Minggu, 14 Juni 2009
Bercermin Pada Satu Sama Lain
Pernahkah Anda merenungkan di mana rasa bahagia dapat Anda petik dalam kehidupan sehari-hari? Di manakah letaknya bahagia?
Sebagian orang berpendapat rasa bahagia ditemukan ketika kita mencapai apa yang dicita-citakan, didambakan dengan segenap harap. Tidak jarang juga belakangan kita merasa kebahagiaan yang datang dari terpenuhinya kenginan, agaknya cepat berubah menjadi kegelisahan lagi. Mengapa? Mungkin karena Sang Ego tidak pernah mengizinkan kita beristirahat lama dari demam ‘obsesi’.
Setiap hari kita seperti dibanjiri berbagai keinginan dan keharusan. Eksperimen sederhana: dalam waktu 10 detik, tuliskan berbagai keinginan yang ingin Anda capai, barang-barang yang sangat ingin Anda beli dan miliki, ambisi yang terasa harus Anda raih. Sekarang, berhenti sejenak, bernapas. Lalu luangkan waktu sepuluh detik saja untuk menjawab pertanyaan sederhana ini: “Apakah saya saat ini benar-benar menemukan kebahagiaan dalam hidup?”
Coba bandingkan proses dalam diri Anda ketika menjawab kedua pertanyaan tersebut. Biasanya pertanyaan pertama bisa kita jawab dengan cepat, lancar dan ringan, tanpa harus merenungkan penuh makna. Sebaliknya pada pertanyaan kedua, kita mendadak dipaksa berhenti, merenung, berusaha menjawab, yang kemudian bersambut dengan keraguan, lalu mengorek lagi ke dalam diri untuk menebak jawaban yang lebih baik.
Ini yang terkadang meresahkan saya. Pikiran kita di zaman modern ini kerap tenggelam dalam berbagai obsesi, tanpa memiliki kejernihan tentang apa yang sebenarnya ingin dicapai di balik segala keinginan tersebut. Memang hidup ini cuma permainan, dan terlalu serius pun bisa berbahaya. Namun apa salahnya kita berhenti dan menengok ulang ke dalam diri?
Sepasang Embrio Bahagia bernama “Saya & Anda”
Dalam studi psikologi yang dilakukan di Barat baru-baru ini, ternyata rasa bahagia tersebut tidaklah ditemukan dalam uang (meskipun tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan), maupun taraf pendidikan yang tinggi.
Justru studi tersebut menemukan bahwa hubungan antar pribadi yang baik, seperti persahabatan, keluarga dan relasi cintalah yang menentukan kadar rasa bahagia seseorang.
Jadi berapa nilai aset pribadi dan gelar pendidikan seseorang bukan lagi rumus yang tepat untuk mengukur bahagia, melainkan bagaimana kualitas hubungan pribadi antara orang tersebut dan orang lain di sekitarnya yang menjadi indikator tulen akan kebahagiaan dan kepuasan hidupnya.
Dengan kata lain, kita butuh satu sama lain untuk mencapai bahagia. Inilah momen pencerahannya. Kualitas relasi yang baik antara ‘Saya’ dengan ‘Anda’ ternyata merupakan resep rahasia yang jarang diperhatikan. Kualitas hidup = kualitas hubungan pribadi. Kita menjadi cermin bagi satu sama lain untuk bisa tumbuh.
Dari pengalaman membantu mengatasi problema hubungan antar pribadi, sebagai terapis saya berupaya untuk menelusuri benang merah yang menjadi kunci utama dalam sehatnya tidaknya relasi antar pribadi. Dan ternyata yang saya temukan adalah bukan komunikasi, bukan kejujuran, dan bukan juga kesetiaan. Yang menjadi jantung dari keharmonisan hubungan antar pihak ternyata adalah kesanggupan kita untuk menerima dengan ikhlas. Menerima diri sendiri dan juga menerima orang lain, sepenuhnya, apa adanya.
Namun mencapai tahap hubungan di mana kedua pihak bisa menerima satu sama lain apa adanya bukanlah pekerjaan mudah, terutama karena kita tidak terbiasa bertanggung jawab atas diri sendiri. Mengapa demikian?
Berharap Orang Lain untuk Berubah
Coba saja lihat dalam sebuah konflik di dalam hubungan pribadi, refleks kita untuk menuding mereka yang bersalah atau berharap bahwa orang tersebut akan berubah menjadi lebih baik adalah respons yang lebih sering muncul, sementara memerhatikan ke dalam diri dan menyadari andil kita sendiri dalam situasi tersebut, adalah suatu fenomena yang langka.
Mengharapkan orang lain yang berubah, meski itu merupakan sebuah perubahan yang positif menurut kita, merupakan sesuatu yang tidak mudah, tidak realistis, bahkan lebih sering mustahil. Konsekuensi dari kesimpulan ini adalah keharmonisan relasi merupakan tanggung jawab dari kita sendiri.Menerima diri dan orang lain adalah peran yang hanya bisa dijalankan diri kita sendiri.
Ketika kita yang berharap agar orang lain yang bisa lebih menerima kita, maka sesungguhnya kita yang sedang tidak menerima diri mereka apa adanya. Bilamana kita merasa sulit untuk menerima dalam hati, maka belajarlah untuk menerima diri kita sendiri yang masih belum bisa untuk menerima orang lain.
Perampok Tanggung Jawab Orang Lain
Dalam kasus sebaliknya, ada juga orang yang tidak mengerti batas tanggung jawab dirinya, sehingga seringkali “merampok” porsi tanggung jawab orang lain. Setiap urusan orang lain dijadikan tanggung jawabnya sendiri, dan kalau ada yang tidak beres, maka dia akan merasa dirinyalah yang paling patut disalahkan atas segala situasi.
Bila Anda cenderung ada di posisi ini, cobalah renungkan ulang apakah Anda sering merasa perlu ‘menyelamatkan dunia’, menolong semua orang, dan menjadikan hidup lebih baik? Kalau iya, kemungkinan Anda tanpa disadari bisa saja sering merecoki hidup orang lain, atas nama cinta atau kebaikan, dan di saat itu jugalah hubungan pribadi Anda dengan orang tersebut menjadi tidak sehat.
Ini seringkali muncul dalam refleks selalu ingin menolong, selalu ingin memberikan nasehat, mudah sekali iba kepada orang lain. Jangan salah sangka, saya tidak menyarankan orang untuk bergabung ke dalam komunitas ‘hati beku’ yang tidak peduli dengan sesama. Saya hanya menyoroti keadaan di mana terkadang kita pun bisa lengah dan kurang bijak dalam menolong orang lain.
Hadiah Cinta Paling Bermakna
Dalam hubungan pribadi yang saya alami langsung, maupun dalam kehidupan orang lain yang saya amati, ada dua hadiah cinta yang tak ternilai maknanya, dan bilamana diberikan dengan seimbang, maka biasanya hubungan tersebut cenderung sehat. Hadiah cinta ini berlaku baik pada hubungan cinta, persahabatan, keluarga dan bentuk hubungan pribadi apapun.
Hadiah tersebut adalah perhatian (attention) dan ruang (space). Terlalu banyak perhatian, tanpa diimbangi dengan kebebasan bagi pasangan untuk hidup dan bertumbuh, akan terasa sempit, dan hubungan tersebut akan perlahan berubah menjadi kontes adu kuat, siapa yang lebih sering menang, kalah, unggul atau mengalah. Contoh paling umum adalah hubungan yang cenderung terlalu overprotective antara orang tua dengan anak, atau terlalu banyak pembatasan dan kesepakatan dalam sebuah hubungan cinta.
Sebaliknya, terlalu banyak kebebasan dan ruang gerak, tanpa diiringi dengan perhatian, seringkali berarti ketidakpedulian. Bagaikan hidup saling memunggungi, relasi seperti ini juga hidup dengan bom waktu. Hampir tidak bisa dihindari, bahwa kita memiliki saat-saat tertentu di mana kita ingin diperhatikan, dan juga saat-saat lain di mana kita ingin bebas untuk bertumbuh ke arah manapun alam membimbing.
Saya sajikan sepotong filosofi kehidupan dari Hawaii tentang relasi yang sehat. Menurut mereka, ada empat penggal kalimat universal yang bilamana dihayati merupakan kunci dari sembuhnya segala bentuk masalah antar pribadi, yaitu:
I’m sorry.
Please forgive me.
I love you.
Thank you.
Maukah Anda menemani saya dalam perjalanan bercermin ini? Ingatlah sejenak orang-orang yang ada dalam kehidupan Anda. Perhatikan bagaimana kehadiran mereka serta hubungan yang Anda jalani bersama mereka, telah memupuk Anda menjadi sosok jiwa saat ini. Sudahkah cukup dan berimbang hadiah ‘perhatian’ dan ‘ruang’ yang kita berikan pada mereka? Bisakah dalam hati, Anda sampaikan kepada mereka, “I’m sorry. Please forgive me. I love you. Thank you”?
Semoga makna dari filosofi tersebut terus bergema dalam hati Anda, dan pantulannya singgah dalam jiwa setiap orang yang singgah dalam hidup kita. Di balik segala peran dan kerumitan hidup ini, pada akhirnya kejernihan sederhana sebenarnya berpangkal pada ‘Saya’ dan ‘Anda’.
Published, Eve Magazine, Desember 2007.
Posted by Reza Gunawan at 8:15 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terima kasih, menambah renungan saya hari ini....
BalasHapus