Setiap malam
pergantian tahun biasanya kebanyakan orang sudah memiliki acara tertentu untuk
merayakannya. Seolah sudah menjadi tradisi, jalanan akan begitu ramai sepanjang
malam hingga dini hari. Namun sebenarnya dalam pandangan Islam, apakah hukum
merayakan ulang tahun masehi?
Menilik
latar belakang dari munculnya perayaan tahun baru masehi ini, pada mulanya
memang perayaan ini dirayakan oleh orang Yahudi. Penetapan 1 Januari sebagai
tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM),
kemudian pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII mengubahnya
menjadi 1 Januari tahun 1582 yang hingga kini seluruh dunia merayakannya
tanggal tersebut
Sumber lain
juga menyebutkan bahwa perayaan seperti ini dahulu berbentuk pesta warisan yang
dirayakan oleh orang-orang Romawi. Hari pergantian tahun tersebut mereka anggap
sebagai hari yang istimewa dimana mereka mendedikasikan hari tersebut untuk
salah seorang dewa bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings.
Janus digambarkan sebagai seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah
menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, dengan filosofi masa
depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
Dilihat dari
latar belakang ini, tidak sepantasnya umat Islam ikut merayakannya. Hukum
merayakan tahun baru dalam Islam sangat tidak dianjurkan. Seperti yang
diungkapkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash,
من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة
“Siapa yang
tinggal di negeri kafir, meramaikan peringatan hari raya Nairuz (tahun baru)
dan karnaval mereka serta meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi
orang yang rugi pada hari kiamat. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari
kiamat. ”
Hal ini
menjelaskan bahwa ikut merayakan tahun baru dapat berarti meniru kebiasaan
mereka. Rasulullah SAW sendiri juga dengan tegas telah melarang untuk meniru
kebiasaan orang kafir. Rasulullah SAW bersabda,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Siapa yang
meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR
Abu Daud)
Selain itu,
merayakannya juga dikhawatirkan menggambarkan bentuk loyalitas dan dukungan
terhadap mereka. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah berikut.
يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)
Di samping
pandangan hukum merayakan tahun baru masehi tersebut, ada juga pendapat yang
membolehkan. Hukum merayakan tahun baru masehi ini masih boleh dilakukan asal
dengan niat tidak mengikuti ritual agama tertentu. Jika diniatkan untuk
mengikuti orang kafir, maka jelas hukumnya haram. Namun jika tak ada niat untuk
menyamakan atau menyerupai mereka, maka tidak dilarang. Asalkan,
memanfaatkannya dengan kegiatan yang positif, tidak berlebihan, tidak
hura-hura, serta tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Jadi semua
itu tergantung pada niat dan kegiatan yang akan dilakukan.
Terlepas
dari semua pandangan tersebut, sesungguhnya kembali pada diri masing-masing.
Apakah kegiatan tersebut akan membawa manfaat atau tidak, serta menimbang baik
atau buruknya. Mungkin akan lebih baik jika ini tidak dijadikan sebuah
kebiasaan yang harus rutin dilakukan setiap tahunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar