Kamis, 07 Mei 2009

Ksatria


By Toto Tasmara
Kamis, 07 Mei 2009 pukul 12:23:00

Ibn al-Husain as-Sulami dalam bukunya Futuwwah telah mengupas perpaduan antara syari'ah fiqhiyah dengan tasauf. Dalam buku tersebut diungkapkan makna tentang perasaan haru, kasih sayang, cinta, persahabatan, kedermawanan, dan keksatriaan.

Futuwwah sendiri, menurut Ibn al-Husain, adalah satu sikap jantan yang harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim, yaitu sikap keberanian dan kekuatan untuk selalu berpihak kepada Allah. Meleburkan kepentingan pribadi dan menonjolkan kebenaran Ilahi seperti dilukiskan oleh pribadi para sahabat yang berani tampil mempertahankan kebenaran dengan mengabaikan kepentingan pribadi.

Agar kita memahami lebih mendasar makna dari futuwwah ini, maka simaklah beberapa sikap ksatria, pengorbanan, dan kejantanan sebagaimana yang ditulis oleh as-Sulami berdasarkan hadis shahih di bawah ini. Khalifah Umar Ibn Khattab menuturkan sebuah riwayat: Pada suatu hari, Rasulullah SAW meminta bantuan dana kepada kami. Aku berhasrat untuk melebihi Abu Bakar yang selalu paling bersemangat dalam setiap perbuatan baik. Aku membawa separo harta kekayaanku dan datang menemui Rasulullah.

Lalu kuberitahukan kepada beliau bahwa sumbanganku ini separo dari segala hartaku, sedangkan sisanya kutinggalkan untuk keluargaku. Pada saat yang bersamaan Abu Bakar datang dengan membawa sekantong besar emas dan meletakkannya di kaki Rasulullah. Ketika Abu Bakar ditanya oleh Rasulullah, tentang berapa persen harta yang disumbangkan, maka Abu Bakar menjawab, 'Seluruhnya!' Kemudian Rasulullah menatapku, dan bertanya lagi kepada Abu Bakar, 'Lantas apa yang tersisa bagimu dan keluargamu? 'Abu Bakar menjawab singkat, ''Cukuplah bagiku Allah dan Rasul-Nya'.

Futuwwah (berasal dari kata fata, dan jamaknya fityan), secara harfiah berarti pemuda yang tampan dan gagah berani. Dalam perkembangan makna bahasa, kaum sufi kemudian mengartikan futuwwah sebagai sikap ikhlas yang terpuji, perilaku yang rindu untuk meneladani akhlak para nabi, para sahabat, dan para hamba yang saleh.

Sifat seperti ini dapat disimak dari kejantanan Nabi Ibrahim dan Yusuf, yang ikhlas untuk mengorbankan apa saja untuk Allah. Sifat Yusuf yang ternista dan terbuang di sumur yang dalam, tetapi mampu memaafkan saudara-saudaranya.

Begitu pula dengan sifat Nabi Muhammad SAW. Ketika penduduk Thaif menghina beliau dengan lemparan batu, beliau bukannya marah, tapi justru memaafkan. Bahkan beliau kemudian mendoakan orang yang telah menistanya dengan sebuah doa yang sangat indah: ''Ya Allah, ampunilah mereka semua, karena mereka tidak mengetahui.'' - ahi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar