Jumat, 08 Mei 2009

Tibet Jejak Islam di Himalaya


Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakuan istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah.

Tibet bergolak. Kerusuhan dan kekerasan tengah melanda salah satu provinsi di Republik Rakyat Cina (RRC) itu. Meski Islam hanyalah agama minoritas di wilayah pegunungan Himalaya itu, secara historis bangsa Tibet dan Islam ternyata memiliki hubungan yang erat. Sejak abad ke-8 M, umat Islam telah menjalin hubungan politik, perdagangan dan kebudayaan dengan Tibet.

Tak heran, bila nama Tibet kerap disebut para sejarawan Islam di era kekhalifahan. Sejarawan Yaqut Hamawi, Ibnu Khaldun, dan Tabari menyebutnyebut nama Tibet dalam tulisannya. Bahkan, Yaqut Hamawi dalam bukunya bertajuk Muajumal Buldan (Ensiklopedia Negara-negara) menyebut Tibet dengan tiga sebutan yakni, Tabbat, Tibet, dan Tubbet.

Ajaran Islam mulai bersemi di Tibet pada era kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz I (717 M - 720 M) dari Dinasti Umayyah. Umar mengirimkan utusannya ke pegunungan Himalaya setelah mendapat permintaan dari delegasi Tibet dan Cina untuk menyebarkan Islam di negeri itu. Khalifah pun lalu mengirimkan Salah bin Abdullah Hanafi ke Tibet.

Itulah awal mula ajaran Islam berkembang di Tibet. Ketika Dinasti Umayyah digulingkan Abbasiyah, para penguasa Baghdad tetap menjalin hubungan dengan Tibet. Orang Muslim di Tibet mendapat julukan ‘Khachee’ yang berarti orang Kashmir. Masyarakat Tibet menyebut bangsa Kashmir dengan panggilan ‘Kachee Yul’.

Kachee alias orang Muslim merupakan kelompok minoritas di Tibet yang didominasi pengikut Budha. Meski Kachee bukanlah orang Tibet asli, ternyata mereka lebih diakui sebagai bagian dari masyarakat Tibet, ketimbang Muslim Hui yang berasal dari Cina yang biasa disebut Kyangsha. Muslim Tibet tersebar di seluruh negeri Tibet.

Sebagian besar Muslim Tibet menetap di ibu kota Lhasa dan Shigatse — kota terbesar kedua di Tibet. Muslim Tibet boleh dibilang memiliki keunikan tersendiri. Sebagian besar dari penganut Islam berasal dari keturunan Kashmir, Persia, atau Arab melalui garis keturunan ayah. Darah Tibet mengalir melalui garis keturunan ibu. Maka tak heran, banyak dari mereka yang bernama depan Tibet namun nama keluarganya Persia.

Hal itu terjadi lantaran Tibet berbatasan dengan Kashmir dan Turkistan Timur. Konon, imigran Muslim dari Kashmir dan Ladakh pertama kali memasuki wilayah Tibet sekitar abad ke-12 M. Secara perlahan, pernikahan dan interaksi sosial antara imigran Muslim dengan masyarakat Tibet telah membuat populasi di sekitar kota Lhasa.

Meski begitu, tak terlalu banyak penduduk Tibet asli yang berpindah keyakinan ke agama Islam. Thomas Arnold dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam mengatakan, ”Ajaran Islam juga disebarkan ke Tibet oleh para saudagar dari Kashmir. Keberadaan mereka bisa ditemukan di seluruh kota terkemuka di Tibet.”

Para saudagar Muslim Kashmir itu banyak yang menikahi wanita Tibet. Para wanita itu kemudian memeluk agama suaminya. Kedatangan Islam di pegunungan Himalaya diikuti dengan pembangunan Masjid di beberapa wilayah Tibet. Di kota Lhasa berdiri empat masjid. Sedangkan, di Shigate berdiri dua masjid dan satu masjid lainnya dibangun di Tsethang.

Komunitas Muslim Tibet kebanyakan berkumpul di sekitar masjid yang mereka bangun. Masjid pun menjadi pusat kehidupan sosial Muslim Tibet. Tak heran, bila masjid-masjid yang ada Tibet dipelihara dengan baik. Ketika Tibet berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tibet, umat Islam bisa hidup dengan tenang dan damai.

Ketika Raja Tibet yang bergelar Dalai Lama ke-5 berkuasa, Muslim Tibet mendapat perlakukan Istimewa. Salah satunya, Muslim Tibet diizinkan menjalankan urusannya sesuai dengan syariah. Pemerintah juga mengizinkan komunitas Muslim untuk memilih lima anggota komisi yang dikenal sebagai ‘Ponj’ untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Selain itu, Muslim Tibet juga bebas untuk mendirikan perusahaan dan menjalankan usaha serta bisnisnya. Tak hanya itu, mereka juga dibebaskan dari pungutan pajak. Ketika umat Budha menjalani bulan suci, umat Islam tak dibatasi dari larangan memakan daging. Selain itu, Muslim Tibet juga diperbolehkan untuk memiliki areal pemakaman sendiri. Di kota Lhasa terdapat dua tempat pemakaman Muslim.

Sedangkan di Gyanda dan Kygasha masing-masing terdapat satu tempat pemakaman umum. Pemakaman itu kemudian dihiasi dengan taman. Sehingga komunitas Muslim bisa melakukan aktivitas rekreasi dan lainnya di taman itu. Di Gyanda diyakini terdapat makam tokoh Muslim pertama yang menyebarkan Islam di Tibet. Sedangkan, pemakaman Muslim Kygasha kebanyakan digunakan oleh Muslim yang berasal dari Cina.

Mayoritas penduduk Muslim Tibet bermata pencaharian sebagai pedagang dan pebisnis. Seiring bertambah besarnya komunitas Muslim, mereka lalu mendirikan madrasah atau sekolah dasar. Di madrasah itulah, anak-anak Muslim belajar tentang Islam seperti membaca Alquran serta shalat. Bahasa Urdu menjadi bagian dari kurikulum. Setidaknya ada dua madrasah di kota Lhasa dan satu di Shigatse.

Selepas menempuh pendidikan dasar di madrasah, para orangtua mengirimkan anaknya untuk menempuh pendidikan lebih tinggi ke India, seperti Darul Ulum di Deobanda, Nadwatul- Ulama di Lucknow, dan Jamia Millia Islamia di New Delhi. Pada masa itu, hambatan utama yang dihadapi warga Muslim Tibet untuk melanjutkan sekolah ke India adalah masalah transportasi.

Para siswa Muslim yang akan belajar ke India terpaksa harus ikut dengan rombongan para pedagang yang biasa melakukan perjalanan setahun sekali ke India. Masa-masa kedamaian dan kebebasan umat Islam Tibet beribadah dan menjalani kehidupan sosial akhirnya mulai terbatasi seiring dengan jatuhnya Tibet ke dalam kekuasaan Cina.

Tibet menjadi salah satu provinsi Tiongkok setelah Tentara Merah menyerbu wilayah itu pada 1950. Setahun kemudian, Cina berhasil menguasai ibu kota Lhasa dan mendongkel Dalai Lama dari kekuasaannya. Dalai Lama pun membentuk semacam pemerintahan di pengasingan.



Persahabatan Tibet - Islam

Ketika dunia Islam dipojokkan Barat, pemimpin Tibet, Dalai Lama yang beragama Budha tampil membela Islam. Dalam pertemuan puncak Antiteror di San Fransisco pada April 2006, secara tegas Dalai Lama menyatakan Islam telah diperlakukan secara tak adil.

‘’Bagi sejumlah orang, tradisi Islam saat ini tampak sebagai tradisi yang militan,’’ kata peraih Nobel Perdamaian pada 1989 ini. ‘’Saya merasa itu jelas-jelas salah. Islam, sebagaimana keyakinan yang lain, mempunyai pesan dan ajaran yang sama yakni mengajarkan kasing sayang.”

Dalai Lama mengatakan, saat ini yang kerap terdengar adalah terjadinya bom bunuh diri di sejumlah negara Muslim. Namun, dunia tidak pernah mendengar bagaimana umat Islam bekerja untuk kaum miskin. Dalai Lama mengingatkan, bom bunuh diri adalah sebuah kejahatan yang bisa terjadi di setiap agama.

‘’Orang-orang jahat tidak hanya ada dalam komunitas Muslim tetapi selalu ada dalam kehidupan agama lain, apakah itu Hindu, Budha, atau Kristen,’’ katanya. ‘’Saya sendiri menyebut diri saya sebagai orang yang penuh kasih sayang tetapi jika emosi saya tidak terkendali maka orang yang penuh kasing sayang itu bukan lagi menjadi orang yang penuh kasih sayang,’’ lanjut pemilik nama asli Tenzim Gyatso ini.

Dalam kesempatan itu, Dalai Lama menyeru semua pemuka agama untuk mempromosikan kehidupan yang penuh toleransi. Ia pun mengajak mereka bergandengan tangan dan menentukan sikap bersama untuk membela Islam. ‘’Dalam beberapa hal, saya adalah salah satu pembela tradisi Muslim,’’ tegas Dalai Lama. ‘


Yang Terusir dari Kampung Halaman

Sejak Cina menguasai Tibet, posisi umat Islam yang minoritas semakin terjepit. Tak cuma orang Muslim, umat Budha saja sebagai mayoritas mendapat tekanan dari pemerintahan Komunis Republik Rakyat Cina (RRC). Para penguasa Cina pun mendesak Muslim Tibet untuk menjual tanah dan bangunan yang mereka miliki.

Bila Muslim Tibet mau menjual lahan dan bangunannya, mereka diperbolehkan untuk berimigrasi ke luar negeri. Muslim Tibet tentu tak mau menyerahkan begitu saja harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari hasil kerjanya. Akibatnya, mereka terus ditekan dan diboikot dari kehidupan sosial.

Penguasa Cina melarang setiap orang untuk menjual makanan kepada Muslim Tibet yang tak mau menjual hartanya kepada penguasa. Akibat sanksi boikot itu, tak sedikit orang tua dan anak-anak Muslim Tibet mengalami kelaparan. Untunglah, pada 1959 Pemerintah India mengeluarkan pengumuman bahwa seluruh Muslim Tibet adalah warga negara India.

Formulir permohonan kewarganegaraan India pun dibagikan kepada Muslim Tibet. Sejak saat itu, Muslim Tibet berbondong-bondong hijrah ke kota perbatasan seperti Kalimpong, Darjeeling dan Gangtok. Mereka kemudian berangsur-angsur pindah ke Kashmir. Perhatian Dalai lama terhadap Muslim Tibet tetap ada, meski dia juga hidup dalam pengasingan.

Dalai Lama mengirimkan perwakilannya untuk melihat kondisi Muslim Tibet di India. Selama dua dasawarsa pertama hidup di pengasingan, Muslim Tibet mencoba untuk bangkit membangun kekuatannya. Lantaran tak memiliki figur pemimpin, Muslim Tibet pun akhirnya kesulitan untuk membangun kembali komunitasnya di pengasingan. Sadar pemukiman di pengasingan yang mereka tempat tak lagi layak untuk membangun keluarga, Muslim Tibet akhirnya memilih berimgrasi ke beberapa negara seperti, Arab Saudi, Turki, Nepal, dan belahan lain wilayah India untuk mencari penghidupan dan kesempatan yang lebih baik.

Mendengar rakyatnya yang beragama Muslim mengalami masalah di pengasingan, Dalai Lama dalam kunjungannya ke Srinagar pada tahun 1975 membahas masalah itu dengan petinggi di Jammu dan Kashmir. Dalai Lama mendorong Muslim Tibet di pengasingan membentuk Asosiasi Kesejahteraan Pengungsi Muslim.

Dana awal operasional asosiasi itu berasal dari bantuan Dalai Lama. Kemudian, asosiasi itu mendapat bantuan kucuran dana dari Tibet Fund di New York. Muslim Tibet pun lalu mendirikan pusat cenderamata dan kerajinan tangan, memiliki toko koperasi. Setelah itu, mereka lalu mendirikan sebuah sekolah. Anak-nak muda Muslim Tiber juga dilatih membuat karpet di Dharamsala.

Kini, tak ada yang tahu secara pasti jumlah Muslim Tibet yang bertahan dan tinggal di kampung halamannya. Menurut sebuah laporan, jumlah Muslim Tibet yang berada di dalam negeri mencapai 3.000 orang. Sedangkan, total Muslim Tibet yang memilih merantau di luar negeri mencapai 2.000 orang. Muslim Tibet benar-benar menderita sejak wilayah pegunungan Himalaya dikuasai Cina.

Republika Newsroom
Penulis : heri ruslan/hri, Selasa, 01 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar