Jumat, 15 Mei 2009
Perlambang Cinta Nan Abadi
Hampir setiap orang mengenal Taj Mahal. Sebuah kompleks pemakaman yang dibangun 4 abad silam di India, namun masih dikagumi hingga kini. Saya sendiri mengenalnya ketika saya masih SD karena ia termasuk satu dari tujuh keajaiban dunia. Saya mengenal sebatas bentuk arsitekturnya yang cukup menimbulkan kekaguman. Apalagi bentuknya adalah bentuk masjid yang lengkap dengan hiasan menara dan kubahnya.
Saya baru membaca bahwa ternyata ada kisah cinta yang melatarbelangi pembangunannya. Yakni kisah cinta seorang suami (yang kaisar) terhadap seorang isteri (yang merupakan permaisurinya).
Taj Mahal dibangun tahun 1632-1648 atas perintah Kaisar Mughal Shah Jahan untuk mengenang isteri yang dicintainya, yakni Arjumand Bano Begum atau Mumtaz Mahal, yang meninggal saat melahirkan anak mereka yang ke-14. Ia berdiri anggun di Agra, kota kecil di Negara Bagian Uttar Pradesh yang berjarak sekitar 200 Km di selatan New Delhi, India. Kompleks Taj Mahal memiliki 5 bagian utama, yaitu gerbang utama, taman, masjid, rumah peristirahatan, dan rauza (musoleum). Rauza inilah yang merupakan pusat dari seluruh bangunan yang ada. Makam Mumtaz Mahal terletak tepat dibawah kubah musoleum, sedangkan makam Shah Jahan berada di sebelah barat makam Mumtaz Mahal.
Yang cukup menarik, ternyata bentuk arsitektur yang serupa masjid yang saya kagumi dulu, ternyata bukan masjid melainkan tempat pemakaman (musoleum). Dan yang cukup menarik pula, menurut berita yang saya baca, keindahan dan kemegahan Taj Mahal telah memberikan inspirasi kepada para seniman sehingga lahir dari mereka karya-karya indah dalam berbagai bentuk. Tentu saja, keindahan bentuk Taj Mahal yang memberi banyak inspirasi itu karena menyimpan kisah-kisah romantisme di dalamnya. Bukan sekedar bentuk visual yang tanpa makna.
Dalam agama kita, ada bentuk arsitektur yang menjadi sorotan utama, yakni Masjidil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid Al Aqsha di Palestina. Adakah kisah romantisme yang melatarbelakangi pembangunannya? Tidak. Namun lebih dari sekedar romantisme. Ketiga tempat tersebut adalah tempat yang dimuliakan Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Ayat-ayat Alqur’an dan matan-matan hadits nabawi banyak menjelaskan kemuliaan ketiga bangunan tersebut. Jika kita telusur, akar historis yang melatarbelakangi pembangunannya adalah kecintaan yang hakiki, yaitu kecintaan terhadap Allah SWT. Kemuliaan disematkan di sana, agar manusia mengambil ibrah yang besar dari peristiwa-peristiwa masa silam untuk dipedomani guna kehidupan kini dan masa depan.
Setiap orang beriman pasti mendambakan untuk menziarahi mereka. Dan bisa mengunjungi mereka adalah sebuah kebanggaan dan kebahagiaan besar dibanding sekedar jalan-jalan ke Kuala Lumpur, Cina, Mesir, Paris, California, atau tempat-tempat wisata dunia dengan bangunan arsitektur megahnya. Asep, sahabatnya saya, pernah menangis sesunggukan dihadapan ka’bah ketika ia bisa naik haji sembari menyelesaikan studinya di Belgia. Ketika ia menyaksikan ka’bah, batinnya ia berkata, “Ya Allah, inikah bangunan ka’bah yang Engkau muliakan itu. Tentu bukan karena bangunan ka’bah itu aku menangis ya Allah. Aku menangis karena kemuliaan dan kebesaran-Mu.”
Andai kita pun berkesempatan mengunjungi Mekkah dan Madinah pun tentu bukan karena arsitektur-arsitektur modern yang ada di sana yang mampu menjadikan kita begitu dekat kepada Allah. Kebesaran Allah SWT dibalik arsitektur-arsitektur itulah yang mampu membangkitkan inspirasi. Inspirasi untuk bertaubat, inspirasi untuk memperbaiki kehidupan, dan inspirasi untuk selalu berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Karena perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw yang menjadi akar historis arsitektur Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, adalah perjalanan kehidupan yang syarat dengan hikmah dan keteladanan.
Andai kita sempat berkunjung ke situs rumah Rasul Saw, tentu yang kita ingat adalah bagaimana Rasul Saw dulu menerima wahyu-wahyu dari Allah, Bagaimana Rasul membangun keluarga bersama Khadijah, bagaimana Rasul Saw ibadah malam di bilik rumah beliau, dan bagaimana Rasul Saw menjalani pernik-pernik kehidupan yang syarat teladan mulia bagi kita selaku ummatnya.
Andai kita sempat berkunjung ke makam Rasul, tentu yang kita ingat adalah bagaimana Rasul Saw dulu berjuang bersama sahabat-sahabat menegakkan kalimat Allah. Akan banyak kenangan yang bisa tergali dan akan banyak muncul inspirasi untuk selalu mencontoh perjuangan mereka dan berusaha menegakkan nilai-nilai dan hikmah yang terkandung di dalamnya untuk sukses menjalani kehidupan real di masyarakat
***
Ketika saya membaca sebuah berita bahwa pengembangan Arab Saudi, khususnya kota suci Makkah dan Madinah yang akhir-akhir ini tidak memedulikan situs-situs sejarah Islam sehingga banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah SAW dan sahabatnya makin habis, saya pun turut bersedih. Meski sebatas berharap bisa mengunjungi dan belum pernah bisa menyaksikan, saya bisa merasakan hilangnya situs-situs itu laksana menghilangkan kita dari ikatan terhadap Rasulullah Saw dan Rabb-Nya.
Efek dari eliminasi situs-situs Islam ini begitu diyakini oleh musuh-musuh Islam. Oleh karenanya suatu hal yang wajar jika kita mendengar adanya konspirasi membongkar makam Nabi Saw, menghancurkan masjidil Aqsha, merestorasi bangunan-bangunan suci sehingga tidak nampak lagi orisinalitasnya, dan lain-lain. Sementara pada sisi lain, kita sering mendengar adanya bangunan atau budaya yang justru menumbuh-suburkan kesyirikan tetap dipertahankan dengan alasan melestarikan nilai-nilai luhur nenek moyang.
Catatan kecil saya ketika membaca uraian tentang Taj-Mahal adalah, jika orang bisa mempertahankan Taj Mahal sebagai sumber inspirasi karena dianggap sebagai perlambang cinta nan abadi. Kita pun seharusnya bisa mempertahankan situs-situs dan masjid-masjid suci, karena mereka adalah perlambang cinta nan abadi yang hakiki. Yakni cinta manusia (hamba) kepada Rabb-Nya.
Tegusurnya situs-situs Islam dalam berita tersebut bisa jadi menjadi ujian cinta kita kepada-Nya, yakni apakah kita sekedar bisa melihat situs atau bangunan sebagai benda sehingga kita tidak merasa kehilangan, ataukah melihatnya sebagai perlambang cinta sehingga kita terdorong untuk mempertahankannya.
Wallahua'lam bishshawaab
rizqon_ak@eramuslim.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar