Kamis, 07 Mei 2009

Hadja Lahbib Aman dalam Lindungan-Nya di Afganistan


Seorang jurnalis adakalanya harus berada di zona berbahaya untuk meliput atau mengabadikan momen-momen berharga. Itulah yang dijalani seorang jurnalis perempuan asal Belgia keturunan Aljazair, Hadja Lahbib.

Dia sudah 12 kali berkunjung ke Afganistan, keluar masuk daerah perbatasan Pakistan-Afganistan dan pedalaman negeri ini (Afganistan -red). ''Terus berpindah-pindah hingga ke India,'' tuturnya kepada harian Sharq Awsat, Kamis (27/4).

Meskipun Lahbib lahir dan besar di Belgia, berbudaya Belgia, berbicara bahasa Perancis dan Inggris, serta jarang bersentuhan dengan budaya Arab, namun identitas kearaban dan keislamannya masih tetap kental.

Tawa Lahbib langsung lepas ketika ditanya siapa yang melindunginya dari kelompok garis keras yang bisa mengancam jiwanya. Ia menjawab, ''Saudaraku, saya memang tidak dilindungi polisi atau body guard, tetapi Allah selalu melindungiku. Saya telah menjelajah ke berbagai kawasan berbahaya tanpa seorang pengawal-pun. Alhamdulillah, Allah menjaga saya karena saya beriman kepada-Nya,'' urainya.

Sekian lama bersama masyarakat Afganistan, aku Lahbib, dirinya tidak pernah mendapatkan gangguan atau perlakuan buruk. ''Kalaupun suatu saat ada musibah menimpa saya, itu sudah takdir Allah,'' ungkap Lahbib.

Alumnus Universitas Brussel jurusan jurnalistik ini, pertama kali melakukan tugas jurnalistik di Afganistan pada tahun 2001, yakni setelah jatuhnya rezim Taliban. Ia adalah wartawan stasiun televisi Belgia, RBTF.

Profesionalitas kerja dan keberanian Lahbib di area panas diakui oleh para koleganya. Aksi perang yang ia liput selalu membuat jantung berdebar dan darah mengalir kencang. Di usianya yang ke-38 tahun ini, ia telah membuat karya-karya jurnalistik yang luar biasa.

Tugas jurnalistik Lahbib di Afganistan berakhir pada Desember 2001. Akan tetapi, kerinduannya kepada negara itu membawanya kembali dan kembali lagi hingga 12 kali.

Berbagai fenomena di Afganistan berhasil ia abadikan dan publikasikan kepada dunia. Mulai rekonstruksi Afganistan, proses demokratisasi, hingga tradisi dan kebiasaan masyarakat Afganistan ia kemas dalam laporan yang apik.

Karyanya yang cukup fenomenal adalah film dokumenter bertema Afganistan, dan Kebebasan Kaum Perempuan yang dipublikasikan pada 2007. Film ini terpilih sebagai film terbaik dalam festival film Eropa tahun 2007.

Soal bagaimana cara terbaik bisa selamat selama di Afganistan, Lahbib menyerukan khususnya kepada para jurnalis untuk selalu dekat dengan masyarakat dan bersikap sewajarnya. Selama berada di Afganistan, dia tidak menginap di hotel, tetapi di rumah-rumah penduduk.

''Saya pun mendapatkan kemudahan dibandingkan jurnalis lain. Bahkan saya dapat bertemu dengan Bibi Aisyah, panglima perang perempuan ketika melawan Rusia,'' lanjut Lahbib.

Dia masih terkenang pertemuannya dengan Bibi Aisyah. Ceritanya, begitu mendapat cukup informasi tentang Bibi, dia pun meluncur ke ujung utara Afganistan, di daerah Buglan, perbatasan Kunduz dan Barwan.

''Saat sampai di desa yang saya tuju, saya melihat Bibi Aisyah sedang duduk dikelilingi para pejuang yang siap tempur setiap saat. Ia seorang yang sungguh berwibawa. Tokoh yang dimitoskan oleh masyarakat sekitar. Semua yang dia ucapkan diikuti oleh pengikutnya,'' kata Lahbib.

Dari fenomena itu, Lahbib ingin menyajikan tayangan seputar masyarakat Afganistan dari sisi yang lain. Tidak semua perempuan Muslim di negara itu dikekang dari aktivitas sehari-hari.

Bibi Aisyah adalah contoh bagaimana seorang perempuan Muslimah menjadi panglima perang melawan penjajah, di tengah pandangan miring masyarakat Barat terhadap sistem sosial keagamaan di Afganistan yang dinilai mendiskreditkan kaum perempuan. rid/taq


By Republika Newsroom
Senin, 04 Mei 2009 pukul 15:32:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar