Kamis, 14 Mei 2009

Kematian ada di tangan Allah. Tapi kita wajib Berhitung dan jangan pernah Sombong..



RESMINYA ia dokter bedah tulang. Tapi, di kalangan teman, ia dijuluki ”dokter perang”. Joserizal Jurnalis memang gemar merambahi kawasan konflik. Bersama teman-temannya di Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), dia terjun ke Maluku ketika konflik pecah di sana.

Ketika Aceh bergelora, dia juga menjadi relawan dan merawat korban yang terluka dari kedua pihak. Dari dalam negeri, Jose­rizal merambah ke Filipina Selatan, Thailand Selatan, Afga­nistan, dan Irak. Januari lalu, sebulan penuh ia menghabiskan waktu merawat korban agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina.

Ia menjunjung tinggi sikap netral di daerah perang. ”Kalau ada orang Kristen tertembak di dada dan orang Islam tertembak di kaki, kita dahulukan menolong yang Kristen karena kondisinya lebih mendesak,” katanya. Rabu pekan lalu, Joserizal menerima Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Ismi Wahid dari Tempo. Perbincangan berlangsung akrab di kantor MER-C di kawasan Kramat Lontar, Jakarta Pusat.

Apa hambatan memasuki Gaza?
Gaza adalah daerah yang tidak boleh dimasuki orang. Istilahnya diblokade. Pintu masuknya hanya dari Mesir, Israel, dan laut. Dari laut tidak mungkin, karena nelayan saja tak boleh mencari ikan lebih dari batas dua mil. Kalau lewat, akan ditembak. Perbatasan Mesir dikawal oleh petugas Mesir, tapi saya mempunyai feeling Mesir melakukan koordinasi dengan Israel untuk boleh-tidaknya orang masuk Gaza. Anda pernah mendengar dokter Norwegia yang lolos di tengah perang? Dia agak nekat, masuk ke dalam truk. Mungkin dia sudah berulang kali keluar-masuk. Dia punya proyek bantuan kesehatan di Gaza.

Birokrasi Mesir ketat sekali?

Setelah dua pekan menunggu di perbatasan Rafah, saya mendatangi kantor imigrasi Mesir pagi sekali. Saya tanya, apa persoalannya sehingga kami tak bisa masuk. Dia jawab, ”Anda harus minta surat rekomendasi dari kedutaan Anda.” Wah, kenapa orang kedutaan tak memberitahukan informasi ini? Saya segera kembali ke Kairo. Di kedutaan, saya diminta menandatangani surat pernyataan tak akan menuntut pemerintah Indonesia bila terjadi musibah. Surat itu dikirim ke Gubernur Sinai Utara. Kemudian kami kembali diminta menandatangani pernyataan tak akan menuntut pemerintah Indonesia, Mesir, dan Pa­lestina kalau terjadi sesuatu. Setelah beres, kami kembali ke perbatasan. Sekitar 300 meter menuju ruang imigrasi, pesawat Israel melayang, dan terdengar gelegar bom. Gila! Ini masih wilayah Mesir, dan pesawat Israel bebas melintas. Kami tunjukkan surat ke petugas imigrasi Mesir. Dia bertanya, ”Are you sure to go inside?” Kami jawab, ”Sure.”

Apa yang Anda temukan ketika berhasil masuk Gaza?
Kami memasuki Gaza di bawah serangan bom. Pesawat Israel menumpahkan bom api, lalu bom suara. Kami masuk hanya berempat, menggunakan bus. Tidak ada anggota staf kedutaan yang ikut. Kemudian kami berganti mobil, bahkan menggunakan ambulans. Kali ini di dalam mobil ada pe­numpang lain, dokter dari Turki dan Suriah. Beberapa kali ambulans berhenti karena ada pertempuran. Saat berhenti yang ketiga kali, agak lama. Pintu ambulans digedor dari luar. Sopir meminta kami tidak melo­ngok. Diam dan tetap hidupkan lampu. Setelah lewat, kami baru tahu, di sekitar ambulans tadi banyak tentara Israel. Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit As-Syifa dan disambut dengan hangat oleh dokter di sana. Mereka tahu bahwa perjalanan ini penuh dengan hujan bom.

Berapa lama perjalanan dari perbatasan ke Rumah Sakit As-Syifa?
Kalau jalan lancar, sebetulnya enggak sampai satu jam. Waktu itu kira-kira dua jam. Kami disambut dengan antusias. Mereka mengucapkan terima kasih atas kedatangan kami. Mereka mengatakan, ”Anda sudah melihat kami, tolong beri tahukan kepada dunia bagaimana keadaan kami.” Mereka menambahkan lagi, ”Anda datang saja sudah cukup, jadi enggak usah bekerja.” Sejak kecil saya susah menangis, tapi di sana saya merasakan mata saya agak berair.

Tidak ada dokter dari Departemen Kesehatan?
Tidak ada. Tapi kami tetap membawa bendera negara. Dokter lain, dari Mesir, Turki, dan Suriah, tidak membawa negara. Mereka hanya mewakili LSM-nya. Malamnya kami saling memperkenalkan diri dan langsung rapat.

Ada dokter nonmuslim yang menjadi relawan di Rumah Sakit As-Syifa?
Ada, dari Cek dan Norwegia. Mereka nonmuslim, dan disambut dengan baik.

Tim Anda tidur di mana malam itu?
Kami tidur di salah satu kamar pe­rawatan di Rumah Sakit As-Syifa. Hawa dingin sekali. Ketika berwudu untuk salat subuh, tangan saya terasa beku.

Di As-Syifa masih ada air bersih dan listrik?
Air ada. Listrik berasal dari Israel. Rumah sakit itu memiliki fasilitas cukup representatif.

Berapa banyak pasien yang dirawat di sana?
Banyak sekali. Saya kagum dengan cara dokter di sana mengatur arus pasien. Begitu pasien stabil, langsung dibawa ke luar. Jadi, pasien yang ada di dalam rumah sakit hanya mereka yang dalam keadaan darurat atau menunggu penyembuhan.

Dibawa ke luar maksudnya ke mana?
Biasanya ke Mesir dulu. Ada yang ke Belgia juga. Macam-macam.

Bagaimana dengan dokter-dokter Palestina sendiri?
Skill mereka lumayan, mungkin karena sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Saya salut dengan cara mereka mengelola pasien. Mereka bisa berfokus hanya menangani pasien yang parah.

Apa tugas tim Anda di rumah sakit itu?
Kami hanya diizinkan menolong fresh case. Hari pertama kami menangani anak perempuan umur sembilan tahun. Tulang kakinya patah, dagingnya beserpihan. Bokong dan duburnya rusak. Dia akhirnya meninggal karena kehabisan darah. Kalau hidup, dia akan cacat besar.

Cedera apa saja yang biasanya diderita korban?
Saya beberapa kali mendapati korban dengan kaki terputus di bagian paha. Biasanya, kalau bom meledak, orang di dekatnya akan mati. Tapi orang yang jauh tidak. Biasanya hanya terlempar. Dia menderita trauma dada, perut, terempas, lalu patah kaki. Itu yang sering kami temukan di Irak dan Afganistan. Di Gaza, kami banyak menemukan kaki putus, remuk, atau patah satu level.

Apa dugaan Anda?

Mungkin Israel sedang mencoba senjata baru. Selain memakai bom fosfor, mereka membikin bom untuk membuat cacat tubuh. Pecahan bom itu tajam sekali, menyebar, dan memotong putus kaki, biasanya di bagian paha. Ini harus ditentang, seperti Lady Diana dulu menentang penggunaan ranjau personel yang membuat cacat tubuh.

Berapa pasien yang Anda tangani?


Saya mengoperasi empat pasien. Kawan saya, dokter Indragiri, karena dia ahli bius, menangani lebih banyak kasus. Hari-hari yang tersisa saya gunakan melobi Menteri Kesehatan Pales­tina di Gaza untuk membangun rumah sakit. Menemui beliau tidak gampang. Pernah dia datang mendadak malam-malam. Kalau janjian malah enggak bisa ketemu.

Anda juga menemukan korban bom fosfor putih?
Ada. Ada fotonya. Bom itu masih menyala di tanah.

Berapa banyak korban akibat bom fosfor putih itu?

Saya enggak menghitung. Hampir semua korban yang saya rawat mengalami luka bakar. Cuma, saya enggak tahu ini kena fosfor atau karena panas bom saja. Ada pula anak kecil yang menjadi korban sniper. Peluru bersarang di kepalanya. Kalau dari jarak dekat, peluru itu pasti tembus. Dia selamat setelah dioperasi dokter dari Suriah.

Rumah Sakit As-Syifa tidak diserang Israel?
Bagian depan As-Syifa dibom. Akibatnya, kaca-kaca masjid di depan As-Syifa berpecahan.

Anda sempat berkeliling di Gaza?
Terus terang, hari pertama dan kedua saya terus di dalam rumah sakit. Tidak berani keluar karena pesawat Israel masih terbang rendah. Hari ketiga dan keempat baru kami keluar dan berkeliling melihat kehancuran Gaza.

Bagaimana kehancurannya?
Yang paling parah di wilayah Beit Lahiya. Itu daerah perbatasan dengan Israel. Ada satu desa rata dengan tanah akibat bom dari pesawat dan tank. Yang saya dengar, di situ terjadi pertempuran hebat. Menurut Hamas dan Al-Qasam, di situ Israel kehilang­an 13 tank.

Pernah bertemu dengan relawan perang dari Indonesia?
Mereka mau masuk dari mana? Gaza itu daerah kecil yang dikelilingi Israel dan Mesir. Wartawan yang coba-coba masuk ke daerah Rafah Mesir saja dito­dong senjata.

Anda sering pergi ke tempat berbahaya. Apakah keluarga di rumah tidak khawatir?

Sejak awal saya mendidik keluarga bahwa kematian ada di tangan Allah. Cuma, kita memang harus berhitung. Tidak gegabah, tidak boleh sombong. Itu prinsipnya.

Apa yang mendorong Anda gemar ke wilayah perang?
Pengalaman-pengalaman saya itu sifatnya spiritual. Saya ingin menolong mereka yang paling membutuhkan dan paling diabaikan. Dan saya tak mau dibilang hangat-hangat tahi ayam karena di agama juga di­ajarkan untuk konsisten atau istikamah.

Dokter lain sibuk cari duit, Anda malah pergi ke daerah rawan. Kapan cari uang?
Baru saja saya cari duit dengan mengoperasi orang (tertawa). Masalah rezeki, kita hanya berusaha, Allah yang menentukan. Saya tinggalkan praktek selama satu bulan. Jelas hilang mata pencarian selama satu bulan. Tapi, begitu saya buka praktek hari pertama, pasien berjubel. Ada pasien yang menunggu operasi selama satu bulan, padahal sudah saya persilakan dia dioperasi dokter lain.

Oleh Dr Joserizal Jurnalis, SpOT
Lahir, Di Padang, Sumatera Barat, 11 Mei 1963

Pendidikan
# Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
# Spesialis bedah tulang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Pekerjaan
# Dokter spesialis bedah tulang dan traumatologi
# Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), 1999-sekarang

11-02-2009 / 09:15:35
Author : Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar