kuno yang ditinggalkan kepada kita di Universitas Sankore membuktikan daya tarik dan kehebatan institusi pendidikan tinggi itu," papar Sejarawan Runoko Rashidi. Menurutnya, fakta sejarah itu sungguh menarik untuk kembali diungkap.

Jutaan risalah yang dihasilkan para ilmuwan dan ulama di Universitas Sankore sungguh luar biasa kaya. Baik dalam gaya, isi, serta menggambarkan kedalaman pengetahuan dan intelektualitas para pelajar dan sarjananya. "Fakta ini juga mampu mematahkan mitos selama ini yang menyatakan bahwa masyarakat Afrika lebih dominan dengan budaya tutur," cetus Emad Al-Turk, pimpinan dan salah satu pendiri Internasional Museum of Muslim Cultures (IMMC).

Menurut Emad, temuan jutaan manuskrip kuno dari Universitas Sankore itu membuktikan bahwa masyarakat Afrika memiliki budaya baca dan kebudayaan yang sangat tinggi. Apalagi pada abad ke-12 hingga 16 M, fakta membuktikan bahwa perdagangan buku di Mali sangat pesat dan merupakan bisnis yang menguntungkan. "Itu membuktikan bahwa masyarakat Afrika Barat sangat gemar membaca dan gandrung pada ilmu pengetahun," imbuh Emad.

Tingkat keilmuan para alumni Sankore juga diperhitungkan universitas lain di dunia Islam. "Secara mengejutkan, banyak sarjana lulusan Universitas Sankore diakui sebagai guru besar di Maroko dan Mesir. Padahal, belum tentu kualitas keilmuan sarjana lulusan Al-Azhar dan Al-Qarawiyyin memenuhi standar di Sankore," imbuh Felix Dubois.

Pada era kejayaan Islam di Timbuktu, banyak sarjana berkulit hitam terbukti lebih pandai dibandingkan sarjana asal Arab. Sejarawan terkemuka, Al-Hasan bin Muhammad Al-Wazzan atau Leo Africanus dalam bukunya, The Description of Africa (1526), mengungkapkan geliat keilmuan di Timbuktu pada abad ke-16 M.

"Ada banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semuanya mendapatkan gaji yang layak dari Raja Askia Muhammad. Dia menghormati orang-orang yang terpelajar," papar Al-Wazzan. Kisah sukses dan keberhasilan perabadan Islam di benua hitam Afrika yang ditulis Leo, konon telah membuat masyarakat Eropa terbangun dari jeratan era kegelapan hingga mengalami Renaisans.

Lalu, bagaimana asal muasal berdirinya Universitas Sankore? Seperti halnya Universitas Al-Qarawiyyin di Kota Fez, Maroko, aktivitas keilmuan di Timbuktu juga bemula dari masjid. Alkisah, pada 989 M, kepala hakim di Timbuktu bernama Al-Qadi Aqib ibnu Muhammad ibnu Umar memerintahkan berdirinya Masjid Sankore.

Masjid itu dibangun secara khusus meniru Masjidil Haram di Makkah. Pada bagian dalamnya dibuatkan halaman yang nyaman. Di masjid itulah kemudian aktivitas keilmuan tumbuh pesat. Seorang wanita Mandika yang kaya raya lalu menyumbangkan dananya untuk mendirikan Universitas Sankore dengan tujuan sebagai pusat pendidikan terkemuka.

Perlahan namun pasti, Universitas Sankore pun mulai berkembang. Universitas ini lalu menjadi sangat dikenal dan disegani sebagai pusat belajar terkemuka di dunia Islam pada masa kekuasaan Mansa Musa (1307 M-1332 M) dan Dinasti Askia (1493 M-1591 M). Pada masa itulah, Sankore menjadi tujuan para pelajar yang haus akan ilmu agama dan pengetahuan lainnya.

Universitas ini dilengkapi dengan perpustakaan yang lengkap. Jumlah risalah yang dikoleksi perpustakaan itu berkisar antara 400 ribu hingga 700 ribu judul. Dengan fasilitas buku dan kitab yang lengkap itu, para mahasiswa akan belajar sesuai tingkatannya. Jika telah lulus dari berbagai ujian dan mengikuti pelajaran, para mahasiswa akan diwisuda dan dianugerahkan sorban.

Sorban itu melambangkan kecintaan pada Ilahi, kebijaksanaan, moral, dan pengetahuan yang tinggi. Pada zaman modern ini, para wisudawan diberikan toga. Tingkat paling tinggi yang ditawarkan Universitas Sankore adalah 'superior' (setara PhD), lamanya kuliah selama 10 tahun.

Ulama dan ilmuwan terkemuka yang dimiliki Universitas Sankore adalah Ahmad Baba as-Sudane (1564 M-1627 M). Ia adalah rektor terakhir Universitas Sankore yang menulis 60 buku dengan beragam judul, termasuk hukum, kedokteran, filsafat, astronomi, matematika, serta ilmu lainnya.

Ilmuwan dan ulama kenamaan lainnya yang dimiliki universitas itu antara lain; Mohammed Bagayogo as-Sudane al-Wangari al-Timbukti--mendapat gelar doktor saat berkunjung ke Universitas Al-Azhar, Mesir; Modibo Mohammed al-Kaburi; Abu al-Abbas Ahmad Buryu ibn Ag Mohammed ibn Utman; Abu Abdallah; dan Ag Mohammed Ibn Al-Mukhtar An-Nawahi.

Kebebasan intelektual yang dinikmati di universitas-universitas di dunia Barat pada zaman modern ini, konon telah terinspirasi oleh Universitas Sankore dan Universitas Qurtuba di Spanyol Muslim. Tak hanya itu, universitas ini juga menjadi salah satu model perguruan tinggi yang benar-benar multikultural. Mahasiswa dan beragam latar belakang etnis dan agama menimba ilmu di Universitas Sankore. heri ruslan


Sistem dan tingkatan pendidikan

Universitas Sankore terbilang unik dan berbeda dari universitas yang ada di Eropa. Sistem pendidikan tinggi yang ditawarkannya terbilang amat khas. Perguruan tinggi ini tak mengenal pusat administrasi, daftar mahasiswa, atau penentuan program studi. Universitas ini menawarkan kebebasan bagi para mahasiswanya untuk mengambil studi apa pun yang diinginkannya.

Perguruan tinggi yang berada di Timbuktu, Mali, Afrika Barat, itu merupakan kumpulan beberapa sekolah independen atau fakultas yang masing-masing dikelola dan dipimpin oleh seorang guru atau imam. Para mahasiswa mempelajari satu bidang studi dari seorang guru. Kuliah dilakukan di halaman kompleks masjid yang terbuka atau rumah tinggal sang guru atau imam.

Metode pendaftaran serta format pendidikan yang ditawarkan universitas ini terbilang sangat sederhana. Universitas Sankore lebih mementingkan dan memastikan kurikulum yang diajarkan bisa lebih intens dan komprehensif, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ada empat tingkatan studi yang ditawarkan universitas ini bagi para mahasiswanya.

Tingkat pertama. Pada tingkat ini, para mahasiswa harus menghafal Alquran serta menguasai bahasa Arab secara sempurna. Para mahasiswa juga diajarkan bagaimana berkomunikasi dan menulis secara efektif. Para pelajar juga diperkenalkan dengan dasar-dasar ilmu lainnya. Tingkat dasar ini sering disebut sebagai sekolah Alquran.

Tingkat kedua. Memasuki tingkat kedua, para mahasiswa harus memiliki komitmen untuk mengingat dan mengamalkan Alquran. Ini dipandang amat penting, karena seluruh ilmu Islam bersumber dari Alquran. Setiap pengajaran dan penjelasan yang tak didukung dengan ayat-ayat Alquran akan ditolak. Tahap ini juga bisa disebut tingkat pembelajaran umum.

Pada tingkat kedua ini, para mahasiswa diperkenalkan dengan beragam pengetahuan keislaman seperti; tata bahasa, tafsir Alquran, hadis, hukum Islam, matematika, geografi, sejarah, fisika, madzhab-madzhab Islam, kimia, serta ilmu penyucian hati dan jiwa. Para mahasiswa pun belajar kode etik berniaga dan berbisnis. Ini dianggap penting karena para mahasiswa akan menjadi imam.

Tingkat superior. Pada tahap ini kurikulum yang diajarkan sudah dispesialisasi dan sudah pada level yang tinggi. Para mahasiswa akan belajar di kelas yang dipimpin oleh seorang profesor ternama. Tingkat ini merupakan salah satu unggulan yang ditawarkan Universitas Sankore. Di tingkat superior ini para mahasiswa dituntut untuk lebih banyak melakukan riset.

Para guru besar akan mengajukan pertanyaan yang berlainan dengan bidang studi yang diajarkan. Lalu, mereka dituntut untuk melakukan penelitian. Hasilnya disampaikan di depan sang guru besar. Para mahasiswa berusaha mempertahankan pendapatnya, sementara mahasiswa lain akan menghujaninya dengan pertanyaan yang kritis. Hal ini membuat para mahasiswa serius melakukan risetnya.

Mahasiswa pada tingkat ini bisa belajar dari satu departemen ke departeman lainnya yang dipimpin seorang guru besar. Kebanyakan mahasiswa akan mencari seorang syekh atau master dan belajar secara langsung kepadanya. Tingkatan ini setinggi PhD, sekarang. Untuk menyelesaikan tingkatan ini, seorang mahasiswa harus menempuh studi selama 10 tahun.

Lingkaran pengetahuan
Ini adalah kelompok diskusi apara imam, ilmuwan, dan guru besar. Tugasnya untuk mendiskusikan isu-isu krusial tentang keislaman. Isu-isu itu akan dipertanyakan oleh para khalifah atau pemimpin negara Muslim kepada para ulama dan ilmuwan di Timbuktu. Pertanyaan itu akan didistribusikan kepada para anggota lingkaran pengetahuan. Setiap ulama dan ilmuwan akan melakukan riset dan kemudian akan membahasnya dalam sebuah diskusi. Hasilnya ditulis dalam sebuah risalah.

Penulis : hri
REPUBLIKA - Rabu, 15 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar