Kamis, 07 Mei 2009

Runtuhnya Kristen di Dunia


Di Amerika Serikat, jumlah pemeluk Kristen turun 10 persen dibandingkan dua dekade silam. Di belahan bumi lain pun juga demikian. Tanda-tanda keruntuhan Kristen mulai tampak.

Oleh Chairul Akhmad


Hanya masalah kecil sebenarnya, sebuah angka perbandingan yang tercetak pada halaman 17 –dari 24 halaman– ringkasan survei American Religious Identification Survey (ARIS) tahun 2009. Namun R Albert Mohler Jr, presiden Southern Baptist Theological Seminary –sebuah lembaga seminari terbesar di dunia– kaget bukan kepalang, ketika membaca isinya.

Bagi orang-orang fanatik dan konservatif macam Mohler, hasil survei itu cukup mengganggu: jumlah penduduk AS yang mengklaim diri tidak lagi berafiliasi dengan agama tertentu melonjak dua kali lipat sejak tahun 1990, dari 8 menjadi 15 persen. Bagi Mohler, fondasi historis kultur keberagamaan AS sedang retak. “Ini benar-benar memukul saya,” ujarnya sebagaimana dilansir majalah Newsweek edisi 13 April 2009 lalu.

Menurut Mohler, kontur paling mendasar budaya Amerika telah berubah secara radikal. Apa yang disebut dengan konsensus Yudaisme-Kristen milenium terakhir telah memberikan jalan bagi munculnya kultur post-modern, post-Kristen dan post-Barat yang sangat mengancam pusat budaya AS. “Jelas, ini merupakan kisah baru, kisah post-Kristen yang menjiwai porsi terbesar masyarakat,” jelasnya.

Inilah yang mengemuka di AS kini, sebuah istilah lama dengan urgensi baru, post-Kristen. Istilah keren dari “ateis” alias “Kristen murtad”. Walau penduduk AS tidak menganggap Tuhan mereka telah mati, namun kini pengaruhnya (Tuhan) telah berkurang dalam kultur dan politik AS dibandingkan masa-masa sebelumnya. Yang mengejutkan, kaum liberal yang semula takut dengan kebangkitan teokrasi Evangelis dan mencemaskan konservatisme agama, kini kian berani tampil dalam kehidupan publik. Orang-orang Kristen kini mengalami penurunan persentase dalam masyarakat AS.

Menurut hasil survei ARIS yang menjadi perhatian Mohler tersebut, persentase orang yang mengaku Kristen menurun 10 persen sejak 1990, dari 86 menjadi 76 persen. Populasi Yahudi di angka 1,2 persen, dan Muslim 0,6 persen. Sebuah jajak pendapat terpisah yang digelar Pew Forum, seolah mengulang temuan ARIS. Persentase orang yang mengaku tidak terikat agama dan keyakinan tertentu naik dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir, menjadi 16 persen. Sebelumnya, hanya 5 persen tahun 1982, dan 12 persen di tahun 2008. Dan kini 16 persen pada 2009. Sementara itu, jumlah orang-orang yang mengaku sebagai penganut ateis atau agnostik meningkat empat kali lipat dari 1990-2009; dari sekitar 1 juta orang menjadi 3,6 juta orang.

Berdasarkan jajak pendapat yang digelar sendiri oleh Newsweek, hanya sedikit orang yang menganggap AS adalah “bangsa Kristen”, dibandingkan saat George W Bush menjadi presiden –62 persen di 2009 dan 69 persen di 2008. Dua pertiga warga AS (68 persen) mengatakan agama telah “kehilangan pengaruhnya” dalam sejarah AS. Hanya 19 persen yang menyatakan pengaruh agama (Kristen) tengah meningkat. Proporsi penduduk AS yang menganggap agama “dapat menjawab semua problematika kehidupan” kini berada di titik terendah dalam sejarah, kurang dari 48 persen. Bandingkan dengan saat Bush dan Clinton menjadi presiden. Angka tersebut tidak pernah melorot di bawah 58 persen. Sebagian besar kaum Kristen konservatif percaya bahwa mereka kalah perang dalam isu-isu seperti aborsi, pendidikan sekolah bahkan perkawinan sesama jenis. Itulah kenapa kini AS disebut tengah memasuki fase post-Kristen.

Post-Kristen memiliki beragam makna di waktu yang berbeda. Tahun 1886, majalah bulanan Atlantic Monthly mendeskripsikan orang seperti George Eliot sebagai sosok post-Kristen. Lebih luasnya, post-Kristen dikategorikan sebagai periode waktu yang mengiringi keruntuhan Kristen dalam sebuah wilayah atau masyarakat. Istilah ini dipopulerkan selama periode –yang disebut para sarjana– gerakan “kematian Tuhan” pada pertengahan 1960-an. Dan gerakan ini masih terus berlangsung hingga kini.

Namun, yang paling mengganggu Mohler adalah, istilah post-Kristen yang kini terjadi benar-benar berbeda. Ia menawarkan spiritualitas, namun tak terikat otoritas. “Itu berdasarkan pada pemahaman sejarah yang menganggap masa lalu kurang toleran dan masa kini lebih toleran, dan masa kini adalah sebuah langkah transisi,” kata Mohler.

Kaum Evangelis Kristen sejak lama percaya bahwa AS harus menjadi sebuah bangsa yang kehidupan politiknya berdasarkan dan diatur oleh interpretasi mereka terhadap Bibel dan prinsip-prinsip teologi. Jika gereja percaya bahwa mabuk itu adalah dosa, misalnya, maka undang-undang harus melarang konsumsi alkohol. Jika gereja percaya bahwa teori evolusi bertentangan dengan Alkitab, maka sekolah-sekolah umum harus menyesuaikan pelajaran. Jika gereja percaya bahwa aborsi itu melanggar hukum maka para legislator dan hakim-hakim harus mengikuti aturan tersebut. Namun, semua itu tidak terjadi di AS. Apa yang diatur Bibel terang-terangan dilanggar oleh pengikutnya sendiri.

Walau demikian, memudarnya pamor Kristen di AS mendapatkan banyak pendukung dan penggemar. Mereka berpandangan bahwa AS bukanlah negara berdasarkan agama (Kristen), walau secara eksplisit termaktub dalam Deklarasi Kemerdekaan mereka. Kolumnis Cal Thomas adalah tokoh awal yang melihat gerakan Kristen Amerika sebagai kecacatan parah dalam istilah teologis. “Tak ada negara yang bisa benar-benar “Kristen”, kata Thomas. “Hanya orang yang bisa. Tuhan ada di atas semua bangsa. Nyatanya, Nabi Isa berkata bahwa semua bangsa baginya adalah setetes air dan tidak memiliki apa-apa.”

Seperempat abad lampau, tiga sarjana yang juga penginjil Kristen –Mark A Noll, Nathan O Hatch dan George M Marsden– menerbitkan buku penting namun tidak terkenal berjudul Pencarian Kristen Amerika. Dalam buku itu mereka mengatakan, klaim-klaim kekristenan telah melampaui kondisi politik. Orang Kristen, tulisnya, “Tidak perlu berilusi tentang sifat pemerintahan manusia. Secara pasti mereka berada pada apa yang disebut oleh Augustine, “kota dunia”, dimana kepentingan individu berkuasa…”

Kristen di Eropa Juga Redup
Empat tahun lalu, Eropa sempat digemparkan oleh merosotnya jumlah kaum Kristen di tempat kelahirannya sendiri. Saat hal itu terjadi, kekhawatiran melanda para tokoh gereja, bahwa suatu saat AS akan mengalami hal yang serupa. Dan kini, 2009, negeri Paman Sam itu mewujudkan kekhawatiran tersebut.

Tahun 2005, koran AS, USA Today, menurunkan artikel tentang menurunnya pengikut Kristus di Eropa dan berkembangnya sekularisme. Meningkatnya sekularisasi di Eropa terjadi karena pengaruh sosial, politik dan moral yang mengakibatkan para pengikutnya kehilangan iman. Menurunnya populasi Kristen di Eropa dalam dua dekade terakhir dianggap sebagai kejadian luar biasa. Eropa yang merupakan tempat kelahiran peradaban Kristen, kini lebih berpaling ke sekularisme dan memudarkan tradisi-tradisi Kristen.

Selama lebih kurang setengah abad, para peneliti telah mengamati perubahan besar dalam budaya Barat. Meningkatnya bentuk-bentuk sekularisme pada peradaban Eropa telah menemukan pembuktian. “Saya tidak pernah ke gereja, dan saya tidak tahu ada orang yang pergi,” kata Brian Kelly, salah seorang mahasiswa di Dublin, Irlandia. “Padahal lima tahun, saya tidak tahu ada orang yang tidak pergi ke gereja,” imbuhnya.

Statistik menunjukkan, sekularisasi Eropa saat ini tak terbantahkan. Irlandia yang merupakan negara sekuler terakhir di Eropa Barat, menunjukkan penurunan jemaat gereja yang sangat drastis dalam tiga dekade terakhir. Hanya 25 persen dari total pemeluk Kristen. Padahal negeri yang termasuk dalam wilayah Inggris Raya ini didominasi oleh penganut Katholik Roma.

Di kalangan Protestan juga demikian, tidak menunjukkan gambaran yang lebih baik. Swiss, Jerman dan Belanda, kini menjadi contoh utama bentuk sekuler Eropa. Di benua Eropa, hanya Islam satu-satunya agama yang mengalami peningkatan jumlah pemeluk. Sejak tahun 2004, populasi penduduk Muslim di Inggris bertambah sebesar 500,000 hingga 2,4 juta orang. Angka pertumbuhan itu 10 kali lipat lebih pesat dibanding pemeluk agama lainnya. Pada periode yang sama, jumlah penduduk Kristen di Negeri Ratu Elizabeth II tersebut menurun hingga 2 juta orang lebih. (Baca: Sabili Edisi 18-XVI). Demikian pula yang terjadi di Perancis, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya.

Berdasarkan data pusat studi Kristen global di Gordon-Conwell Theological Seminary Boston, merosotnya pengaruh Kristen tampak nyata di Perancis, Swedia dan Belanda dimana pengunjung gereja kurang dari 10 persen di pelbagai tempat. Kenapa hal ini terjadi? Menurut Ronald Inglehart, Direktur World Values Survey di Swedia, kekristenan telah menjadi sebuah kenyamanan bagi masyarakat hanya pada saat-saat krisis. “Dalam kebanyakan sejarah, orang-orang telah berada pada garis batas kelangsungan hidup. Hal itu berubah secara dramatis. Kelangsungan hidup adalah kemestian pada hampir semua orang (di Barat). Inilah satu di antara sekian alasan yang menyebabkan kepemelukan agama mengikis,” jelasnya.

Dengan kata lain, Inglehart percaya bahwa agama mengisi sebuah fungsi sosial. Ketika fungsi sosial tersebut tidak dibutuhkan lagi, keseluruhan struktur kepercayaan Kristen menjadi tidak penting. Bentuk reduksionisme ini menjadi gejala umum dalam ilmu-ilmu sosial, dimana keyakinan agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang fungsional ketimbang kategori-kategori teologis. Sekularisasi yang menekankan teologi liberalisme dan meningkatkan teknologi masyarakat dan kultur individualisme, merupakan faktor-faktor utama di balik keruntuhan hegemoni Kristen di dunia.

Awal abad 20, mayoritas warganegara Eropa mengaku sebagai pemeluk Kristen, kini hanya tinggal 75 persen. Di Swedia, menurut data pemerintah, 85 persen penduduk negeri itu menjadi jemaat gereja, namun hanya 11 persen wanita dan 7 persen pria yang hadir di gereja.

Anehnya, runtuhnya kepercayaan Kristen dan besarnya transformasi gaya hidup Eropa dan ekspektasi moral sejalan seiring. Sebagai sebuah fakta, sulit untuk menentukan bagaimana trend-trend ini bisa beriringan dengan proses sekularisasi. Begitu keyakinan Kristen menurun, moralitas Kristen memberi jalan bagi etos moral individualisme, kebebasan seks, dan mengikisnya komitmen pernikahan, anak-anak dan keluarga.

Runtuhnya kekristenan Eropa mengundang tanya akan masa depan Kristen di AS. Dalam banyak hal, AS akan mengikuti trend tersebut. Dan prediksi itu kini telah terbukti. Nampaknya, ajaran Kristen kian tidak laku di dunia. Saatnya, Islam bangkit dan kembali meraih kejayaannya yang telah lama hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar