Kamis, 07 Mei 2009
Sejarah Penanggalan Islam
Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender hijriah bergantung pada posisi bulan, bumi, dan matahari.
Hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenal sistem kalender masehi (M). Bahkan, ketika diminta untuk menyebutkan nama-nama bulan masehi, mereka dengan mudah mengucapkannya.
Sebaliknya, ketika dimintai pendapatnya tentang kalender Islam atau hijriyah, kebanyakan mereka akan menggelengkan kepala, tanda tak tahu. Sungguh, itu sangat memprihatinkan sebab mereka tidak mengetahui kalendernya sendiri. Bahkan, mereka tak tahu bulan apa yang pertama dari kalender hijriyah.
''Ini disebabkan minimnya sosialisasi keberadaan kalender hijriyah pada umat Islam,'' jelas dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, Muhammad Izzudin MAg, kepada Republika.
Izzuddin menjelaskan, sistem penanggalan Islam dimulai pada saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah. Perpindahan (hijrahnya) Rasulullah ini, kata dia, menunjukkan adanya tujuan dalam menggapai kedamaian bagi umat Islam. ''Meninggalkan keburukan menuju kebaikan,'' tegasnya.
Seperti diketahui, peristiwa hijrah Rasulullah itu terjadi pada hari Kamis, bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Mulai tahun itulah dihitung sebagai tahun hijriyah. Berbeda dengan tahun masehi yang dimulai pada 1 Januari, sistem penanggalan Islam diawali pada 1 Muharram. Dan, dalam setahun, sama-sama berisi 12 bulan.
Kendati penerapan kalender hijriyah merujuk pada tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, penanggalan tersebut resmi digunakan setelah 17 tahun kemudian saat sistem pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Penetapan awal tahun hijriyah yang dilakukan Khalifah Umar ini merupakan upaya dalam merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa pemerintahannya. Kadang, sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem penanggalan yang lain sehingga sering menimbulkan persoalan dalam kehidupan umat.
Bila menilik sejarahnya, sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah menggunakan kalender tersendiri. Mereka belum menetapkan tahun, namun sudah mengenal nama-nama bulan dan hari. Kalaupun harus menggunakan tahun, itu hanya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi, seperti Tahun Gajah yang dinisbatkan pada masa penyerbuan Abrahah ketika akan menghancurkan Ka'bah.
Karena kesulitan dalam menetapkan tahun tersebut dan seiring dengan makin banyaknya persoalan yang ada terkait dengan sistem kalender yang baku, Khalifah Umar pun berinisiatif menetapkan awal hijrah sebagai permulaan tahun masehi setelah melakukan musyawarah dengan sejumlah sahabat.
Dari sini, disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam. Sedangkan, nama-nama bulan tetap digunakan sebagaimana sebelumnya, yakni diawali pada bulan Muharram dan diakhiri pada bulan Dzulhijjah.
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun tentunya mempunyai makna yang amat dalam bagi umat Islam.
Peritiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, kata Izzudin, merupakan peristiwa besar dalam sejarah awal perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang dilakukan nabi dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama dalam masa awal perkembangannya. Peristiwa hijrah ini juga melatarbelakangi pendirian kota Muslim pertama.
Tahun baru dalam Islam mengingatkan umat Islam pada kemenangan atau kejayaan Islam serta pengorbanan dan perjuangan tanpa akhir di dunia ini.
Rotasi bulan
Bila tahun masehi terdapat sekitar 365-366 hari dalam setahun, tahun hijriyah hanya berjumlah sekitar 354-355 hari. Menurut Izzudin, perbedaan ini disebabkan adanya konsistensi penghitungan hari dalam kalender hijriyah.
''Rata-rata, jumlah hari dalam tahun hijriyah antara 29-30 hari. Sedangkan, tahun masehi berjumlah 28-31 hari. Inilah yang membedakan jumlah hari antara tahun masehi dan tahun hijriyah,'' jelas anggota Badan Hisab dan Rukyah PWNU Jawa Tengah ini.
Pada sistem kalender hijriyah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut. Kalender hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan yang memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan hitungan satu tahun kalender hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan penghitungan satu tahun dalam kalender masehi.
Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender hijriyah bergantung pada posisi bulan, bumi, dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi; kemudian pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion).
Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). Dari sini, terlihat bahwa usia bulan tidak tetap, melainkan berubah-ubah (antara 29 hingga 30 hari) sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (bulan, bumi, dan matahari).
Penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari sehingga posisi hilal berada di ufuk barat.
Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal. sya/dia/berbagai sumber
Percampuran Islam-Jawa dalam Penanggalan Hijriyah
Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari pusat penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu adalah sistem penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), yang dikenal dengan penanggalan hijriyah. Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri sudah punya sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan saka.
Ada beberapa perbedaan antara kalender saka dengan kalender hijriyah, seperti perbedaan nama-nama bulan dan penetapan permulaan hari. Namun kemudian, terjadi percampuran kedua kalender--kalender Jawa-Islam--yang masih digunakan hingga saat ini. Percampuran ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah telah terjadi Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa?
Lalu, jika memang telah terjadi percampuran, bagaimana proses itu berjalan sehingga tidak menimbulkan penolakan terhadap ajaran Islam yang ketika itu masih relatif baru? Tema perbincangan seputar percampuran Jawa-Islam ini sangat menarik. Karena, di satu sisi, itu menunjukkan sikap terbuka masyarakat Jawa. Di sisi lain, hal itu membuktikan Islam sebagai agama rahmatan li al-alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Menurut sejarah, munculnya kalender Jawa-Islam tidak lepas dari peran Sultan Agung (1613-1645), sultan Mataram Islam ketiga yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah. Beliau mengakulturasikan (menggabungkan) penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Menurut Prof Dr MC Ricklefs, dalam artikelnya "Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad ke XIX", upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M.
Ricklefs mengisahkan, pada tahun 1633 M, Sultan Agung berziarah ke pesarean (kuburan) Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di pesarean Tembayat diperintahkan untuk mengganti kalender Jawa. Sebelum itu, kalender saka (yang berasal dari kebudayaan Hindu) adalah kalender yang masih dipakai dalam lingkungan keraton. Kemudian, kalender itu diganti dengan kalender qamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka, terciptalah kalender baru yang unik, yaitu kalender Jawa-Islam.
Bulan-bulan dalam kalender Jawa-Islam adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar. Ada bulan yang masih menggunakan istilah Arab, yaitu Jumadilawal dan Jumadilakir. Warna Jawa pada kalender Jawa-Islam lebih kentara pada lima hari pasar atau Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi).
Menurut Dr Purwadi, peneliti budaya Jawa asal Yogyakarta, lima hari pasar sangat penting bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Jawa, terutama bagi mereka yang hidup di pedesaan atau yang masih memegang kepercayaan tradisional. ''Coba, kita lihat bagaimana masyarakat Jawa mendasarkan aktivitasnya pada lima hari pasar itu. Kalau mau bepergian, mereka terlebih dahulu menghitung hari baik, apakah Pon, Wage, Kliwon, atau hari lainnya,'' ungkapnya kepada Republika.
Menurut Purwadi, dari kalangan umat Islam sendiri, umat nahdliyin adalah umat yang masih kuat menggunakan penanggalan Jawa-Islam. ''Pada papan pengumuman di masjid-masjid NU, biasanya terdapat jadwal khatib Jumat berdasarkan hari-hari pasaran. Misalnya, pada Jumat Pon yang khatib adalah kiai A, Jumat Wage kiai B, Jumat Kliwon kiai C dan seterusnya,'' lanjutnya.
Lima hari pasar, jelasnya, juga sangat penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat Jawa sehingga seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi pada hari tertentu dan tidak melakukannya pada hari lain. Hal itu tercermin pada nama-nama pasar di daerah-daerah Jawa. Ada Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Wage. Ini berbeda dengan masyarakat Melayu yang menamakan pasar dengan nama-nama hari biasa, seperti Pasar Jumat, Pasar Rabu, atau Pasar Minggu.
Menurut Purwadi, sistem penanggalan Jawa-Islam akan tetap dipakai oleh umat Islam Jawa karena di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis. Teknologi informasi saat ini malah semakin menguatkan fungsi klasifikasi Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih banyak iklan tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya.
Fenomena ini diakui Purwadi sebagai desakralisasi sistem Pancawara. Di sisi lain, itu menunjukkan kepercayaan masyarakat pada hal-hal mistis tetap kuat. rid/berbagai sumber
Sistem Penanggalan yang Digunakan di Dunia
Masyarakat dunia mengenal beberapa macam sistem penanggalan dan kalender. Sedikitnya, ada empat sistem penanggalan, yaitu kalender hijriyah, masehi, saka, dan Cina. Masing-masing kalender tersebut dibangun dengan menggunakan mekanisme penghitungan yang berbeda satu sama lain.
Kalender hijriyah atau kalender Islam, misalnya, menggunakan sistem kalender lunar (qomariyah) yang mengacu kepada siklus perputaran bulan. Kalender masehi menggunakan basis penghitungan kalender solar (syamsiyah) yang mengacu kepada siklus peredaran matahari.
Sementara itu, kalender saka dan kalender Cina menggunakan sistem penanggalan syamsiyah dan qomariyah atau sering disebut dengan istilah kalender luni-solar.
Penanggalan hijriyah
Dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah atau hari-hari penting lainnya, umat Islam berpatokan pada sistem penanggalan hijriyah. Bahkan, di banyak negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender hijriyah digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.
Kalender ini dinamakan kalender hijriyah karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi (M). Namun, penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah baru dilakukan enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atau 17 tahun setelah hijrah, yakni semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Namun demikian, sistem yang mendasari penghitungan kalender hijriyah telah ada sejak zaman pra-Islam. Sistem ini direvisi pada tahun ke-9 setelah hijrahnya Nabi SAW. Revisi sistem ini dilakukan setelah turunnya wahyu Allah, ayat 36-37 surah Attaubah, yang melarang penambahan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.
Kalender masehi
Kata 'masehi' (disingkat M) dan sebelum masehi (disingkat SM) biasanya merujuk kepada tarikh atau tahun menurut kalender gregorian. Awal tahun masehi merujuk pada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa al-Masih. Karena itu, kalender ini dinamakan masihiyah. Sebaliknya, istilah sebelum masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut.
Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sementara itu, penggunaan istilah masehi secara internasional dalam bahasa Inggris menggunakan bahasa Latin, yaitu anno domini (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan sebelum masehi disebut sebagai before Christ (BC) yang bermakna Sebelum Kristus.
Selain itu, dalam bahasa Inggris juga dikenal sebutan common era (CE) yang berarti 'Era Umum' dan before common era (BCE) yang bermakna 'Sebelum Era Umum.' Kedua istilah ini biasanya digunakan ketika ada penulis yang tidak ingin menggunakan nama tahun Kristen.
Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat pada abad ke-8. Sistem ini mulai dirancang tahun 525. Namun, pada abad ke-11 hingga ke-14, sistem ini tidak begitu luas digunakan. Tahun 1422, Portugis menjadi negara Eropa terakhir yang menerapkan sistem penanggalan ini. Setelah itu, seluruh negara di dunia mengakui dan menggunakan konvensi ini untuk mempermudah komunikasi.
Meskipun tahun 1 M dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, bukti-bukti historis terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM.
Sejarawan tidak mengenal tahun 0-1 M adalah tahun pertama sistem masehi dan tepat setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun sebelum masehi dihitung dengan menggunakan angka 0. Maka dari itu, terdapat selisih satu tahun di antara kedua sistem.
Tahun saka
Kalender saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender luni solar. Tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di India, kalender saka juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali, Indonesia, terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Sistem penanggalan saka sering juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana. Sebutan ini mengacu kepada nama seorang ternama dari India bagian selatan, Saliwahana, yang berhasil mengalahkan kaum Saka. Tetapi, sumber lain menyebutkan bahwa justru kaum Saka di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret tahun 78 M.
Sejak tahun 78 M itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tahun masehi. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.
Mengenai kaum Saka, ada yang menyebut bahwa mereka termasuk suku bangsa Turki atau Tatar. Namun, ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari suku Scythia. Sumber lain lagi menyebutkan bahwa mereka sebenarnya orang Yunani (dalam bahasa Sansekerta disebut Yavana) yang berkuasa di Baktria (sekarang Afghanistan).
Kalender Cina
Seperti halnya kalender saka, kalendar Cina juga menggunakan sistem penanggalan luni solar. Menurut legenda, kalendar Cina berkembang sejak tahun ketiga sebelum masehi. Para ahli menyepakati bahwa kalendar Cina sebagai patokan penanggalan yang paling lama digunakan di dunia. Kalendar ini adalah ciptaan pemerintah Huang Di atau Maharaja Kuning yang memerintah sekitar 2698-2599 SM.
Bukti arkeologi terawal mengenai kalendar Cina ditemukan pada selembar naskah kuno yang diyakini berasal dari tahun kedua sebelum masehi atau pada masa Dinasti Shang berkuasa. Pada masanya, dipaparkan tahun luni solar yang lazimnya 12 bulan, namun kadang-kadang ada pula bulan ke-13, bahkan bulan ke-14. Penambahan bilangan bulan dalam tahun kalendar memastikan peristiwa tahun baru tetap dilangsungkan dalam satu musim saja, sebagaimana kalender masehi meletakkan satu hari tambahan pada bulan Februari setiap empat tahun.
Di negara Cina sekarang, kalendar Cina hanya digunakan untuk menandai perayaan orang Cina, seperti Tahun Baru Cina, perayaan Duan Wu, dan Perayaan Kuih Bulan. Begitu juga dalam bidang astrologi, seperti memilih tahun yang sesuai untuk melangsungkan perkawinan atau meresmikan pembukaan bangunan baru. Sementara itu, untuk kegiatan harian, masyarakat Cina mengacu kepada hitungan kalender masehi. dia/taq/berbagai sumber
By Republika Newsroom
Selasa, 05 Mei 2009 pukul 10:07:00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar