Jumat, 08 Mei 2009

Teknologi Pangan Rahasia Dunia Islam Mengolah Hasil Pertanian




Revolusi hijau yang bergulir sejak abad ke-8 M membuat peradaban Islam menggenggam swasembada pangan. Beragam jenis tanaman yang dikembangkan pada masa itu berhasil diolah menjadi aneka sumber pangan. Dunia Islam di masa kekhalifahan tercatat telah menguasai teknologi pangan yang lebih maju dari peradaban lain, bahkan dengan Barat sekalipun.

Asupan makanan bergizi merupakan salah satu faktor penting yang menopang kekuatan dan kejayaan dunia Islam. Aneka sumber bahan makanan pokok yang telah dikembangkan peradaban Islam itu, antara lain tepung dan roti, gula, serta minyak sayur. Dalam perkembangannya, bahan makanan pokok itu dikembangkan menjadi seni kuliner. Pada zaman Islam, seni kuliner menempati posisi yang terbilang sangat penting.

Tepung dan Roti
Gandum tercatat sebagai bahan pangan utama yang dikembangkan negeri-negeri Islam di era kekhalifahan. Tepung gandum dikembangkan sebagai bahan dasar dalam pembuatan tepung dan roti. Memasuki abad ke-10 M, kota-kota Islam menjelma menjadi metropolitan pada masanya. Teknologi pangan pun berkembang semakin pesat, salah satunya adalah penggilingan tepung yang digerakkan kincir air.

"Di Baghdad saja, ada satu penggilingan yang dilaporkan mempunyai 100 pasang batu giling dengan hasil per tahun mencapai 100 juta dirham (30 ribu ton). Kincir angin juga digunakan di tempat-tempat yang berangin cukup keras, seperti di Sistan, dan ada pula kincir yang digerakkan oleh binatang," ungkap Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology: An Illustrated History.

Menurut Al-Hassan, dunia Islam sudah mampu menghasilkan semua jenis tepung, termasuk tepung putih dan tepung semolina. Pencapaian di bidang teknologi pangan itu membuktikan bahwa peradaban Islam telah memiliki teknis yang rinci untuk setiap bagian dalam sebuah instalasi penggilingan serta produk-produknya.

Pencapaian Islam dalam teknologi pangan jauh berbeda bila dibandingkan masyarakat Eropa Utara. Ketika masyarakat Islam telah menyantap aneka jenis penganan yang terbuat dari beragam jenis tepung, orang Eropa Utara terkaya sekalipun hanya bisa menyantap roti dari gandum hitam. ''Mereka baru bisa mengonsumsi roti terigu setelah abad pertengahan berakhir,'' tutur Al-Hassan.

Umat Islam di era kekhalifahan telah mampu membuat aneka ragam jenis roti. Berdasarkan catatan sebuah risalah berbahasa Arab, umat Muslim telah mampu mencipatan sekitar 12 jenis roti. Yang paling lazim, kata Al-Hassan, adalah roti berbentuk pipih dan dibuat dari tepung gandum.

Cara paling sederhana untuk membuat roti pada masa itu dengan meletakkan piringan baja cembung di atas tungku dari batu. Setelah itu, adonan didatarkan hingga tipis, kemudian ditaruh di atas pelat panas dan dibakar selama kurang lebih tiga menit. Roti seperti itu disebut Khubz-il Saj atau "Roti Saj". Roti jenis itu sangat populer di Suriah dan Palestina.

''Roti juga terkadang dibakar dalam oven,'' ungkap Hill. Orang Palestina bisanya menggunakan oven bernama tabun. "Tabun digunakan orang-orang desa. Oven kecil ini (tannur) diletakkan di bawah tanah dan lantai yang ditaburi batu kerikil. Di bawah dan sekitar oven dibakar kotoran hewan. Ketika sudah memerah panas, papan roti diletakkan di atas batu kerikil itu," tutur geografer Muslim, Al-Muqadassi, dalam catatan perjalanannya.

Di kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Pada masa itu, orang-orang di Spanyol Islam dan Maroko, papar Al-Hassan, membawa adonan roti yang dibawa dari rumah ke toko-toko untuk dibakar. ''Hanya para pelancong atau orang-orang miskin tak punya rumah yang membeli roti di pasar,'' ungkap Al-Hassan.

Pembakar roti profesional sudah menggunakan oven besar yang disebut furn. Tukang bakar roti disebut farran atau khabbaz. Tukang roti diawasi seorang muhtasib. Rancangan oven pemanggang roti pun beraneka macam jenisnya.

Padi
Padi merupakan bahan pokok kedua. Sumber pangan yang satu ini digunakan sebagai makanan tanpa olahan atau bahan pembuatan roti beras. Padi merupakan salah satu tanaman yang pertama kali dikembangkan pada masa Revolusi Pertanian Muslim--ketika harga roti gandum masih tinggi. ''Kehadiran roti beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di beberapa daerah,'' ungkap Al-Hassan.

Pada masa itu, pengulitan padi dilakukan dengan cara menumbuk. Untuk menumbuk digunakan alu yang dipasang tegak lurus di ujung sebuah batang yang dipasak dan diberi beban penyeimbang sehingga dapat digerakkan dengan kaki. Nah, dari situlah berkembang alat penggilingan padi, yang pada dasarnya merupakan palu yang digerakkan tenaga air. Hingga kini, alat penumbuk padi seperti itu masih digunakan, terutama di daerah Iran.

Gula Tebu
Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling tersohor kala itu. Penanaman tebu diperkenalkan ke Persia segera setelah Islam menaklukkan wilayah itu. Sejak itu, perkebunan tebu dan industri gula menyebar ke selurh daerah Islam di Laut Tengah. Gula pun kemudian menjadi bahan makanan dan obat-obatan di seluruh dunia Muslim. Gul adalah satu-satunya bahan makanan yang membuatnya membutuhkan proses kimia.

Industri gula mulai berkembang pesat seiring dibangunnya penyulingan gula oleh para sarjana Muslim. Menurut catatan sejarah, pabrik penyulingan gula sudah mulai berkembang di Pakistan, Afghanistan, dan Iran sejak abad ke-9 M. Pabrik penyulingan gula pertama dalam peradaban Islam itu digerakkan energi yang berasal dari kincir air dan kincir angin.

Minyak Sayur
Minyak sayur selalu menjadi bagian penting dalam masakan orang Islam. Peradaban Islam mampu mengolah dan membuat aneka jenis minyak, seperti minyak zaitun, minyak wijen, biji kapas, bunga madat, dan bahan-bahan sejenis. Bahkan, ada pula jenis minyak biji rami dan minyak daun jarak (kastroli) untuk keperluan industri.

Di antara semua jenis minyak itu, yang paling berharga adalah minyak zaitun. Itulah mengapa pohon zaitun sangat dihargai dalam kebudayaan Islam, bahkan Alquran sekalipun. Itu karena pohon ini memiliki umur panjang dan nilai buahnya sangat tinggi. Pohon ini banyak ditemukan di negeri-negeri Laut Tengah dan wilayah Islam. Suriah serta Tunisia dikenal sebagai produsen minyak zaitun.

Geografer Muslim, Al-Muqadassi, menyebutkan, Suriah merupakan produsen minyak zaitun yang paling tersohor, bahkan hingga diekspor ke Mesir. "Di Banunash terdapat tak kurang 360 tempat pemerasan biji zaitun," ujarnya. Sedangkan, wijen merupakan tanaman musim panas dan minyak shiraj atau sijih. Penggunaan minyak ini menyebar luas di tempat-tempat yang tidak memproduksi minyak zaitun.


Peradaban Islam Perintis Restoran

Sejak kapan peradaban manusia mengenal restoran? Geografer Muslim, Al-Muqaddasi, menyatakan, pertama kali restoran atau rumah makan muncul di dunia Islam pada abad ke-10 M. Penjelajah Muslim kelahiran Yerussalem itu mengungkapkan, pada masa itu telah muncul restoran yang menyediakan aneka jenis hidangan.

'' Di restoran seseorang dapat membeli semua jenis hidangan yang telah disediakan," ungkap Al-Muqaddasi. Restoran yang tersebar di Spanyol Islam menawarkan tiga menu hidangan utama. Yakni sup, menu utama, dan pencuci mulut. Restoran kemudian berkembang di peradaban Cina mulai abad ke-11 M.

Lalu kapan peradaban Barat mulai mengenal restoran? Jawabannya adalah pada abad ke-19. Restoran pertama di dunia Barat muncul di Prancis. Umat Islam telah berhasil membuat aneka resep hidangan dan masakan. Di era keemasan, terdapat sederet buku tentang masak-memasak. Beberapa buku kuliner yang dihasilkan para koki Muslim itu antara lain; Kanz al-fawa’id fi tanwi’ al-maw’id yang ditulis seorang koki tak dikenal dari Mesir dan Fadhalat al-khiwan fi atayyibat at-ta’am wa-’l-’alwan yang ditulis Ibnu Razin Attujibi pada abad ke-12 di Spanyol.

Selain itu, ada pula Kitab At-tabikh fi al-Maghrib wa-’l-Andalus yang disusun seorang koki tak dikenal di Maroko pada abad ke-12 M; Kitab At-tabikh yang ditulis Mohammed al-Baghdadi pada abad ke-13 M di Irak; Kitab At-Tabikh, ditulis Ibn Sayyar al-Warraq pada abad ke-13 M di Irak; Tadhkira, ditulis Dawad al-Antaki pada abad ke-13 M di Suriah; dan Wasla ‘l-habib fi wasf al-tayyibat wa-t-tibb, ditulis Ibnu A’dim pada abad ke-13 M di Suriah.

Awalnya, resep-resep itu hanya beredar di kalangan istana. Setelah itu, barulah masyarakat biasa bisa meracik hidangan sesuai resep yang dibuat para koki andal itu. Saat itu, ilmu gizi telah dikembangkan sebagai salah satu bentuk pengobatan. Penguasa Muslim di era itu sudah memperkenalkan pentingnya menjaga kesehatan tubuh.

Di abad ke-13 M, buku-buku gizi beserta resep-resep masakan yang disusun para dokter Muslim menarik perhatian para penguasa, tak terkecuali gereja di Barat pun ikut kepincut untuk mempelajarinya. Minat untuk mempelajari ilmu gizi beserta resep-resep makanan dan hidangannya semakin berkembang pesat ketika Ferrara, Salerno, Montpellier, dan Paris, menjadi pusat untuk mempelajari ilmu kedokteran Islam.

Salad dan sup juga merupakan hidangan yang diracik dan disarankan dokter Muslim, seperi Al-Razi dan Ibnu Zohr. Selain itu, pasta juga ternyata warisan kuliner Islam. Petualang Muslim pada abad ke-11 M bernama Al-Bakri menuliskannya dalam catatan perjalanannya. Pada abad itu, wanita-wanita Muslim sudah membuat pasta untuk jamuan makan. Begitulah peradaban Islam mengembangkan aneka hasil pertanian.

By Republika Newsroom
Selasa, 31 Maret 2009 pukul 14:40:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar