Sabtu, 09 Mei 2009

Fenomena Imam Al-Ghazali




Abu Hamid Al-Ghazali. Inilah salah seorang tokoh Muslim terkemuka sepanjang zaman. Ia dikenal sebagai seorang ulama, filosof, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam dan peradaban Barat. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali memang sungguh fenomenal.

"Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa," tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944. Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran sang ulama, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M - 1274 M).

Aquinas--filosof yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat--telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali begitu mewarnai cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.

Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filosof metafisik non-Islam seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah pikir filosof Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.

Filosof Muslim yang diyakini sebagai seorang perintis metode skeptisme sangat saklek. Ia secara tegas menolak segara bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat.

Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism. Sosok Al-Ghazali boleh dibilang sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Bagi dia, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, namun juga menjadi komponen penting buat pembelajaran dirinya.

Filsafat dipelajar Al-Ghzali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsata pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang juga sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers).

Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan Sufisme dengan Syariah. Konsep-konsep Sufisme dengan sangat baik dikawinkan sang pemikir legendaris dengan hukum-hukum Syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi Sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritisi aliran lainnya. Ia tertarik dengan Sufisme sejak usia masih belia.

Ulama terkemuka yang terlahir di Kota Tus, Khurasan, Iran, pada 1058 M itu bernama lengkap Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi'i al-Ghazali. Ia sudah menjadi anak yatim sejak masih belia. Meski begitu, Al-Ghazali berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat berkualitas. Minat belajarnya telah tumbuh sejak masih cilik.

Di kota kelahirannya, Al-Ghazali mempelajari beragam cabang ilmu agama Islam. Semangat belajarnya begitu tinggi telah memacunya untuk mencari ilmu hingga ke Gurgan dan Nishapur yang terletak di bagian utara Iran. Dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani, ia berguru ilmu fikih. Tak puas dengan ilmu yang telah dikuasainya, Al-Ghazali hijrah ke Gurjan untuk menimba ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma'ili.

Demi mendapatkan ilmu, Al-Ghazali dengan penuh semangat datang Kota Nishapur untuk berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini. Berbekal kesungguhan dan otak yang encer dalam waktu yang tak terlalu lama, Al-Ghazali pun mampu menguasai beragam ilmu keislaman, seperti fikih mazhab Syafi'i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, mantiq, hikmah, dan filsafat.

Prestasinya yang sungguh luar biasa telah membuat sang guru kagum kepadanya. Salah satu karyanya yang mengundang decak kagum Imam Haramain adalah Al-Juwaini. Sepeninggal sang guru, Imam Al-Ghazali pun mulai melanglang buana. Ia pun singgah ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik dari Dinasti Seljuk.

Di tempat itu tengah berkumpul para ilmuwan dan cendekiawan. Imam Al-Ghazali lalu mengajak mereka untuk berdebat. Bermodalkan ilmu yang begitu dalam dan banyak, Al-Ghazali pun diakui kehebatannya oleh para ulama. Kecerdasan dan kepandaian Al-Ghazali pun mampu memincut perhatian Sang Wazir.

Nidzamul Malik pun menabalkannya sebagai pimpinan Madrasah Nizamiyyah yang berada di Baghdad pada 484 H/1091 M. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, pamor Al-Ghazali pun kian moncer. Kedudukannya makin tinggi dan reputasinya sebagai seorang ulama kian termasyhur. Sebagai pimpinan komunitas intelektual Islam, Al-Ghazali begitu sibuk mengajarkan ilmu hukum Islam di madrasah yang dipimpinnya. Empat tahun memimpin Madrasah Nizamiyyah, Al-Ghazali merasa ada sesuatu dalam dirinya.

Batinnya dilanda kegalauan. Ia merasa telah jatuh dalam krisis spiritual yang begitu serius. Al-Ghazali pun memutuskan untuk meninggalkan Baghdad. Kariernya yang begitu cemerlang ditinggalkannya. Setelah menetap di Suriah dan Palestina selama dua tahun, ia sempat menunaikan Ibadah Haji ke Tanah Suci, Makkah. Setelah itu, Al-Ghazali kembali ke tanah kelahirannya. Sang ulama pun memutuskan untuk menulis karya-karya serta mempraktikan Sufi dan mengajarkannya.

Lantas apa yang membuat Al-Ghazali meninggalkan kariernya yang cemerlang dan memilih sufisme? Dalam otobiografinya, dia menyadari bahwa tak ada jalan menuju ilmu pengetahuan yang pasti atau pembuka kebenaran wahyu kecuali melalui sufisme. Itu menandakan bahwa bentuk keyakinan Islam tradisional mengalami kondisi kritis pada saat itu.

Keputusan Al-Ghazali untuk meninggalkan kariernya yang cemerlang juga boleh jadi sebagai bentuk protesnya terhadap filsafat Islam. Al-Ghazali akhirnya tutup usia pada usianya yang ke- 53 pada tahun 1128 M di Kota Tus, Khurasan, Iran. Meski begitu, pemikiran Al-Ghazali tetap hidup sepanjang zaman.


Kontribusi Sang Sufi bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai ilmuwan dan ulama serbabisa, Imam Al-Ghazali tak hanya memberi sumbangan penting bagi perkembangan ilmu keislaman, filsafat, dan sufi. Ia pun turut berjasa dalam membangun sains. Berikut ini adalah kontribusi Al-Ghazali bagi ilmu pengetahuan:

Biologi dan Kedokteran
Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang dokter. Ia pun diyakini sebagai salah seorang tokoh yang mendorong berkembangnya studi kedokteran di era kejayaan Islam, khususnya ilmu anatomi. Dalam bukunya berjudul The Revival of the Religious Sciences dia menempatkan kedokteran sebagai ilmu yang terpuji. Sebagai seorang saintis dan ulama, ia justru membenci astrologi yang dinilainya sebagai ilmu yang pantas dicela.

Dukungannya terhadap pengembangan ilmu anatomi telah memberi pengaruh yang besar bagi dokter Muslim di abad ke-12 dan ke-13 M untuk mengembangkannya. Salah satu dokter Muslim terkemuka yang terpengaruh dengan pemikiran Al-Gazhali tentang ilmu anatomi adalah Ibnu Al-Nafis.

Kosmologi
Sang ulama juga turut menyumbangkan pemikirannya dalam mengembangkan kosmologi. Al-Ghazali telah memberi warna bagi pengembangan ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi biasanya dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama. Dalam kosmologi, Al-Ghazali mencoba untuk mematahkan pendapat para filosof Yunani, seperti Aristoteles yang menyatakan bahwa alam semesta memiliki masa lalu yang tak terbatas yang tak bermula. Al-Ghazali tak sependapat dengan argumen para pemikir Yunani itu. Ia pun menawarkan dua alasan logis untuk menjungkirbalikkan argumen Aritoteles tentang infinite past. Al-Ghazali menyatakan bahwa alam semesta ini memiliki masa lalu yang tak terbatas. Semesta raya ini, kata dia, juga memiliki awal.

Psikologi
Al-Ghazali pun turut berjasa dalam mengembangkan psikologi Islam dan psikologi Sufi. Dalam dua kajian psikologi itu, ia banyak membahas tentang konsep diri serta penyebab penderitaan dan kebahagiaan. Ia menggunakan istilah psikologi yang dikembangkannya sendiri, seperti qalbu (hati), roh, nafs (jiwa), dan aql (pikiran). Menurut dia, sesuatu yang ideal begitu dirindukan dan melekat pada setiap diri.

"Setiap diri memiliki dorongan sensori dan motorik untuk memenuhi kebutuhan jasadnya," papar Al-Ghazali. Keduanya melahirkan selera dan kemarahan. Menurutnya, selera mendorong rasa lapar, haus, dan dorongan seksual. Sedangkan kemarahan memicu terjadinya kemurkaan dan balas dendam. Ia membagi motif sensori menjadi lima indera luar, sepert mendengar, melihat, mencium, merasa, dan menyentuh.


Dari Teologi Hingga Yurisprudensi

Al-Ghazali telah melahirkan sederet adikarya yang penting bagi peradaban Islam dan dunia. Mahakaryanya berupa kitab-kitab yang legendaris terbagi dalam beberapa bidang sebagai berikut:

Ilmu Agama
- Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error)
- Hujjat al-Haq (Proof of the Truth)
- Al-Iqtisad fil-I`tiqad (Median in Belief)
- Al-Maqsad al-Asna fi Sharah Asma' Allahu al-Husna (The Best Means in Explaining Allah's Beautiful Names)
- Jawahir al-Qur'an wa Duraruh (Jewels of the Qur'an and its Pearls)
- Fayasl al-Tafriqa bayn al-Islam Wal-Zandaqa (The Criterion of Distinction between Islam and Clandestine Unbelief)
- Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights)
-Tafsir al-Yaqut al-Ta'wil

Sufisme
- Mizan al-'Amal (Criterion of Action)
- Ihya' Ulum al-Din: inilah karya Al-Ghazali yang paling terkenal.
- Bidayat al-Hidayah (Beginning of Guidance)
- Kimiya-ye Sa'adat (The Alchemy of Happiness)
- Nasihat al-Muluk (Counseling Kings)
- Al-Munqidh min al-Dalal (Rescuer from Error)
- Minhaj al-'Abidin (Methodology for the Worshipers)

Filsafat
- Maqasid al Falasifa (Aims of Philosophers)
-Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers)
- Miyar al-Ilm fi fan al-Mantiq (Criterion of Knowledge in the Art of Logic)
- Mihak al-Nazar fi al-Mantiq (Touchstone of Reasoning in Logic)
- Al-Qistas al-Mustaqim (The Correct Balance)

Yurisprudensi
- Fatawy al-Ghazali (Verdicts of al-Ghazali)
- Al-Wasit fi al-Mathab (The medium [digest] in the Jurisprudential School)
- Kitab Tahzib al-Isul (Prunning on Legal Theory)
- Al-Mustasfa fi 'Ilm al-Isul (The Clarified in Legal Theory)
- Asas al-Qiyas (Foundation of Analogical reasoning). dok/rep/Desember 2008/heri ruslan

By Republika Newsroom
Rabu, 25 Maret 2009 pukul 06:01:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar