Selasa, 16 Juni 2009
Jadilah Perempuan yang Kuat Untukku
Mimpi buruk adalah ketika kau menemukan dirimu berada di tengah kenyataan yang tidak menyediakan tempat untukmu bersembunyi dan melarikan diri dari keburukannya.
Rasa takut adalah awal dari kebodohan. Dan kebodohan- jangan sekali-kali engkau memandanganya dengan sebelah mata- mampu membuat siapa pun melupakan kodratnya sebagai manusia.
Buku setebal 237 halaman , pemenang I Sayembara Novel DKJ 2008, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Tanah Tabu telah berhasil mencuri imajinasi saya tentang Papua dan juga penderitaan kaum Ibu, perempuan pada umumnya, yang menurut saya tidak saja terjadi di tanah Papua, namun juga ada di mana-mana di belahan bumi ini.
Anindita S.Thayf berhasil mencuri hati para juri sehingga dinobatkan menjadi satu-satunya pemenang novel tahun 2008 lomba yang sudah merupakan agenda tetap DKJ setiap tahunnya. Saya sepakat dengan dewan juri, pengarang berhasil merangkai kalimat sederhana namun sarat dengan perlambang yang disampaikan tanpa menggurui dan dengan bijak dia mengambil penceritaan melalui tiga penokohan yang tidak lazim dalam buku-buku yang beredar sekarang ini. Leksi, anak perempuan berusia 7 tahun, Pum seekor anjing dan Kwee yang pada akhir cerita baru saya sadari kalau ini adalah seekor babi.
Bagi orang-orang atau suku yang hidup di Papua khususnya, dua hewan ini sepertinya sudah masuk dalam daftar anggota keluarga selain keluarga yang biasa dikenal. Mereka merupakan hewan peliharaan yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari bahkan kadang kala menjadi teman sebagai tempat curahan isi hati.
Gaya cerita dengan setting “aku” dari masing-masing tokoh dan kadang diselingi cerita flash back yang memukau. Kejadian demi kejadian dirangkai dengan tutur kata yang tanpa pembaca sadari bahwa yang menyampaikan cerita itu adalah hewan atau anak kecil. Di samping 3(tiga) tokoh di atas ada 2(dua) tokoh lainnya yang juga menjadi sentra utama cerita novel ini yaitu Mace yang merupakan ibu dari Leksi dan Mabel (mertua dari Mace).
Antara satu dan lainnya saling melengkapi peran dalam menyajikan kepada pembaca, bahkan pada satu titik klimaks dimana salah satu tokoh yaitu Mabel yang menjadi korban keadaan, saya dibuatnya terharu dan menitikan air mata.
Kemiskinan, bodoh dan balutan adat-istiadat
Tiga rangkaian tersebut yang membalut inti cerita setelah menuntaskan membaca Tanah Tabu ini.
Miskin adalah penyakit kehidupan sosial yang akan selalu ada di manapun manusia berada, bahkan kota besar dan modern New York sekalipun tak kan luput dari keberadaan orang-orang miskin. Apalagi ini di tanah Papua yang menjadi setting novel ini. Propinsi ujung timur dari gugusan nusantara ini yang kaya akan tambang yang sebagian besar masih belum dieksplorasi dan subur tanahnya. Luas wilayah yang tak sebanding dengan penduduk yang mendiaminya, keterbelakangan itu masih ada hingga setelah 60 tahun Indonesia merdeka.
Biasanya, kemiskinan yang membelenggu kehidupan masyarakat akan melahirkan kemiskinan tingkat dua yang jauh lebih berbahaya, yaitu kebodohan.
Kebodohan yang tercipta akibat miskin tidak sanggup untuk membiayai anak sekolah, untuk biaya hidup sehari-hari saja tidak ada serba kekurangan, bagaimana harus menyekolahkan anak? dan lagi biasanya sang anak dituntut untuk membantu perekonomian keluarga agar tetap bertahan dalam hidup ini.
Mabel singkatan dari Mama Anabel, perempuan ini terlahir dan dibesarkan sebagai anak salah satu dari suku Dani di lembah Baliem. Nama aslinya Waya, namun setelah ikut keluarga Belanda yang sedang bertugas di Mindiptana, namanya diganti menjadi Anabel, agar mudah mengenalnya.
Seperti kebanyakan anak perempuan suku pedalaman dan terbelakang dalam sentuhan peradaban manusia, status perempuan dianggap sebagai makhluk lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarganya sendiri. (hal.100).
Perang suku , penindasan, ketidak tahuan, keterbelakangan kehidupan itulah yang ada di sekeliling Mabel dan kebanyakan suku-suku di Papua. Kebanyakan kaum perempuan mengabdikan hidup selamanya hanya untuk keluarga, suami, kebun dan babi. Adat istiadat yang telah menjadi hukum alam tak tertulis ini yang tidak hanya harus dipatuhi tetapi tak boleh di langgar.
Kemudian sampailah kedatangan orang-orang Belanda yang salah satunya suami istri tuan Piet van der Wissel dan Nyonya Hermine di lembah Baliem. Usia Mabel pada waktu itu sekitar delapan tahun. Kedatangan rombongan orang Belanda ini untuk membuat pos pemerintahan dan lapangan terbang kecil, tanpa adanya perlawanan dari suku Dani, bahkan mendapatkan bantuan dari mereka dengan mudahnya melalui kebaikan dan pemberian barang-barang antara lain garam dan tembakau.
Di buku ini tertera tahun 1946, kita ketahui semua pada tahun itu walau Indonesia sudah merdeka, namun masih ada satu daerah atau kawasan yang masih dikuasai Belanda yaitu Irian Jaya (Papua sekarang). Belanda masih gagah bercokol di sana, kemudian suami istri belanda itu meminta pada keluarga ayah Mabel, untuk meminta mabel menjadi anak piaraannya dan membawanya serta untuk hidup bersama mereka dan akan merawatnya tidak akan menelantarkannya. Anak piaraan disini arti lain dari pembantu. Ya, mabel ikut keluarga belanda menjadi pembantu rumah tangga, berpindah-pindah tempat sesuai dengan tugas dari pasangan belanda itu mulai dari Mindiptana, Manokwari, Wamena. Mabel tidak sendiri ayahnya menyuruh anjingnya Pum untuk ikut serta dengannya.
Bangku sekolah memang tidak pernah dimasuki oleh Marbel, namun majikan Mabel memberikan pelajaran membaca dan menulis, sehingga Mabel tidak hanya bisa berbahasa Indonesia namun juga bahasa belanda. Sampai kemudian, majikan Mabel harus kembali lagi ke negeri Belanda. Tinggalah Mabel dan Pum melanjutkan kehidupannya. Dari kehidupan yang serba kecukupan kemudian terpuruk miskin tak mempunyai apa-apa telah dialami Mabel bersama Pum anjing setianya.
Sempat pula diceritakan Mabel pernah menikah, tetapi kemudian dia ditelantarkan suaminya. Datangnya orang-orang asing di tanah Papua tidak saja membawa kehidupan lebih maju namun juga membawa kebiasaan jelek, mabuk-mabukan minuman beralkohol telah menjadi satu kebiasaan baru kaum lelaki (Pace) di tanah Tabu ini. Kehidupan mabuk-2 inilah yang ikut juga memporakporandakan rumah tangga Mabel di kemudian hari yang sudah melahirkan anak satu bernama Johanis. Dan mata rantai kehidupan itu rupanya tidak berhenti saja pada kebiasaan orang tuanya, Johanispun mengulangi kembali pada perkawinannya dengan Mace (Lisbeth) ibu dari Leksi, perempuan kecil yang menjadi salah satu pengisah novel ini.
Mace dan Leksi ditinggal pergi Johanis bekerja di kota dan juga suka mabuk entah pergi kemana, sehingga pada suatu hari mereka berdua pergi mencari satu-satunya orang yang bisa menampung hidup selanjutnya yaitu Mabel. Leksi tidak diakuinya sebagai anak kandung Johanis, karena Mace pernah diperkosa oleh 3 (tiga) orang tentara yang ada di kampunya pada waktu itu. Padahal Mace disetubuhinya kemudian setelah beberapa saat dari peristiwa yang menggoncang jiwa Mace akibat perbuatan biadab tentara pada waktu itu. Jadi Leksi tetap darah daging Johanis, cuma begitulah lelaki, selalu menimpakan kecurigaan, bukannya melindungi istrinya dari perbuatan biadab, dan kadang sama biadabnya dengan manusia-manusia yang telah menghancurkan kehidupan Mace itu.
Bergabungnya Mabel dengan menantunya ini juga cucunya serta Pum dan Kwee yang merupakan anak babi dari babi piaraan Mace yang ikut serta ketika Mace dan Leksi pergi mencari Mabel.
Mereka sekarang mendiami kota Timika. Di Kota ini terdapat perusahaan emas, yang kita ketahui semua tambang ini beberapa kali menimbulkan permasalahan baik dalam bagi hasil maupun kontrak, namun ya begitu cerita ini seperi lenyap di telan halimun Lembah Baliem. Dia hanya mengeruk emas buat perusahaan dan negara tempat berasal, sedangkan orang-orang Papua pemilik sah tanah itu tetap saja miskin, terbelakang. Kaya tanah ini, namun kekayaan itu diambil orang lain, sedangkan pemilik hanya duduk bengong kadang sambil mabuk tak berkutik melihat kekayaan tanahnya digerogoti hingga kini.
Mabel ternyata tidak tumbuh menjadi perempuan yang tetap bodoh. Namun pemikiran dia maju. Hiruk pikuk pemilihan umum juga janji-2 parpolpun mewarnai kehidupan dia selanjutnya, juga sepak terjang dia dalam memimpin pedagang sayur di pasar untuk bernegosiasi dengan perusahaan emas membeli sayur mayur hasil mereka. Bahkan pemikiran dia yang kritis inipun kadang dengan berani dia utarakan ketika orang-orang berdemo, tidak hanya pemikiran kritis, namun jiwa sosialnyapun ikut berkembang. Rasa welas asih dan ketidak terimanya ketika ketidak adilan terjadi di sekelilingnya.
Suatu ketika pernah dia di penjara karena pada waktu itu terjadi pemberontakan. Oleh karena ketidak tahuan terhadap hal yang terjadi dia di penjara karena dia dua kali menemui seorang ibu untuk membeli bibit kebun, ternyata ibu ini adalah ibu dari salah satu pemimpin pemberontak. Demikian pada umumnya politik main gampang dan tuduh-menuduh, selalu mencurigai bila ada seseorang terlibat atau terlihat bersama orang yang ternyata dia adalah musuh negara. Padahal Mabel tidak tahu-menahu soal sepak terjang orang tersebut, namun akhirnya menyeret Mabel ikut serta di penjara. Padahal dia sudah berbicara jujur apa adanya. Peristiwa hitam ini penuh sengsara sengaja Mabel tutupi pada anak menantunya, namun sahabat tercintanya Kori yang datang dan mengungkapkannya pada suatu hari ketika mereka bertemu.
Kehidupan mereka berlima tidak lepas juga dari kebiasaan mabuk-2 tetangganya, yang punya anak beberapa, dimana anak pertamanya Yosi merupakan sahabat dari Leksi yang berumur lebih tua, sampai kemudian ayah Yosi yang suka menyiksa ibunya yang sampai suatu saat ibu dan anaknya lari pergi menyelamatkan diri dari siksaan suami yang hoby mabuk, berjudi dan main perempuan.
Sampai pada akhir cerita Mabel ditangkap dan dipenjara lagi, ketika pada musim kampanye saat akan pemilihan bupati. Salah satu calon bupati Pace Gerson disinyalir berada dibalik penangkapan ini. Di mulai saat pemesanan noken pada pemilian pilkada, dimana biasanya noken itu berbenang merah dan putih, namun kali ini pesanan melalui Monte seorang wanita yang suka pembawa berita itu, bilang kalau persediaan benang merah tak ada yang ada benang hijau. Tetapi karena buta warna sebenarnya benang itu berwarna biru, namun bagi mata mabel yang buta warna ini kelihatan hijau. Setelah jadi, warna ini menjadi pemicu ketika kemudian dia dituduh membuat bendera musuh. Mabel bersikeras warna noken yang dibuatnya merah-putih dan hijau-putih, namun yang sebenarnya biru - putih dan petugas itu kemudian menuduh Mabel akan membuat matahari di tengahnya. Pembodohan terhadap rakyat itu ternyata tidak habis-habisnya sampai pada pemilihan lambang partai dan kemudian menjadi masalah ketika rakyat yang tidak mengerti apa-apa mengerjakan lambang partai lain, kemudian sudah dicap sebagai musuh.
Mabel ditangkap beberapa lelaki bertubuh besar dan ada yang membawa senjata, mereka sangat kejam dan buas, Mabel ditangkap dan disiksa dihadapan anak dan menantunya dan kemudian dilihat orang-orang banyak tanpa mampu dan mau untuk menolong Mabel.
Bahkan di antara penonton itu ada Pace Gerson, yang diharapkan dapat turun tangan untuk membantu Mabel, setidaknya menjelaskan bahwa dia tidak bersalah, namun dia tidak melakukan apapun juga untuk kebebasan Marbel.
Apakah ini merupakan tindakan balas dendam Pace Gerson yang beberapa hari lalu berkampanye di pasar dihadapan lapak jualan Mabel, dia sempat mengucapkan umpatan : Cih ! Tipu-tipu lagi. Macam kita ini anak-anak yang gampang percayakah? Janji terus, tapi tidak pernah ditepati. Seperti ludah yng terus bermuncratan dari mulut, dan langsung dilupa kalau itu ludha milik sendiri begitu meninggalkan bibir.
Pada akhirnya hanya Pum yang tahu dibawa kemana Mabel. Leksi dan Mace tinggal sendiri tak bisa berbuat apapun untuk mencegah orang-orang biadab itu menyiksa dan menangkap Mabel. Disini kelemahan perempuan dalam keadaan terjepit dan kadang menjadi korban dari keadaan, dimana tak bisa berbuat apapun.
Ending cerita dibuat menggantung, entah bagaimana nasib akhir Mabel di bawa di suatu lapangan diikat di sebatang kayu dan disiksa oleh suatu kesalahan yang dia sendiri tak paham. Mata hati petugas itu telah tertutup entah oleh apa?, suatu kebodohan jugakah atau nurani ini telah tergadai oleh suatu kekuasaan , yang sebenarnya nilai tukar itupun tidak sebanding dengan apa yang telah mereka perbuat.
Kelemahan atas ketakberdayaan dan menjual penderitaan.
Yang selalu mengganjal membaca cerita tentang kelabu perjalanan anak manusia apalagi yang berupa sosok perempuan adalah ketidak berdayaan dia dalam menghadapi suatu keadaan.
Saya selalu berharap pengarang itu berlaku seperti Tuhan. Bukankah pengarang juga bisa berbuat seperti Tuhan yang sebenarnya? Mematikan sang lakon atau tetap menghidupkan dengan membawa suatu pesan yang dirasakan untuk menggugah jiwa.
Cerita tanah tabu ini akan lebih bernilai, seandainya memberikan suatu perbuatan inspiratif terhadap tokoh Mace dan Mabel untuk lebih berani berontak terhadap sekelilingnya. Rasanya sikap Mabel yang kemudian tak berdaya ini sempat kontradiksi dengan ilustrasi Mabel yang tinggi besar dan tegas dalam bicara serta mempunyai pemikiran yang kritis.
Kalau saja pengarang berani memberikan suatu kekuatan pada Mace misalnya, yang kemudian dapat melupakan kejadian dahulu yang sempat menghantui hari-hari buruknya kalau melihat orang-orang berseragam untuk membantu pelepasan Mabel.
Pada suatu titik nadir manusia dalam penyiksaan yang bertubi-tubi biasanya akan muncul suatu kekuatan untuk berani melawan. Dan kalau hal ini pengarang lakukan, akan menjadikan tanah Tabu ini sebagai cerita yang akan menjadi penggerak bagi kaum perempuan di pedalaman Papua sana dan di manapun berada. Bahwa walaupun kita perempuan , tetapi kita tidak boleh menyerah dengan keadaan, kita harus berani melawan, berontak menuntut keadilan, dan percaya bahwa perjuangan itu tidak ada yang sia-sia walau kita tahu selalu ada pengorbanan. Namun dengan kegigihan seorang perempuan yang kita semua tahu, dibalik kelemahan perempuan tersimpan energi kekuatan , ketahanan yang maha dahsyat untuk melawan ketidak berdayaan dari perempuan itu sendiri. Dan sejarah sudah membuktikan tentang hal ini.
Tentunya ending yang mencerdaskan pembaca yang akan disajikan pengarang sebagai jalan keluar terhadap masalah ini bila ada, karena kalau kisah kepedihan, derita semacam ini terus saja dibuat tanpa ada solusi jalan keluar kepada mereka di pedalaman sana, saya kuwatir cerita ini akan terus terjadi dan menjadikan suatu acuan akan terjadinya peristiwa bengis dan lebih kejam lagi.
Dan, mohon maaf saya kemudian takut, pengarangpun sudah ketularan menjual cerita kepedihan , sama seperti sekarang acara televisi yang semarak menjual kepedihan kepada pemirsa, dengan alasan banyak yang suka.
Saya tahu , Anin tak bermaksud itu pada Tanah Tabu ini. Sebelum Tanah Tabu, sudah banyak cerita bertaburan tentang hitam temaram kehidupan kaum perempuan di pedalaman. Namun selalu tinggal cerita kepedihan, tanpa ada jalan keluar.
Lalu siapa yang salah ? Tanah Tabu, Leksi, Mace , Mabel atau dua binatang itu Pum dan Kwee? Lembah Baliem dan juga banyak Lembah lain di dunia yang berpenghuni kaum ibu dan perempuan itu haus akan “sesuatu” yang akan membuat mereka berani untuk untuk bertindak menentang ketidak-adilan yang menimpa mereka, walau pengorbanan apapun akan di tempuhnya, demi terbebas dari kungkungan yang membelenggu.
Cerita Inspiratif, solusi jalan keluar itu selalu akan ditunggu oleh mereka, karena siapa lagi yang akan membebaskan mereka dari kebodohan, kemiskinan, belenggu adat-istiadat yang cenderung memasung kaum perempuan.
Bogor, 24 mei 2009
oleh: ilenk_rembulan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar