Jumat, 15 Mei 2009

Mencermati Kondisi Batin: Ketika Mempunyai Kebutuhan Besar





ISI

• Orang kepepet dan mempunyai hajat yang besar biasanya dekat dan berharap banyak kepada Tuhan, mengapa?
• Bagaimana menstabilkan emosi disaat-saat sedang terdesak?
• Apa yang harus dilakukan sebagai umat beragama dan bagaimana resepnya untuk keluar dengan tenang dari kesulitan hidup?


Ketika seseorang mempunyai hajat dan kebutuhan besar apalagi sangat mendesak, pada saat itu lah orang seringkali melakukan sesuatu yang luar biasa.

Contoh hajat besar dalam kehidupan sehari-hari kita ialah orangtua sakit keras dan jiwanya terancam sementara tidak punya uang untuk menebus resep obat dari dokter. Anak terancam akan di keluarkan (DO) jika pembayaran SPP tidak dilunasi hari itu. Bertemunya berbagai kepentingan mendesak dalam waktu bersamaan, seperti kontrakan rumah harus dibayar, hutang jatuh tempo, sementara anak sakit keras. Hal-hal seperti ini seringkali membuat seseorang merasa tersisih dan terpojok.

Dalam mengatasi hajat dan keperluan mendesak itu, ada orang yang memilih untuk menempuh segala cara tanpa mempedulikan apakah itu halal atau haram, apakah melanggar hukum atau tidak, yang penting adalah pemenuhan hajat dan kebutuhannya terwujud. Cara-cara seperti ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang biasa tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang relatif memiliki status sosial yang lebih baik. Ada juga orang berusaha menenangkan dirinya sendiri di samping berusaha secara ekstra sambil memohon petunjuk dan pertolongan Allah SWT.

Tidak mudah membedakan atara hajat dan kebutuhan besar dan mendesak dengan yang bukan karena ukurannya sangat subyektif. Mungkin seseorang menganggap suatu hajat dan kebutuhan besar, tetapi bagi orang lain tidak. Jadi jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan itu sangat ditentukan oleh orang per orang.

Di dalam Islam, hajat dan kebutuhan itu dibedakan atas tiga tingkatan. Pertama disebut kebutuhan darurat atau kebutuhan yang bersifat primer meliputi lima kebutuhan pokok (dharuriyyat al-khamsah) yang harus dipertahankan, yaitu agama, jiwa, akal, martabat keturunan, dan harta.

Seseorang dipandang mati syahid dan terbebas dari sanksi manakala seseorang melakukan tindakan pembelaan terhadap salahsatu dari kelima kebutuhan pokok tersebut. Islam melarang syirik untuk memelihara agama. Islam melarang pembunuhan untuk memelihara jiwa. Islam melarang minuman keras untuk memelihara akal. Islam melarang zina untuk memelihara keturunan. Dan, Islam melarang pencurian untuk memelihara harta.

Kedua kebutuhan hajjiyat atau kebutuhan sekunder, yakni kebutuhan yang mendesak tetapi belum sampai pada tingkat dharuriyat, misalnya kebutuhan seseorang akan rumah, telpon, dan kendaraan.

Ketiga kebutuhan tahsiniyat atau luxury, yaitu kebutuhan assessoris kehidupan. Kebutuhan ini tidak memengaruhi eksistensi kehidupan tetapi lebih merupakan pelengkap, seperti rumah asri, kendaraan dan pakaian yang bermerek (branded).

Secara skematis, ketiga tingkat kebutuhan itu bisa dipilah dan dibedakan. Tetapi secara emosional, masing-masing orang meresponinya berbeda-beda. Boleh jadi kebutuhan level ketiga (tahsiniyat) tetapi orang-orang tertentu meresponinya berlebihan, melampaui responnya terhadap ketika tingkatan kebutuhan di atasnya.

Dalam Islam, memang ada kaedah yang mengatakan bahwa ”hajat yang mendesak menempati posisi darurat” (alhajah tanzilu manzilah al-dharurah), sementara ”darurat itu membolehkan sesuatu yang tadinya tidak boleh” (al-dharurah tubih al-makhdhurat).

Namun yang dimaksud di dalam kaedah itu ukurannya bukan selera atau mempertahankan prestise tetapi betul-betul menyangkut kelangsungan eksistensi keberadaan dan kapasitas manusia sebagai hamba atau sebagai khalifah.

Hajat yang besar bisa diungkapkan dalam suasana batin betapa terasa kemahakuasaan Tuhan pada satu sisi dan betapa keterbatasan dan kelemahan hamba pada sisi lain.

Relasi kehambaan seorang manusia dengan Tuhanya lebih terasa bagi seseorang yang menghadapi kebutuhan dan kesulitan besar.

Kebesaran dan keagungan Tuhan akan lebih terasa bagi seseorang yang sedang berhadapan dengan keganasan alam, seperti berhadapan dengan ombak besar di tengah laut, dalamnya goa yang gelap gulita, gemuruh suara halilintar yang menggelepar, kencangnya angin puting beliung, dahsyatnya topan salju yang menusuk tulang, atau di tengah berbagai jenis gempa bumi. Semua orang merasa butuh pertolongan Tuhan ketika itu.

Kiat untuk mendapatkan hikmah dan sekaligus jalan keluar terhadap hajat dan kebutuhan yang sedang kita alami ialah dengan cara memperkuat semangat raja’, yaitu rasa kebutuhan yang amat sangat terhadap pertolongan dan perlindungan Tuhan. Ketergantungan kita kepada Tuhan begitu besarnya sehingga seolah-olah tidak ada lagi dewa penolong lain selain hanya Allah SWT. Diri kita terasa tidak ada apa-apanya sementara Tuhan terasa Maha Segalanya. Sikap raja’ diawali dengan rasa takut (khauf) kepada Allah SWT.

Seringkali di tengah perjalanan tadinya hajat dan kebutuhan seorang hamba adalah sesuatu yang bersifat materiil atau duniawi tiba-tiba beralih kepada Tuhan, seolah tadinya yang menjadi hajat besarnya adalah jalan keluar dari kesulitan kehidupan dunianya tiba-tiba itu hanya menjadi kebutuhan sekunder atau kebutuhan aksessoris. Yang menjadi kebutuhan dan harapan utama ialah ridla Allah Swt. Dalam kondisi batin seperti ini seorang hamba berpotensi menjalin kedekatan diri dengan Tuhannya. Dengan kata lain, hajat dan kebutuhan menjadi perantara efektif antara hamba dengan Tuhannya.

Kiat selanjutnya tentu saja adalah doa. Tanpa doa seseorang akan dinilai angkuh dan sombong, seolah-olah yang bersangkutan tidak membutuhkan Tuhan di dalam mewujudkan hajat dan keperluannya.

Etika berdoa ialah sedapat mungkin badan dan jiwa kita bersih. Disarankan berwudhu lalu membersihkan hati dan meluruskan jalan pikiran serta diringi perasaan tawadhu dan raja’ kepada Allah Swt. Doa diawali dengan lafaz tahmid dan puji-pujian kepada Allah SWT, kemudian selawat kepada Rasulullah SAW, kemudian masuk ke materi hajat kita, memohon berkah dari apa yang diharapkan, lalu ditutup dengan surah Al-Fatihah.

Kiat lain bisa diiringi dengan nazar, yaitu komitmen tertentu kepada Allah yang akan kita lakukan jika hajat dan harapan kita dikabulkan. Misalnya kalau hajat dan harapan saya dikabulkan saya akan memberi makanan kepada 60 orang yatim piatu atau berpuasa 3 hari sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Allah Swt. Nazar bias menjadi triggle atau energi pendorong doa ke langit. Namun disarankan nazar ini dilakukan tidak terlalu sering sehingga menimbulkan kesulitan diri sendiri, karena nazar wajib untuk direalisasikan.

Kesimpulannya, hajat dan kebutuhan besar kita berpotensi untuk lebih mendekatkan seorang hamba kepada Tuhan. Hajat perlu dicermati agar tidak sebaliknya, menjerumuskan kita ke perbuatan yang tercela.

Hajat kita dapat dimohonkan kepada Allah dalam bentuk doa dan kalau perlu dengan nazar. Hajat paling besar bagi seorang hamba adalah memperoleh ridha Allah SWT.

Jangan sampai hajat besar kita yang bersifat duniawi menenggelamkan hajat kita yang sesungguhnya paling besar ialah taqarrub, berdekatan sedekat mungkin dengan-Nya.

Alhamdulillah, berbahagialah orang yang dapat memperoleh kedua hajat tersebut./taq

By Prof. Dr. Nasaruddin Umar
Rabu, 25 Maret 2009 pukul 12:22:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar