Selasa, 09 Juni 2009

Komputer Cerdas Menguji Efektifitas Terapi Hepatitis C


Komputer bisa sembuhkan pasien hepatitis C ?

Ya, setidaknya menjadi ujicoba efektifitas terapinya. Bagaimana kinerjanya ?
Kok bisa ya komputer melumpuhkan penyakit ?

Journal terkemuka “Science”, pada1989 melaporkan penemuan virus oleh Chiron Co. yang deret genomenya berlainan dengan virus hepatitis A dan hepatitis B. Virus itu kemudian disebut Hepatitis C. Hepatitis C dewasa ini merupakan satu penyakit penting di dunia, yang menyerang sekitar 170 juta orang (tahun 2005). Hepatitis C kronis disebabkan oleh terkontaminasinya peredaran darah dengan virus, sehingga terjadi inflamasi pada lever selama lebih dari 6 bulan.

Akibatnya terjadi kerusakan sel, yang menyebabkan fungsi lever menjadi tidak normal. Diperkirakan penderita penyakit ini di Indonesia berkisar 7 juta orang. Hal ini merupakan masalah yang serius, sedangkan sebaran penularan dan jumlahnya belum diketahui. Karena itulah, Depkes dan PT.Roche Indonesia mengembangkan sistem surveilans untuk mengamati perkembangan penyebaran penyakit ini [2].

Terapi Interferon

Salah satu metode pengobatan Hepatitis C adalah memakai terapi Interferon (IFN). Interferon dikenal cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan virus hepatitis C. Tetapi, di sisi lain, pemakaian interferon ini diikuti oleh efek samping yang memberatkan pasien. Efek samping itu antara lain : Flu-like syndrome, menurunnya sel darah putih (leucocyte), rambut rontok, albuminuria, dsb. Terlebih lagi, berhasil tidaknya terapi interferon ini baru diketahui 6 bulan kemudian, dengan cara melakukan pemeriksaan HCV-RNA pasien. Bila hasilnya menunjukkan terjadi penurunan kadar HCV-RNA, berarti terapi itu efektif. Sebaliknya, jika kadar HCV-RNA pasien tidak turun, berarti interferon itu tidak efektif.
Terapi Interferon cukup mahal, dan mengingat beratnya resiko efek samping yang ditimbulkan, terapi ini umumnya tidak dilakukan kepada pasien yang hasil terapinya diprediksi tidak berhasil. Kepada mereka lebih baik diberikan terapi selain interferon, yang memiliki potensi keberhasilan lebih tinggi. Prediksi keberhasilan terapi interferon ini umumnya dilakukan secara manual oleh dokter yang menangani sang pasien berdasarkan data klinis seperti hepatobiopsy, gene-type virus, dsb. Salah satu kelemahan cara ini adalah akurasinya tergantung dari pengalaman dan jam terbang sang dokter.

Efektifitas

Saat masih tinggal di Jepang, penulis berkolaborasi dengan praktisi medis mengembangkan suatu sistem cerdas yang mampu memperkirakan efektif tidaknya terapi interferon, sebelum diterapkan pada pasien [3]. Tujuan dari sistem ini adalah membantu tugas dokter untuk memilih terapi yang tepat bagi pasien. Jika ternyata hasil prediksi menunjukkan interferon tidak efektif, dokter dapat memberikan terapi lain yang mungkin lebih sesuai bagi pasien. Sistem yang dibangun memakai Support Vector Machine (SVM), sebuah metode komputasi yang dewasa ini menjadi salah satu kajian hangat di dunia komputasi pengenalan pola (pattern recognition). Informasi yang diolah oleh SVM berasal dari hasil diagnosa darah pasien meliputi Hepatobiopsy, HCV-RNA, HCV gene-type, dan berbagai faktor lain sebanyak 30 jenis.
Data yang diolah berasal dari pasien yang berobat ke Nagoya University Hospital Jepang, dari tahun 1997-2004. Dari data awal sekitar 300 sampel, setelah diteliti, akhirnya diperoleh 112 sampel data yang dianggap cukup layak untuk dianalisa. Mengingat keterbatasan data yang ada, estimasi akurasi SVM dilakukan dengan leave-one-out cross validation. Eksperimen yang dilakukan penulis menunjukkan SVM mampu mencapai akurasi 84%, yang cukup baik dibandingkan dengan berbagai metode lain yang diuji juga pada eksperimen tersebut.
Studi yang dilakukan di atas masih pada taraf eksperimen, dan belum sampai tahap implementasi di praktek medis. Untuk mencapai tahap implementasi, diperlukan kajian yang lebih intensif, terutama pemakaian sampel pasien yang jumlahnya lebih banyak. Ini tidak mudah dan merupakan tantangan klasik di riset biomedical engineering. Penyediaan sampel yang lebih banyak terbentur kendala: tidak mudah menyediakan sampel pasien dalam jumlah tertentu. Padahal dokter tidak mau tawar menawar dengan akurasi metode yang dipakai. Pasien bukanlah komputer yang kalau hang, cukup di-reboot untuk “menyembuhkan sakitnya”.
Sebaliknya, peneliti di bidang komputasi pun bukanlah tukang sulap yang mampu membuat metode peramal ajaib. Kemampuan mereka hanyalah mendesain suatu solusi berdasarkan data yang diolah, sehingga hasilnya sangat tergantung kualitas dan kuantitas data tsb. Baik dokter maupun ahli komputasi menawarkan syarat yang cukup berat, agar sistem yang dikembangkan bisa dipakai. Ini yang menyebabkan hasil riset pada kategori ini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk bisa sampai pada tahap implementasi. Dewasa ini terobosan-terobosan baru di bidang teknologi komputasi maupun medis terus dilakukan, agar waktu tunggu di atas dapat diperpendek, sehingga hasil riset dapat segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Rabu, 20 Februari, 2008 oleh Anto Satriyo Nugroho

Referensi :
1. Depkes: 7 juta orang idap Hepatitis C (http://www.detiknews.com/)
2. Depkes Petakan Hepatitis C (http://www.detiknews.com/)
3. J. Yang, Anto S. Nugroho, K. Yamauchi, K. Yoshioka, J. Zheng, K. Wang, K. Sato, S. Kuroyanagi and A. Iwata: Efficacy of Interferon Treatment for Chronic Hepatitis C Predicted by Feature Subset Selection and Support Vector Machine, Journal of Medical Systems, 2007 Apr, 31(2), pp.117-123, Springer US, PMID: 17489504 (1st author and 2nd author contributed equally to this study)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar