Kamis, 07 Mei 2009
Membelitkan Lidah
...dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah (QS Al Baqarah [2]:140)
Engkaukah Isa Baba yang menjadi pewaris Qarun? Kesenanganmu terhadap harta, menyebabkanmu sudi berlaku zalim, terhadap sesamamu. Engkau menjadi simbol ketamakan dan kezaliman seperti Qarun di masa kenabian Musa bagi negeri yang memproklamirkan dirinya sebagai kerajaan Islam. Tapi siapakah engkau sesungguhnya Isa Baba? Dunia mengenalmu sebagai pendidik.
Dengan demikian, engkau semestinya menjadi sumber pengetahuan dan kebijaksanaan, bagi para muridmu. Engkau tidak sekadar mengajarkan pengetahuan tetapi juga nilai-nilai moral. Sesuatu yang semestinya akan terus menjadi suar bagi kehidupan para muridmu kelak. Bukankah nilai-nilai moral yang menjadi panduan tetap ketika ilmu pengetahuan terus berkembang, bahkan, dapat menyilaukan di tengah perkembangannya? Maka demi semua itu, engkau terus menimba, karena sejatinya pembelajaran tiada pernah berhenti. Di sisi lain, bukankah marwah seorang pendidik, berbentuk ketulusan untuk terus belajar.
Ketulusan belajar semestinya menawarkan kearifan: dengan kerendahan hati, memetik tangkai pengetahuan, dari pelbagai ladang pengetahuan. Engkau pun melakukan hal tersebut. Ketidaktahuan menyebabkanmu bersedia membayar jasa seseorang yang memberikan pembelajaran. Sesuatu yang semestinya merupakan nilai ideal bagi pemburu ilmu. Tapi, mengapa nilai ideal yang semestinya engkau genggam, justru dicampakkan? Sesudah mendapatkan yang engkau perlukan, justeru engkau hai Ishak Baba, membelitkan lidah: berdalih macam-macam sembari menolak pembayaran atas jasa yang diterima. Engkau yang semestinya menjadi panutan justeru telah menjadi orang yang ingkar.
Bukankah membelitkan lidah merupakan ciri orang zalim? Mengingkari janji atas kebenaran-Nya dan menjadikan anak sapi sebagai pengganti sembahan, menyebabkan Bani Israil menjadi kumpulan zalim. Mereka mengetahui kebenaran-Nya tetapi menyembunyikannya. Mereka semena-mena sembari mengingkari kebenaran-Nya demi mengutamakan kemewahan. Islam mengajarkan penganutnya untuk "katakan yang benar itu benar dan salah itu salah." Bahkan, Allah berfirman, Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah. (QS Az Zumar [39]:32).
Begitu kerasnya Allah mengingatkan para pendusta hingga berulang-ulang mengingatkan, di antaranya lihat juga QS Ali Imran [3]:94; Al An'am [6]:93, 157; Yunus [10]:17; dan Hud [11]:18). Isa Baba tentu sekadar sebuah nama. Ia bisa menjadi Ali Baba, Nurrokhman Zaman, ataupun Alimin Karim (nama menjadi bermakna karena perilaku dan amal-ibadah penyandangnya). Yang terpenting ialah sosok-sosok semacam itu dapat berada di mana-mana. Ishak Baba bisa berada di Malaysia, Indonesia, bahkan, nun di pelosok bumi yang jauh. Begitupun perilakunya: mulai sekadar ingkar janji, hingga pada tindakan yang bengis seperti membunuh ataupun menyingkirkan orang yang berani menyatakan kebenaran.
Mengapa selalu ada orang yang zalim dalam kehidupan ini? Allah telah mengingatkan melalui Alquran surah Al-Qashasash (cerita-cerita). Allah, bahkan, mengenalkan tokoh antagonis pertama di bumi yaitu Fir'aun dengan kroninya seperti Qarun, di surah ke-28 pada Al-Quran. Demi kemewahan (baca: kekuasaan) yang disenangi, Fir'aun menjadi sosok zalim yang diperkenalkan Allah. Ia menyembunyikan kebenaran sejati (ajaran Allah) karena ia beranggapan dirinya adalah kebenaran. Maka Raja Mesir itu menindas setiap orang yang mencoba menyuarakan kebenaran. Akibatnya?
Allah memberikan balasan setimpal. Fir'aun atau siapapun pada kekinian yang menyenangi keingkaran seketika menerima buah kesenangannya: dikelilingi sosok yang gemar membelitkan lidah karena kemunafikannya. Fir'aun, misalkan, dikelilingi sosok seperti Qarun yang gemar menyembunyikan kebenaran demi menyenangkan atasan. Qarun lebih senang menyanjung sembari menyembunyikan kebenaran karena Fir'aun merupakan sosok yang ingkar. Dengan berbohong, membuat Qarun menumpuk kemewahan yang disenanginya. Dalam bentuk lain di tengah keseharian, kita pun sering menyaksikan pimpinan yang zalim, mendapatkan anakbuah yang zalim.
Bahkan, negara ini pernah dan selalu menjadi pentas kezaliman penguasa, dikelilingi para badut. Ironisnya, di saat kekuasaan berada di titik nadir dan pentas hampir usai, para badut bertempik sorak: mereka seketika ramai-ramai mengingkari kekuasan sang tokoh zalim. Memang kezaliman senantiasa membuahkan kezaliman. Seseorang yang zalim akan menerima buah kezalimannya dari orang yang juga zalim. Begitu indah dan sempurna Allah membuat hukuman berdasarkan ketentuan-Nya (sunnahtullah). Allah, bahkan, telah mengingatkannya: Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa'at yang diterima syafa'atnya (QS Al Mu'min [40]:18).
Begitupun firman-Nya, Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. (QS Al An'am [6]:129). Sayang, hati kita seringkali tertutupi, sehingga tidak mampu menangkap makna firman-Nya di Al-Quran. Kita enggan merenungkan kandungan Al-Quran dan sunnahtullah yang begitu sempurna mengelilingi kita: orang-orang zalim senantiasa dikelilingi sesamanya, bahkan, mendapatkan buah kezalimannya. Sesuatu yang sejatinya mencerminkan betapa nelangsa dan sepi kehidupan para penzalim. Keengganan tersebut menyebabkan pewaris Fir'aun maupun Qarun terus bertebaran di muka bumi. Demi kemewahan yang disenangi - kemewahan dapat berarti kekuasaan maupun harta-benda mereka meneruskan lakon Fir'aun maupun Qarun. Mereka, para penzalim itu, telah ditulikan ketika Allah mengingatkan kelak akan meleburkan orang-orang zalim dengan suara lengkingan.
Jumat, 30 Mei 2008 @ 04:45:05
( Rudy Harahap, Republika )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar