Sabtu, 09 Mei 2009

Industri Tinta di Dunia Islam


Belajar dan seni memainkan peranan penting dalam sebuah peradaban. Apalagi, di era keemasan Islam, kedua bidang itu mendapat perhatian yang sangat besar dari para khalifah, ilmuwan, seniman, dan masyarakat Muslim. Salah satu faktor yang telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan dan seni rupa di dunia Islam adalah tersedianya tinta dan zat warna. Tinta dan zat warna merupakan bahan yang sangat penting untuk menopang aktivitas keilmuan dan seni rupa.

Karena itulah, umat Muslim di zaman kekhalifahan memberi perhatian khusus terhadap ketersediaan tinta dan zat warna. Perkembangan industri tinta dan zat warna direkam secara khusus oleh Al-Muzz Ibnu Badis (wafat 416 H/1025 H) dalam bukunya bertajuk, Umdat Al-Kuttab (Buku tentang Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif). Peradaban Islam memang bukanlah yang pertama menemukan tinta dan zat warna.

Menurut catatan sejarah, perabadan Cina telah menemukan tinta untuk menghitam - kan permukaan gambar dan tulisan yang terpahat pada batu sekitar 5.000 tahun yang lalu. Mereka membuat tinta dari campuran jelaga dari asap kayu cemara, lampu minyak, dan jelatin dari kulit binatang serta darah yang dibekukan. Ada pula yang menyebutkan, tinta telah digunakan peradaban India Kuno pada abad ke-4 SM. Hal itu terungkap dari sebuah naskah kuno India, Kharosthi, yang ditemukan para arkeolog di wilayah Turkistan Cina, sekarang Provinsi Xinjiang. ‘’Resep pembuatan tinta telah ditemukan 1.600 tahun lalu,’‘ ungkap Sharon J Hutington.

Will Kwiatkowski dalam bukunya berjudul, Ink and Gold: Islamic Calligraphy, menuturkan, produksi tinta di dunia Islam telah dimulai pada 1.000 tahun yang lalu. Pada masa itu, tinta digunakan untuk menulis kaligrafi. Produksi tinta sama pesatnya dengan pencapaian dunia Islam di bidang seni kaligrafi. Produksi tinta berkembang di setiap kekhalifahan, seperti Abbasiyah (749-1258), Seljuk (1055- 1243), Safawiyah (1520-1736), dan Mughal (1526-1857).

Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology:An Ilustrated History, mengungkapkan, di era kejayaannya Peradaban Muslim telah mampu memproduksi tinta hitam. Pada masa itu, terdapat dua tipe utama tinta permanen. Pertama, tinta permanen yang dihasilkan dari partikel-partikel halus karbon dan kedua adalah tinta hitam yang berasal dari besi tanat. Menurut Al-Hassan dan Hill, karbon untuk tinta hitam diperoleh dari jelaga berbagai minyak dan lemak, seperti minyak biji rami dan minyak bumi, atau arang giling yang dibuat dari berbagai biji-bijian.

Cara membuat tinta di masa itu begitu khas. Salah satu cara membuat tinta dari jelaga, papar Al-Hassan, dengan menggunakan lampu empat sumbu untuk membakar minyak biji rami. Pada bagian atas lampu, terdapat penutup berbentuk kubah dengan sebuah lubang dan di atasnya terdapat lagi enam penutup serupa membentuk cerobong. Sumbu dinyalakan dan minyak terbakar habis, kemudian jelaga yang terkumpul di dalam cerobong dikumpulkan menggunakan bulu. Selanjutnya, jelaga itu diayak hingga didapat serbuk yang halus.

Pembuatan tinta permanennya juga ada yang menggunakan gom Arab (diperoleh dari tumbuhan sejenis akasia) sebagai bahan pengikat, walaupun glair (dibuat dari kocokan putih telur) dapat dijadikan alternatif. ‘’Tinta lain juga dijabarkan dalam manuskrip Arab, di antaranya tinta biruhitam yang didapatkan dari biji-bijian tertentu dan ferro sulfat yang masih digunakan hingga kini,’‘ ungkap Al-Hassan dan Hill. Zat Warna Dalam bukunya berjudul, Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif, Ibnu Badis juga mengungkapkan keberhasilan umat Islam dalam memproduksi tinta berwarna, cat minyak, dan pernis.

Zat warna seperti ini digunakan dengan pena atau sikat dan digunakan untuk menulis, melukis miniatur pada kertas, kulit, kayu, dan permukaan-permukaan lain. Ibnu Badis, seperti dikutip Al-Hassan dan Hill, memaparkan, pewarna hitam berasal dari karbon yang diperoleh dari jelaga lampu atau arang khusus seperti yang di te - rangkan sebelumnya. ‘’Pewarna putih dihasilkan dari timah (isfidaj), bahkan terkadang dicampur dengan putih tulang,’‘ paparnya. Lalu bagaimana dengan pewarna merah? Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna me - rah yang ditemukan dunia Islam terdapat dalam berbagai nuansa. Unsur pokoknya adalah cinabar (zanifar), kristal merkuri sulfida dan timah merah (isribj) terkadang juga digunakan lempung batu besi yang mengandung lapisan merah.

Lac, resin berwarna merah gelap yang ditanamkan ke batang pohon tertentu oleh serangga lac (laccifer lacca), juga diproses untuk pewarna ini dan petunjuk rinci pembuatannya banyak dipublikasikan. Sementara itu, pewarna kuning diproduksi terutama dari orpiment (zarnikh ashfa) arsenik trisulfida. Menurut naskah Arab, massicot (timah monoksida) sebagaimana saffron bisa digunakan bersama zat warna lain.

Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna biru didapat dari mineral lapis-lazuli. Selain itu, azurit (suatu bentuk tembaga karbonat) dan indigo juga digunakan sebagai pewarna biru. Pewarna hijau diperoleh dari verdigris tembaga karbonat basa (zinjar) dan dari mineral malasit. Untuk nuansa hijau yang lain, termasuk warna tanaman, dibuat dengan mencampur berbagai zat warna. Untuk zat warna cair, kata Al-Hassan dan Hill, dibutuhkan media pengikat yang biasanya dicampurkan dengan zat warna. Pengikat yang paling umum adalah goam Arab. Selain itu, juga digunakan pula pere - kat (terutama perekat kayu/besi) dan glair.

Pada masa itu, cat minyak digunakan untuk menggambar miniatur di buku-buku dan untuk melapisi suatu permukaan seperti kayu. Sebuah manuskrip abad ke-16 M mencatat proses pembuatan cat dan teknik pemakaiannya. Untuk membuat cat minyak, dibutuhkan campuran larutan gom resin sandarak dengan minyak biji rami, kemudian ditambahkan zat warna bersama su ling - an nafta. Semua bahan-bahan itu dicampurkan dan dilarutkan dengan cara dikocok. Selain itu, peradaban Islam juga tercatat berhasil menciptakan pernis. Larutan ini diproduksi untuk melindungi lukisan. Pernis dibuat dengan cara menambahkan pelarut nafta (minyak tahan putih) ke dalam campuran kental sandarak dan mi - nyak biji rami. Larutan itu kemudian di la - burkan ke permukaan yang ingin dilin du- ngi. Begitulah, peradaban Islam memproduksi tinta dan zat warna yang penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni rupa.


Tinta dan Zat Warna Penopang Sains dan Seni

Berkembangnya industri tinta tent - unya berdampak ke bidang lainnya yang berkaitan dengan penggunaan tinta, seperti buku, seni lukis, maupun hiasan tembikar. Dengan adanya tinta, karya- karya tersebut semakin maju pesat. Seni lukis Seni rupa mulai berkembang pesat di dunia Islam mulai abad ke-7 M, salah satunya mencakup seni lukis. Pada abad tersebutlah agama Islam semakin melebarkan sayapnya. Islam tak hanya memasuki wilayah Semenanjung Arab, tapi masuk pula ke Bizantium, Persia, Afrika, Asia, bahkan Eropa.

Para arkeolog dan sejarawan menemukan adanya lukisan dinding, lukisan kecil di atas kertas yang berfungsi sebagai gambar ilustrasi pada buku. Salah satu bukti bahwa umat Islam mulai terbiasa dengan gambar makhluk hidup pa - ling tidak terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661 M -750 M) di Damaskus, Suriah. Hal itu dapat disaksikan dalam lukisan yang terdapat pada Istana Kecil Qusair Amrah yang dibangun pada 724 M hingga 748 M.

Buku Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas dan teknologi pembuatan tinta, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Hal itu terbukti dengan banyaknya jumlah buku yang terbit di era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada era itu, minat baca manusianya pun tinggi sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Ziauddin Sardar dan MW Davies dalam bukunya berjudul, Distorted Imagination, menggambarkan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, hampir setara dengan pencapain peradaban Barat saat ini, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Hampir 1.000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam, paparnya. Tembikar Seni pembuatan tembikar atau keramik merupakan salah satu keahlian yang dimiliki para seniman Muslim di era kejayaan. Hampir di setiap wilayah kekuasaan Islam, beragam seni rupa berkembang pesat. Hal ini menandakan bahwa peradaban umat Muslim di zaman itu mengalami masa keemasan. Keramik atau tembikar yang diproduksi para seniman Muslim pun dikenal sangat berkualitas tinggi.

Para seniman Muslim di era kekhalifahan telah membuat beragam bentuk lantai keramik yang digunakan untuk menghiasi dinding dan lantai. Tak cuma itu, para seniman pun membuat beragam barang kebutuhan sehari-hari, seperti cangkir, gelas, piring, mangkuk, botol, dan penampung air dari tembikar. Salah satu faktor yang membuat tembikar dan keramik Islam unik adalah bentuk dan hiasannya. Keramik dengan desain ukiran merupakan salah satu jenis produk yang banyak ditemukan di dunia Islam.

Produksi jenis keramik ini dimulai pada era kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ciri-ciri keramik jenis ini memiliki desain geometris atau bentuk-bentuk flora yang dimasukkan dengan cara distempel. Keramik jenis ini dapat ditemukan di Samara, Irak, dan Fustat, Mesir. Tentunya, untuk membuat hiasan tembikar tersebut dibutuhkan tinta atau zat pewarna. Dengan demikian, hiasan tersebut menjadi lebih menarik.

By Republika Newsroom
Selasa, 31 Maret 2009 pukul 14:06:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar