Jumat, 08 Mei 2009
Menghindari Kemiskinan Jiwa
Kita belum terlatih untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dari hati ke hati. Masalah yang datang sering dihadapi dengan adu otot dan kekuatan. Ujungnya, bukan solusi yang didapatkan bangsa ini, melainkan semakin terpuruk pada titik nadir kehinaan. Padahal, kita dibekali dengan akal dan nurani, juga iman dan rambu-rambu. Negeri kita sedang mendapatkan ujian yang bertubi-tubi dan aneka peringatan dari Allah SWT.
Oleh karena itu, kita harus merenung keras mengapa kita yang berada di sebuah negeri yang di mana umat Islam menjadi yang terbesar jumlahnya di dunia, namun harus mengalami kehidupan seperti ini. Kalau kita memepelajari indahnya Islam, sepatutnya Indonesia ini menjadi negara yang sangat dihormati dan disegani oleh seluruh dunia karena keindahan pribadi-pribadi yang ada di negeri ini. Alam Indonesia yang indah ini seharusnya menjadikan pribadi kita lebih indah. Alam yang kaya ini seharusnya menjadikan pribadi kita lebih kaya. Tapi dalam kenyataannya, justru negeri ini memiliki citra yang kurang nyaman.
Agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mengajarkan kejujuran. Islam juga mengajarkan kebersihan. Misalnya sebelum shalat kita harus berwudlu terlebih dahulu. Tapi, mengapa kemudian di Indonesia sulit sekali menemukan tempat yang bersih? Bahkan masjid yang kita cintai pun seringkali tidak terawat kebersihannya. Islam juga mengajarkan kerapihan shaf dalam shalat berjamaah. Tapi ironisnya, begitu banyak ruas jalan yang macet. Hal ini diakibatkan karena tidak ada disiplin. Untuk antre pun sangat susah.
Akibatnya menjadi tidak tertib dalam berbagai hal. Ada juga yang menganggap bahwa di negeri ini terlalu banyak orang-orang yang tidak jujur. Buktinya, banyak sekali terjadi korupsi. Bukankah korupsi itu adalah tanda ketidakjujuran? Diakui atau tidak, keterpurukan ini terjadi karena sebagai kaum Muslimin yang mayoritas, perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari belum Islami.
Mengapa demikian? Selama 350 tahun kita dijajah bangsa asing, dan sesudah itu umat Islam hampir tidak bertemu dengan pelajaran tentang keindahan Islam. Di sekolah-sekolah umum, pelajaran tentang keislamam hanya diberikan selama beberapa jam dalam sepekan. Kita dan anak-anak sangat sedikit mengenal keindahan dan kemuliaan Islam. Di televisi atau radio, acara siraman ruhani keislaman paling banter hanya setengah jam sehari.
Jadi, negeri ini nyaris terpuruk karena belum seluruh orang Islam hidup secara Islami. Mereka mayoritas, tapi belum mendapatkan informasi dan suri teladan tentang keindahan Islam. Islam sangat mementingkan perubahan perilaku atau karakter. Karakter itu terdiri dari empat hal. Pertama, ada karakter lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil risiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya. Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang yang tinggi, pantang menyerah, dll.
Ketiga, karakter jelek; misalkan licik, egois, serakah, sombong, pamer, dll. Keempat, karakter baik; seperti jujur, terpercaya, rendah hati, dan sebagainya. Orang-orang yang merusak negeri ini masuk ke dalam salah satu kategori tadi. Hari ini, yang kita rindukan adalah meskipun secara lambat laun negeri ini akan bangkit kembali. Ini bisa terjadi bila dua karakter, yaitu karakter yang kuat dan baik bersinergi. Misalkan dia tangguh, ulet tapi tetap rendah hati dan merupakan pekerja keras yang sangat gigih. Dia berprestasi gemilang tapi ikhlas.
Inilah yang diharapkan dari setiap pertemuan kita. Yakni, mewujudkan manusia-manusai tangguh, berani, gigih, ulet, jujur, rendah hati, dapat dipercaya, dan sebagainya. Allahu Akbar!. Satu hal yang patut kita sayangkan kemudian adalah, karakter manusia Indonesia khususnya kaum Muslimin, tidak terlalu sesuai dengan karakter yang diinginkan di atas. Ternyata, banyak manusia di Indonesia yang mempunyai kebiasaan korupsi, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecilan.
Hal ini disebabkan karena kita mempunyai jiwa miskin. Pernah suatu ketika di Mekkah, tepatnya di Masjid Al Haram, di saat buka shaum ada beberapa orang pengemis membawa kain yang tampaknya penuh dan isinya terlihat berat. Mereka meminta-minta sampai kain bawaannya semakin banyak. Ternyata, dia melakukan itu karena merasa bahwa belum tentu besok hari akan mendapatkan kesempatan yang sama. Orang yang miskin jiwa seperti itu terus tumbuh.
Orang-orang yang licik, koruptor, yang mengambil harta orang lain tanpa hak, sebetulnya mereka adalah orang-orang miskin. Walaupun jabatannya tinggi, kedudukan dan hartanya berlimpah, tetapi jiwanya tetap miskin. Dia akan terus mengambil apa saja yang ada di hadapannya, meski itu bukan miliknya. Saat pembagian beras untuk orang miskin (Raskin), mereka menjadi orang pertama yang mengambil beras itu.
Sebelum sampai kepada yang berhak sudah dimakan lebih dulu oleh oknum-oknum yang miskin jiwa tersebut. Atau kalau tidak, beras itu mereka timbun untuk kemudian dijual. Orang yang miskin jiwa, bila naik jabatan akan sibuk mencari rampasan. Akibatnya, kewajibannya menjadi terbengkalai. Miskin jiwa, meski kaya harta; dia akan merusak. Oleh karena itu, jangan mencari pasangan yang kaya secara lahiriah. Carilah manusia yang kaya batin dengan penuh kemuliaan. Kekayaan lahir itu hanyalah topeng.
Orang yang hanya mempertontonkan topeng adalah kekanak-kanakan. Harta yang didapat dengan tidak halal tidak akan membuat bahagia. Bahkan akan jadi racun untuk keluarga. Kita belum terlatih untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dari hati ke hati. Masalah yang datang sering dihadapi dengan adu otot dan kekuatan. Atau saling menjungkirkan dan menjatuhkan. Bila demikian, kita tidak beda dengan binatang. Padahal, kita dibekali dengan akal dan nurani, juga iman dan rambu-rambu. Wallahua'lam.
Penulis : Abdullah Gymnastiar
By Republika Newsroom
Selasa, 30 Desember 2008 pukul 17:21:00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar