Kamis, 07 Mei 2009

Mencermati Kondisi Batin: Ketika Melakukan Dosa Besar


ISI
• Orang yang tergelincir ke dosa besar seringkali melenting ke atas melampaui posisi sebelumnya. Dengan kata lain, dosa dan maksiat seringkali menjadi momentum untuk lebih dekat dengan Tuhan, mengapa?

• Bagaimana menjadikan dosa sebagai sebagai anak tangga menuju Tuhan?

Dosa dan maksiat bukan saja perbuatan tercela dan terlarang, melainkan juga membutakan mata hati, memadamkan
nurani. Lebih dari itu, dosa dan maksiat juga membawa kegelisahan sehingga ketenangan hidup terganggu. Jelasnya, dosa dan maksiat merendahkan derajat dan kualitas kemanusiaan.

Semua yang dilarang Tuhan adalah musuh kemanusiaan dan semua yang diperintahkan dan dianjurkan Tuhan demi untuk martabat kemanusiaan. Tuhan tidak butuh untuk disembah tetapi manusialah yang membutuhkan penyembahan itu, karena di balik penyembahan dan ketaatan itu tersimpan hikmah dan berbagai kemaslahatan untuk manusia dan kemanusiaan.

Seandainya semua manusia mogok untuk menyembah kepada-Nya maka tidak sedikit pun mengurangi kapasitas dan eksistensi-Nya sebagai Tuhan. Sebaliknya seandainya semua manusia taat kepada-Nya bagaikan malaikat sekalipun maka tidak akan berpengaruh terhadap Dirinya.

Perintah dan larangan Tuhan adalah bukti kemaha-pengasih dan penyayang-Nya terhadap hamba-Nya, khususnya kepada manusia, yang diberikan spesifikasi khusus sebagai khalifah, representatif Tuhan di jangat raya ini.

Meskipun diberi kekhususan sebagai khalifah, manusia tetap sebagai hamba (’abid) yang harus menyembah kepada Tuhan, sebagaimana halnya makhluk-makhluk lainnya. Konsekwensi tugas kekhalifahan yang diemban manusia, Allah menundukkan seluruh alam semesta kepadanya, bahkan di dalam penciptaan awal manusia (Adam), para makhluk diperintahkan hormat dan sujud kepadanya sebagai bukti kehebatan dan keutamaan manusia.

Memang ada yang membangkang dan keberatan untuk sujud, yaitu Iblis bersama komunitasnya, makanya itu mereka dikutuk. Untuk mencari parner di neraka maka mereka diberi kesempatan untuk menggoda manusia sampai akhir zaman.

Konsep penundukan alam semesta (taskhir) tidak bisa diartikan semacam ”SIM” untuk mengeksploitasi alam raya melampaui daya dukungnya. Alam raya tidak akan tunduk dan tidak lagi akan bersahabat kepada manusia manakala melampaui batas-batas yang telah digariskan Tuhan. Allah SWT bukan hanya Tuhan manusia sebagai makhluk
mikrokosmos tetapi juga Tuhan alam raya sebagai makhluk makrokosmos. Realasi makhluk mikrokosmos dan makhluk
makrokosmos adalah relasi kekahlifahan.

Sedangkan relasi mikrokosmos-makrokosmos dan Tuhan adalah relasi penghambaan. Karena itu, dosa tidak boleh dimaknai hanya sebagai masalah relasi vertikal antara makhluk dengan Sang Khaliq, tetapi dosa juga terkait dengan masalah relasi horizontal antara sesama makhluk. Dan makhluk di sini bukan hanya sesama manusia, apa lagi hanya
sebatas sesama muslim, tetapi juga sesama makhluk, baik makhluk hidup maupun makhluk benda mati. Bukankah kata ”benda mati” itu hanya ada dalam kamus manusia?

Bagi Tuhan dan para malaikatnya, tidak ada istilah benda mati. Semunya itu bertasbih dan menyembah Tuhan, hanya kita yang tidak memahami tasbih dan bentuk ibadah mereka.

Demikian kesimpulan di dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Dosa dan maksiat memang mejatuhkan dan menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan tetapi kalau itu disadari dalam bentuk kesadaran puncak (taubat nashuha) maka tidak mustahil itu melentingkan kembali yang bersangkutan ke atas, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada posisinya semula.

Dosa dan maksiat sangat berpotensi dan dapat dijadikan titik masuk seseorang untuk lebih dekat kepada Tuhannya. Tidak jarang para pendosa yang taubat justru lebih baik dari pada orang-orang biasa. Ini mungkin disebabkan karena
ia sudah mampu membandingkan betapa jauh jaraknya antara suasana batin yang taat dan yang durhaka kepada-Nya.

Namun ini tidak berarti sebuah ajakan kepada kita untuk mencicipi dosa guna meningkatkan kesadaran dan keimanan, sebab betapa banyak bahkan jauh lebih banyak para pendosa jatuh dan tidak melenting ke atas, melainkan
bagaikan bola yang jatuh di dalam lumpur, tidak lagi melenting ke atas, malah justru terbenam di dalam lumpur kehinaan.

Para pendosa yang berpotensi melenting ke atas ialah mereka yang karena dosa dan maksiat yang dilakukannya betul-betul membuat dirinya terpukul dan kecewa, mengapa dirinya harus melakukan sesuatu yang amat bodoh di dalam hidupnya. Karena itu ia menyesal sejadi-jadinya seraya menjalani proses pembersihan diri dengan penuh
ketekunan.

Menurut Imam Gazali, dalam kitab Ihya’ `Ulum al-Din, seorang pendosa diminta untuk tidak sekedar istigfar (membaca lafaz istigfar) melainkan harus menjalani rangkaian proses taubat, yaitu:

1) Memperbanyak mengucap istigfar,

2) dengan segera meninggalkan dosa dan maksiat itu,

3) menyesal sejadi-jadinya terhadap kekeliruan
yang telah dilakukannya,

4) bertekad dan berikrar untuk tidak akan pernah mengulangi perbuatan tercela itu dalam hidupnya,

5) mengganti dan menutupi perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal-amal kebajikan yang ikhlas,

6) kalau dosa itu berupa mengambil hak orang lain maka harus segera mengembalikannya sesegera mungkin,

7) menghancurkan daging yang bertumbuh di dalam dirinya yang berasal dari produk haram dengan cara melakukan
riyadhah dan mujahadah, yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt.

8) sesegera mungkin meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti atau dikecewakan itu. Jika ini semuanya dipenuhi maka seseorang berhak mendapatkan pengampunan Allah terhadap dirinya.

Banyak pendosa yang telah melakukan tahapan pertobatan itu dengan baik dan tekun. Mereka selalu manangisi dosa masa lampaunya di dalam sujud tahajjudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat kembali berbagai dosa yang pernah dilakukannya.

Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Allah SWT. Ada ulama yang pernah mengatakan bahwa: ”Air mata taubat itulah yang akan memadamkan api neraka. Bahkan Allah SWT mencintainya,
sebagaimana hadis yang pernah dikutip Al-Gazali dalam kitabnya: ” Allah lebih senang mendengarkan jeritan taubatnmya para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama”.

Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa ” Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah/2:222). Yang penting bagi yang bersangkutan tidak mempermainkan Tuhan dengan pembatalan-pembatalan taubat.

Seorang sufi, Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat.

Kata Dzun Nun: “Beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskankan diri dari dosa itu adalah taubatnya para pendusta. Barangsiapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya, maka ia termasuk orang bahagia”. Subhanallah, alangkah beruntungnya orang yang demikian ini.

Bagi para pendosa tidak sepantasnya putus asa terhadap dosa-dosanya. Sebesar apapun dosa seseorang pasti jauh lebih besar dosa pengampunan Tuhan. Tidak ada artinya dosa besar jika yang datang adalah wajah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Yang penting bagi kita adalah penyerahan diri secara total terhadapnya. Terserah Dia. Jika Dia akan memasukkan kita ke dalam neraka itu adalah hak-Nya, tetapi tidak ada yang bisa menghalangi-Nya jika Dia akan memaafkan hamba-Nya.

Apakah Dia akan menyiksa hamba-Nya yang sudah rebah dan bersujud di hadapan kebesaran-Nya sambil menagis memohon ampun dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Bukankah Dia lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun ketimbang sebagai Tuhan Maha Pemarah dan Maha Penghukum.Tidak sedikit para pendosa mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan./taq


By Republika Newsroom
Selasa, 31 Maret 2009 pukul 11:16:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar