Rabu, 24 Juni 2009

Bukan Pemimpin Biasa



Dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Herbert Feith mengategorikan Soekarno sebagai representasi terbaik pemimpin bertipe solidarity-maker (penggalang solidaritas massa).

Soekarno berdampingan dengan tipe administrator (pengatur kebijakan), berporos pada figur Mohammad Hatta.

Sementara Soekarno memandang revolusi harus terus digelorakan meski kemerdekaan politik bangsa sudah diraih, Hatta berpendapat sebaliknya. Bagi Hatta, revolusi telah selesai, karena itu yang diperlukan adalah kerja keras yang bersifat detail dan konkret guna menerjemahkan ide-ide besar ke dalam lapangan praktis.

Meski sejarah mencatat bahwa duet ideal ini tidak berumur panjang, sampai detik ini dua tipe kepemimpinan yang melekat dalam diri pasangan proklamator itu masih amat relevan untuk dijadikan pijakan analisis bagi corak kepemimpinan bangsa ini.

Anak zaman

Pasangan Soekarno-Hatta lahir dari konteks sejarah yang mendudukkan mereka sebagai penggerak revolusi yang sukses, yang kemudian berpisah karena perbedaan tipe kepemimpinan yang tidak bisa dikompromikan.

Soekarno tidak berselera pada kerja detail dan administratif yang ”kering”, sementara Hatta menginginkan konkretisasi langkah-langkah untuk meletakkan fondasi ekonomi kerakyatan pascakolonial yang diimpikan.

Mereka berbeda bukan hanya dalam tipe kepemimpinan, tetapi juga dalam memilih cara mencapai tujuan. Soekarno tetap mempertahankan kegemaran pada mobilisasi massa untuk pencapaian tujuan revolusioner, sementara Hatta lebih mendasarkan aktivitasnya pada basis pengetahuan yang diimplementasikan secara ”teknokratis”.

Zaman pun berganti. Namun, setiap zaman membutuhkan kehadiran para pemimpin yang memiliki pandangan ke depan (visi) yang gamblang menyangkut ke mana negeri ini akan dibawa, dengan cara apa, dan bagaimana tahap-tahap pencapaiannya.

Lebih dari itu, dibutuhkan kepemimpinan transformatif yang benar-benar sanggup memahami dan memecahkan aneka masalah bangsa (the nation’s problem solver), sekaligus meletakkan dasar yang lebih kokoh bagi struktur sosial ekonomi di masa depan.

Pemimpin, di mata Peter Drucker, adalah individu yang piawai menerjemahkan cita-cita menjadi kenyataan (make things happen). Karena itu, individu yang lemah atau tidak punya ketegasan dalam berprinsip sebenarnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Ia akan sangat mungkin terjebak dalam pola oligarki politik, di mana kelompok-kelompok kuat di sekitarnya akan mengendalikan pilihan-pilihan kebijakannya.

Terciptalah sebuah kepemimpinan ”transaksional”, sebuah kepemimpinan yang didasarkan pada negosiasi kepentingan berjangka pendek dari kelompok- kelompok strategis (strategic groups) yang bermain di lingkaran kekuasaan.

Kepemimpinan yang kuat dalam visi dan implementasi program tidaklah identik dengan rezim otoriter. Harold Crouch (Indonesia's ’Strong State’, 1998) menyatakan, rezim Soeharto jelas menampilkan sebuah pemerintahan yang kuat dan represif, terutama dalam berhadapan dengan masyarakat.

Namun, di mata Crouch, rezim itu juga banyak menampilkan ciri pemerintahan yang lemah (weak government), yang bersumber dari struktur internalnya sendiri, yang diwarnai berbagai persaingan faksional yang disatukan oleh pola-pola distribusi patronase yang mengakar kuat dalam praktik pemerintahan.

Transformatif vs transaksional

Meski jauh dari ideal, sebuah kepemimpinan ”transaksional” boleh jadi mampu eksis di panggung kekuasaan dalam jangka waktu cukup lama. Itu terjadi ketika (1) situasi ekonomi global cukup kondusif, (2) mayoritas massa memiliki keterbatasan intelektual untuk mengontrol kebijakan publik, dan (3) kelompok- kelompok strategis (strategic groups) merasa terlayani kepentingannya sehingga merasa berkepentingan pula untuk terus melestarikan status quo.

Meski demikian, sejarah umumnya mencatat pemimpin ”transaksional” sebagai pemimpin dengan kategori ”biasa”, bukan pemimpin monumental yang dikenang dengan takzim sepanjang zaman.

Kepada putranya yang bernama Alexander (kelak menjadi Alexander Agung), Raja Philips II menasihatkan, seorang pemimpin harus belajar menghayati kesendirian. Learn how to be alone! Maknanya, pemimpin tidak seharusnya larut dalam arus kepentingan berbagai kelompok strategis yang berseliweran di sekitar kursi kekuasaannya.

Junichiro Koizumi, pemimpin karismatik Jepang awal abad ini, menolak dengan tegas hadiah ulang tahun yang disampaikan oleh salah seorang anggota kabinetnya sendiri. Ia dengan sadar memelihara independensinya, bahkan terhadap ”punggawa” kepercayaannya sendiri, di tengah keberadaannya sebagai ”panglima tertinggi” dalam organisasi pemerintahan.

Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang dikagumi di seluruh bumi, pernah menantang debat terbuka para pelobi dari perusahaan-perusahaan farmasi raksasa yang melakukan resistensi terhadap program reformasi kesehatan yang digulirkannya.

Koizumi dan Obama jelas bukan pemimpin yang besar semata-mata karena lihai memainkan politik ”dagang sapi”. Mereka adalah para entrepreneur politik yang siap menanggung risiko untuk menerapkan kebijakan-kebijakan publik yang diyakini baik bagi kehidupan rakyat yang dipimpinnya meski ditentang oleh oligarki kepentingan yang kuat dan berpengaruh.

Sayang ”pemimpin transformatif” seperti mereka terhitung langka, tak terkecuali di negeri ini. Padahal, di mata para ”pemimpin transaksional”, rakyat hanya deretan angka yang diperlukan untuk memperkuat posisi tawar saat berbagi kuasa dengan rekan koalisi.

Bagi mereka, rakyat jelata adalah kata lain dari ”kuda beban” yang diperlakukan dengan penuh kelembutan hati hanya ketika mereka sibuk berkampanye.


Kamis, 25 Juni 2009 | 03:06 WIB

Syamsul Hadi Dosen FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar