Minggu, 10 Mei 2009

Memilih Pemimpin


"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun" (QS. Ibrahim, 14;24-26)

Ayat di atas menggambarkan betapa indahya gambaran yang dianugerahkan Allah SWT atas keberadaan orang-orang yang bertakwa di mana keberadaannya ibarat sebuah pohon yang baik, yang "akarnya sangat kuat menghujam ke dasar tanah, sementara dahan dan rantingnya menjulang tinggi ke langit, pohon tersebut tumbuh dengan subur lalu berdaun rindang dan berbuah yang buahnya dapat dinikmati oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya pada setiap saat dengan seizin Allah Tuhannya.

Akar yang dimaksud pada ayat di atas adalah akidah. Kalimat thayyibah, "la ilaha illallah", diibaratkan sebagai akar pohon yang menghujam sangat kuat ke dasar tanah. Sehingga berdiri kokoh dan tidak mudah tumbang bila diterpa angin. Untuk itu bisa disimpulkan bahwa seorang yang dalam hidupnya "tidak" berpegang kepada prinsip kalimat thayyibah, "la ilaha illallah", maka dia tidak ubahnya pohon yang tidak berakar (QS. Ibrahim, 14:26). Dapat dibayangkan kondisi pohon yang tidak berakar, maka sudah dapat dipastikan dia tidak dapat mempertahankan hidupnya.

Perumpamaan pohon yang buruk itu adalah pohon yang akarnya sudah terangkat dari permukaan bumi yang esok atau lusa akan mati. Keberadaan pohon semacam ini tidak ada artinya sama sekali, dia tidak mungkin memberi manfaat, jangankan untuk berbuah, bertahan untuk hidup pun tidak mungkin bisa. Keberadaan pohon semacam ini paling bermanfaat hanya sebagai kayu bakar.
Gambaran hidup orang-orang yang "tidak mau" berpegang dengan kalimat thayyibah, la ilaha illallah, maka dia seperti pohon yang tidak ada akarnya, sebagaimana layaknya kondisi orang-orang kafir, dia tidak ada nilainya sama sekali di sisi Allah. Mereka termasuk, "Orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"(QS. Al Kahfi, 18 : 104).

Dengan akidah atau keimanan yang kuat, seseorang akan diantarkan amal perbuatannya sampai kepada Allah SWT. Digambarkan seperti pohon yang dahannya menjulang tinggi sampai ke langit. Maknanya, amalnya akan sampai kepada Allah SWT.

Jadi, seorang muttaqin itu di samping memiliki dasar akidah yang kuat, dia juga harus baik dalam "habluminallah" (hubungan secara vertikal dengan Allah SWT).

Tidak cukup demikian, tapi dia harus seperti pohon yang terus-menerus berbuah, dalam pengertian baik hubungannya secara horisontal dengan makhluk yang ada di sekelilingnya. Setiap saat buahnya bisa dinikmati oleh masyarakat yang hidup di sekitarnya. Inilah yang sering kita istilahkan dengan silaturahim, dia harus baik dalam hubungan silaturahimnya. Bukan hanya dengan sesama manusia saja, melainkan hubungan dengan sesama makhluk Allah yang lain pun harus baik.

Dapat disimpulkan bahwa gambaran manusia ideal menurut Al-Qur'an yang digambarkan pada ayat di atas adalah akidahnya harus kokoh, hubungan vertikalnya dengan Allah dijalin sangat baik, secara horisontal pula hubungan dengan sesama makhluk Allah harus baik.

Keberadaan pohon yang baik ini mungkin tidak hanya dinikmati oleh manusia saja, melainkan binatang pun bisa ikut menikmatinya.

Keberadaan insan yang muttaqin harus bisa bermanfaat bagi orang lain atau makhluk-makhluk Allah yang lain yang ada di sekitarnya. Sehinga bila suatu saat pohon ini mati, maka banyak sekali orang yang merasa kehilangan terutama bagi yang selama ini menikmati buahnya. Yang seandainya suatu saat dia meninggal dunia, maka banyaklah orang yang akan merasakan kehilangan terutama mereka yang selama ini menikmati buah karyanya atau kesalehannya.

Betapa sangat erat keterkaitan dan keterikatan antara akidah dengan kehidupan seseorang. Kesalehan seseorang secara individu harus dibangun atas dasar kokohnya akidah yang pada gilirannya diharapkan dapat muncul kesalehan sosial yang akan mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai petunjuk-Nya.

Berbicara tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka kita tidak bisa lepas berbicara tentang masalah kepemimpinan. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda, "Ada tujuh golongan manusia dari ummatku yang akan mendapat perlindungan di akhirat nanti di mana tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah".

Yang paling pertama disebut oleh Rasulullah Saw adalah "pemimpin yang adil". Hadits ini mengisyaratkan bahwa, jika seorang pemimpin itu berbuat adil maka hakikatnya dia telah beribadah kepada Allah dalam beentuk pengabdiannya kepada sekian juta manusia yang dipimpinnya selama masa jabatannya. Sehingga layaklah pemimpin yang adil akan mendapatkan tiket masuk syurga tanpa hisab.

Sebaliknya, bila seorang pemimpin itu berbuat zalim maka dia akan memperoleh tiket masuk neraka tanpa hisab. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Adz Dzulaimi yang dikutip Al Ghazalai dalam Kitabnya Minhajul 'Abidin, Rasulullah Saw bersabda: "Ada enam kelompok manusia dari ummatku yang akan masuk neraka jahanam tanpa hisab". Yang paling pertama disebut oleh Rasululah Saw adalah "pemimpin karena kezalimannya".

Hadits ini mengisyaratkan bahwa, apabila seorang pemimpin itu berbuat zalim dalam kepemimpinannya maka dia akan masuk neraka tanpa hisab.

Betapa berat menyandang tanggung jawab sebagai seorang pemimpin, karena dia harus bisa berbuat adil.

Ketika seorang pemimpin tidak menjalankan kepemimpinannya sesuai dengan syariat Allah maka dia termasuk telah berbuat zalim yang konsekuensinya sangat berat bagi kehidupan kelak di akhirat.

Dalam kaitannya memilih pemimpin, layaklah kita hayati dan renungkan sebuah hadits yang diriwayatkan Iman Al Hakim, Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa yang memilih seseorang sebagai pemimpin atas dasar ta'ashub.(fanatisme/taqlid) buta semata didasarkan hanya pada pertimbangan emosional primordial, bukan atas dasar rasionalitas dan penilaian yang jernih, padahal di tengah mereka ada orang yang lebih layak dan pantas dipilih dan diridhai Allah, maka orang itu telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin.

Sebenarnya telah banyak sekali ayat-ayat yang mengingatkan kita tentang bagaimana cara kita mesti memilih pemimpin, di antaranya dalam QS. Alli Imran, 3 : 28; Al Maa-idah, 5:51; An Nisaa', 4:138-139. Betapa sudah sangatlah jelas dan tegas peringatan-peringatan Allah tentang masalah mengangkat seorang menjadi pemimpin, jangankan orang kafir yang kita angkat sebagai pemimpin, bahkan orang muslim sekalipun hanya mereka yang tunduk, patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta siap melaksanakan syariat Allah.

Maka dari itu sudah tidak dimungkinkan lagi dalam Islam kita mengangkat seorang pemimpin yang kafir dengan mengenyampingkan orang mu'min, karena dia yakin bahwa yang kafir itulah yang terbaik, maka dari sisi akidah dia sudah gugur keislamannya.

Bila kita membuka lembaran sejarah, maka kita akan menemukan salah satu teladan yang baik dari seorang sosok anak manusia yang baru diangkat menjadi Khalifah, di mana ketika itu Abu Bakar Ash Shidiq Ra telah diangkat menjadi khalifah. Layak timbul pertanyaan dalam diri kita dengan diangkatnya beliau menjadi khalifah, apakah kedudukannya sebagai khalifah mengubah kepribadian dan gaya hidupnya ? Apakah dalam kegemilangan dan kepadatan keberhasilannya, lantas ia melupakan kerendahan hati dan sifat-sifat utama lainnya ? Apakah kehidupannya sebagai khalifah berada di atas manusia pada iumumnya, ataukah tetap di tengah-tengah manusia ?

Jawaban dari semua pertanyaan di atas, kita akan dapatkan dengan menyimak pidato detik-detik awal dari kekhalifannya saat ia tampil untuk pertama kalinya menghadap khalayak ramai untuk menyampaikan kepada mereka ikrar serta janjinya, "Hai Kaum Muslimin, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantu dan dukunglah saya, dan jika saya salah, betulkan dan peringatkan saya! Ingatlah, orang yang lemah di antara kalian menjadi kuat di sisiku hingga saya serahkan haknya kepadanya. Dan, orang yang kuat di antara kalian menjadi lemah di sisiku hingga saya ambil yang bukan haknya daripadanya. Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk mentaatiku".

Dengan ikrarnya ini, Abu Bakar Ra telah meletakkan rasa tanggung jawabnya dalam kerangka pengakuan dan ketulusan. Tanggung jawab seorang pemimpin yang dipercaya sekaligus mengungkapkan intisari setiap pemerintahan yang baik. Dengan pernyataan ikrar, "Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah yang terbaik di antara kalian".

Maknanya, ia hendak mengikis persangkaan manusia yang menyebabkan mereka menaruh pihak penguasa di tempat yang mereka tinggikan dari derajat dan kedudukan yang sebenarnya.

Ia bermaksud hendak menanamkan dalam hati mereka bahwa kekuasaan itu bukanlah suatu kelebihan atau keistimewaan, melainkan amanah yang wajib ditunaikan dengan sebaik-baiknya sekaligus pelayanan umum yang dalam sebagian besar di antaranya ditemui berbagai macam kesulitan dan tanggung jawab.

Ia memberi pelajaran berharga bagi kita bahwa kepemimpinan itu bukanlah untuk suatu keagungan, melainkan tugas dan kewajiban, memberikan bimbingan dan bukan ketakaburan.

Seorang pemimpin itu hanyalah suatu individu yang merupakan bagian dari ummat dan bukanlah ummat suatu bagian dari individu.

Demikian pula, dapat kita simak makna ikrarnya yang dinyatakannya, "Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku".

Lewat pernyataannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa umat wajib taat kepada pemerintahan dan kepemimpinan beliau, sepanjang beliau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, jika nanti di dalam kepemimpinannya beliau menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi bagi ummat untuk taat.

Disadari atau tidak, permasalahan "pilih-memilih" dalam menjalani kehidupan ini bukanlah urusan kecil atau masalah yang sepele, terlebih lagi dalam kaitannya kita harus memilih seorang pemimpin.

Bagi kita yang berkedudukan sebagai pemilih tentu punya tanggung jawab yang sangat besar. Bukan hanya tanggungjawab moral, tapi lebih dari itu kita punya tanggung jawab di hadapan Allah. Di hadapan-Nya kelak, kita akan dituntut pertanggungjawabannya tentang apa yang telah kita lakukan, tindakan dan sikap apa yang telah kita perbuat, "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya" (Al Israa', 17 : 36).

Kita harus betul-betul siap untuk memilih seseorang yang kita yakini, paling tidak, yang siap melaksanakan syariat Allah. Kesalahan kita dalam memilih akan berakibat fatal bagi kehidupan ummat masa kini dan masa akan datang dan kita pun harus ikut mempertanggungjawabkan itu di akhirat kelak.

"Salah" kita dalam memilih seorang pemimpin, dengan memilih orang yang zalim misalnya, karena tidak terbesit tekadnya sedikit pun untuk menegakkan syariat Islam, maka kita harus ikut mempertanggungjawabkan pilihan kita itu di hadapan Allah. Karena bukankah dia bisa menjadi seorang pemimpin adalah juga karena kita yang memilihnya. Bahkan dalam kesalahan memilih seorang pemimpin, bukan hanya saja menyeret seseorang masuk dalam perbuatan zalim atau dosa, lebih dari itu bisa membuat seseorang gugur keislamannya, Na'udzubillah min dzalik!

Akhirnya, pada penghujung bahasan ini saya berpesan marilah gunakan sebaik-baiknya hak pilih kita dengan penuh tanggung jawab demi keselamatan ummat hari ini, esok dan pada masa-masa mendatang, dunia dan akhirat dalam ridha-Nya.
Wallahu a'lam bish-shawab.

By K.H. Athian Ali M. Da'i, MA
Senin, 06 April 2009 pukul 11:59:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar