Kamis, 07 Mei 2009

Ketika sebuah kawasan kota bebas dari kendaraan bermotor



MANAJEMEN lalu lintas menjadi salah satu aspek penting dalam upaya pelestarian heritage/pusaka di kawasan bersejarah. Ambil contoh gebrakan Dinas Perhubungan DKI bersama jajaran Wali Kota Jakarta Barat yang mendapat masukan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua untuk menutup sebagian kecil jalan di kawasan bersejarah Jakarta. Meminimalisasi getaran yang ditimbulkan dari berbagai jenis kendaraan yang melintas di kawasan yang penuh dengan bangunan bersejarah adalah langkah yang semestinya sudah dilakukan jauh-jauh hari.

Sekitar enam tahun lalu, Fauzi Bowo yang kala itu masih menjadi Wakil Gubernur DKI sudah mengatakan, kawasan Kota Tua harus bebas dari kendaraan bermotor. Hal itu tentu untuk maksud seperti yang sudah tertulis di atas. Selain menjaga kelestarian bangunan, tentu upaya itu akan membuat lingkungan di kawasan itu menjadi lebih bersih sehingga nyaman bagi pengunjung, pejalan kaki, turis baik dalam maupun mancanegara yang berniat menyusuri bekas-bekas Batavia.

Dampak langsung dari ribuan kendaraan bermotor yang lalu lalang di kawasan bersejarah adalah pada ketidaknyamanan bagi pelancong serta pada buruknya rupa gedung-gedung bersejarah di sana. Cat baru yang menempel pada gedung di sana tak akan bertahan lama. Warna coklat segera menutupi tembok gedung itu lagi.

Meski penutupan jalan yang kini sudah dilakukan Pemprov DKI masih diikuti setengah hati oleh pengendara kendaraan bermotor khususnya bajaj dan sepeda motor, diharapkan ke depan ada sanksi yang tegas bagi pelanggar-pelangar tersebut. Pemprov DKI harus berani membuat keputusan yang tegas demi keberlangsungan kawasan bersejarah bersama isinya.

Penggiat pelestarian pusaka yang juga dosen tamu di Reinwardt Academy Amsterdam, Belanda, Hasti Tarekat, menyatakan, warga Jakarta dan sekitarnya belum bisa menikmati hasil maksimal dari kawasan bersejarah karena usaha pelestarian yang dilakukan serba setengah-setengah, tidak menyeluruh, dan tidak berani mati. Maksud dari kebijakan berani mati tak lain adalah memberlakukan kawasan bersejarah di Kota Tua sebagai kawasan pejalan kaki permanen.

Menurutnya, akan banyak pihak pesimistis dengan kebijakan tersebut, pastinya. Karena orang Jakarta tidak bisa berjalan kaki. “Mobil harus berhenti persis di depan pintu. Takut matahari. Jadi perlu keberanian besar mengubah cara berpikir masyarakat dan memperkenallan budaya jalan kaki,” tandasnya.

Kepura-puraan mencintai sejarah dan pusaka tidak cukup untuk mengubah Kota Tua Jakarta menjadi kawasan yang mendatangkan keuntungan secara sosial dan ekonomi. Menjadikan kawasan bersejarah sebagai kawasan pejalan kaki secara permanen bukan hal mudah, tetapi bukannya tidak mungkin, papar Hasti.

Untuk mewujudkan hal itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti aksesibilitas dengan berbagai mode transportasi sampai jarak tertentu harus diatur dengan fasilitas parkir, peningkatan kualitas jasa angkutan umum yang mendorong masyarakat mengubah mode transportasi dari privat ke publik.

Sistem transportasi yang terintegrasi, menurut Hasti, sangat vital bagi kesuksesan manajemen akses ke kawasan bersejarah. Pejalan kaki dapat dengan mudah, aman, dan menyenangkan mengeksplorasi kawasan bersejarah. Pengurangan kemacetan lalu lintas di kawasan bersejarah tidak akan tercapai tanpa penyediaan alternatif mode transportasi yang jelas dan efisien.

Malaysia, khususnya Malaka, sudah mengambil langkah berani dengan menjadikan kawasan bersejarah itu sebagai kawasan pejalan kaki. Baik Hasti Tarekat maupun warga yang peduli pelestarian pusaka di Kota Tua Jakarta kini menanti komitmen yang berani mati dari Pemprov DKI. Setidaknya, sepeda bisa jadi alternatif jika tak ingin berjalan kaki.

Rabu, 6 Mei 2009 | 11:23 WIB
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar