Minggu, 14 Juni 2009

Bersahabat dengan Nafsu



Siapa manusia yang tidak kenal dengan nafsu? Nafsu adalah bagian alami semua makhluk hidup. Nafsu adalah energi yang mampu menggerakkan kita dalam hidup ini. Dia sanggup mendorong sepotong buah pikiran menjadi minat, dan kemudian menghasilkan tindakan, yang akhirnya berbuah menjadi hobi, pola dan kebiasaan.

Dalam hakikatnya, nafsu adalah daya semangat yang memberikan bensin bagi perjalanan hidup dan pertumbuhan kita. Lihatlah sekitar Anda, hampir tidak ada keberhasilan atau kemajuan bisa dicapai bila tidak disemangati oleh nafsu dan keinginan.

Nafsu Sebagai Sumber Masalah

Tidak jarang juga ketika kita salah dalam mengelola energi nafsu kita sendiri, beragam masalah pun timbul, padahal sebenarnya nafsu itu bersifat alami dan netral. Contoh, nafsu makan. Ketika dikelola dengan baik, nafsu makan memberikan asupan makanan yang lezat dan gizi yang menyehatkan tubuh. Namun bila salah kelola, bisa menyebabkan adiksi makanan, kebiasaan ‘ngemil’ berlebih, bahkan penyakit akibat kelebihan gizi.

Contoh lain, nafsu birahi. Ketika disalurkan dengan baik maka nafsu ini menjadi sarana untuk memproduksi cinta, keintiman hati, dan penciptaan keturunan. Ketika birahi salah dikelola, dia bisa menjadi akar pelarian stres, pemuasan kebutuhan secara dangkal, menimbulkan kecanduan seks, atau bahkan perilaku seksual yang tidak sehat.

Belum contoh terakhir berikut, nafsu emosi. Ketika emosi dirasakan dan disalurkan dengan sehat, apa pun bentuknya, maka emosi menjadi sarana untuk mengenal diri sendiri secara cermat, menjadi jembatan komunikasi hati dalam setiap hubungan, dan juga menjadi dinamika yang membuat hidup ‘lebih hidup’. Akan tetapi, emosi yang tidak dikelola dengan baik begitu mudah menciptakan kerenggangan, pertikaian, dan stres dalam hidup kita.

Tidak terlalu meleset rasanya untuk menyimpulkan bahwa setiap masalah yang kita miliki, bisa dirunut lapis demi lapis hingga kita tiba pada satu ujung yang biasanya sama: nafsu yang salah dikelola.

Yang lebih menyulitkan lagi, lingkungan telah mengondisikan kita untuk memberikan penilaian negatif pada nafsu. Nafsu telah memperoleh cap buruk dari masyarakat, budaya dan agama. Padahal, sesuatu yang sudah bercap buruk, biasanya malah semakin sulit untuk dikelola dengan baik.

Jadikan Musuh, Atasan, atau Sahabat?

Kalau kita periksa dengan jeli, maka ada 2 pendekatan paling populer untuk menghadapi nafsu, yaitu memperlakukan nafsu bagaikan MUSUH, dan memperlakukan nafsu bagaikan ATASAN.

Ketika nafsu dijadikan MUSUH, kita cenderung ingin mengendalikannya, menaklukkannya, menekannya hingga nafsu tak punya kuasa untuk berekspresi dalam diri kita. Pendekatan ini sangat sulit karena semakin kuat kita bermusuhan, berusaha mengusir dan mengalahkan nafsu, maka semakin kuat pula nafsu berceloteh dan meronta. Di puncak adu kuat antara diri dengan nafsu ini, seringkali kita pun menyalahkan diri, atau orang lain, atau situasi, terutama saat nafsu kita ‘menang’. Inilah pendekatan yang paling umum, sekaligus juga sangat tidak natural, sehingga rentan memicu stres.

Sebaliknya, ketika nafsu dijadikan ATASAN, kita cenderung mengikuti dan mengalir dengan apa pun yang diminta oleh sang nafsu. Tentu kita semua tahu bahwa menuruti semua tuntutan nafsu tentunya akan menghasilkan problema yang lebih banyak lagi. Namun kita kadang tak punya jurus lain selain menuruti nafsu yang mungkin saja memang terlanjur kuat karena dipupuk kebiasaan.

Kalau memang demikian, adakah jalan yang bisa kita tempuh demi mengelola nafsu secara sehat dan natural? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana, yaitu belajarlah mengenal nafsu sebagai SAHABAT kita.

Ini berarti pertama-tama kita perlu melepas dahulu cap buruk dan negatif atas segala nafsu. Semua nafsu adalah alamiah dan netral nilainya. Positif atau negatif itu tergantung persepsi dan keberhasilan kita dalam mengelolanya. Bersahabat dengan nafsu berarti kita belajar untuk mengenal, merasakan, memahami dan merawatnya dengan perhatian yang jernih dan hati yang berkesadaran.

Memahami Kebutuhan Sebenarnya Di Balik Nafsu

Setelah Anda mengerti bahwa semua nafsu pada dasarnya adalah netral, cobalah belajar mengenali kembali setiap energi nafsu yang datang dan pergi dalam diri kita. Ini tentu butuh latihan yang sederhana, namun sangat mencerahkan bila dilatih dengan tekun.

Ketika muncul nafsu tertentu, apa pun bentuknya, coba rasakan, sadari dan amati. Kenali dia apa adanya, tanpa memberikan pemenuhan atas tuntutannya. Kuncinya adalah merasakan tanpa langsung memenuhinya.

Mari kita praktekkan langsung. Anda sedang merasa lapar. Remlah sedikit refleks Anda untuk mengambil makanan terdekat, tetapi rasakan dulu dan kenali benar pengalaman lapar tersebut dengan penuh perhatian.

Mungkinkah tubuh Anda sebenarnya sedang tidak butuh makanan? Barangkali Anda hanya ‘merasa’ lapar karena sedang kesal hati dan mengunyah makanan terasa pas sebagai obat kesal?

Ketika muncul nafsu birahi, berhentilah sejenak. Benarkah Anda sedang merasakan energi cinta yang ingin dipadu? Barangkali Anda sebenarnya sedang merasa stres atau tegang, dan butuh pelarian nikmat sejenak?

Suatu saat Anda ingin sekali merokok. Stop dan bernafaslah sebentar. Benarkah tubuh Anda membutuhkannya? Mungkinkah Anda sebenarnya sedang merasa jenuh atau bosan, dan merokok menjanjikan terusirnya rasa bosan tersebut?

Ketika Anda mulai kenal dengan rasanya ‘nafsu’, maka lapisan-lapisan selanjutnya di balik nafsu tersebut seringkali akan menunjukkan dirinya. Dengan kata lain, apa yang DIMINTA oleh nafsu seringkali tanpa kita sadari bukanlah hal yang sebenarnya kita BUTUHKAN.

Jika seandainya hanya atas nama refleks dan pemenuhan instan kita sekadar mengikuti permintaan nafsu, tanpa sadar dan merawat kebutuhan yang sebenarnya, tidak heran kalau kita tidak pernah bebas dari perbudakan sang nafsu. Ketika ‘kebutuhan sebenarnya’ di balik lapisan-lapisan nafsu sudah bisa kita sadari dan rawat, maka permintaan nafsu di permukaan menjadi semakin tidak relevan dan tidak merongrong lagi untuk dipenuhi.

Sekadar Memulihkan Kepekaan Alami yang Hilang

Proses menyadari lapis demi lapis, dari nafsu sepintas hingga bisa tiba pada kebutuhan diri yang sebenarnya, bukanlah suatu hal yang biasa kita lakukan. Membutuhkan latihan untuk bisa perlahan-lahan bersahabat dengan nafsu dan merawat diri kita hingga pada kebutuhan sebenarnya. Tidak perlu kecil hati, karena keterampilan untuk merasakan diri ke dalam bukanlah hal asing.

Pada saat bayi, kita semua sangat peka untuk merasakan ke dalam diri, hanya saja kebiasaan ini mulai pudar ketika kita semakin dewasa. Latihan ini tidaklah sulit sulit karena tidak ditujukan untuk memperoleh keterampilan baru, tapi sekadar untuk memulihkan kepekaan alamiah yang sempat hilang akibat proses kehidupan menjadi orang dewasa.

Selamat berlatih, selamat belajar kembali untuk bersahabat dengan nafsu yang secara alamiah dalam diri Anda. Melatih diri akan mengembalikan kepekaan jiwa dan menghidupkan kembali hati kita. Hati yang hidup adalah hati yang semakin mudah bersyukur dan merayakan hidup itu sendiri.

Thursday, September 04, 2008
Posted by Reza Gunawan at 3:15 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar