Jumat, 08 Mei 2009
Geliat Pembangunan Bendungan di Era Islam
Sejarawan teknik sipil kerap menihilkan periode kejayaan Islam. Khususnya dalam sejarah pembangunan bendungan. Norman Smith dalam bukunya History of Dam membantah klaim sejarawan teknik sipil Barat yang menyatakan tak ada pembangunan bendungan dan irigasi di era Umayyah dan Abbasiyah. ''Itu sangat tak adil dan sama sekali tak benar,'' ujar Smith tegas.
Di era keemasannya, peradaban Islam telah berhasil membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil, salah satunya adalah bendungan. Smith mengungkapkan, peradaban Islam di zaman keemasannya telah berhasil membangun begitu banyak bendungan, dengan aneka bentuk dan struktur. Kebanyakan bendungan di awal-awal kejayaan Islam dibangun oleh umat Islam.
Schnitter (1994) telah meneliti keberadaan dan pembangunan bendungan di era kejayaan Islam. Ia bahkan secara khusus meneliti tentang panjang, tinggi, serta rasio panjang dan kedalaman bendungan di dunia Islam. Schnitter mencontohkan, bendungan Qusaybah yang terletak dekat Madinah memiliki kedalaman sekitar 30 meter dan panjang mencapai 205 meter. Bendungan itu dibangun di era keemasan Islam untuk mengatasi banjir.
Menurut Schnitter, pada era kekuasaan Abbasiyah, peradaban Islam telah membangun sejumlah bendungan di Baghdad, Irak. Kebanyakan bendungan itu terletak di dekat Sungai Tigris. ''Pembangunannya sudah menggunakan kemampuan teknik sipil yang tinggi,'' ungkap Schnitter.
Peradaban Islam di Iran juga berhasil membangun bendungan Kebar pada abad ke-13 M. Inilah salah satu bendungan tua peninggalan kejayaan Islam yang hingga kini masih tetap ada. Selain untuk mengatasi banjir, pada masa itu bendungan dibangun untuk mengairi areal persawahan dan perkebunan.
Di wilayah Afghanistan, kini terdapat tiga bendungan yang dibangun oleh Raja Mahmoud Ghaznah (998-1030). Salah satu bendungan itu terdapat di wilayah yang berjarak 100 kilometer dari Kabul, ibu kota Afghanistan. Bendungan itu memiliki ketinggian 32 meter dan panjang 220 meter.
Peradaban Islam juga tercatat telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendungan jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di Dezful, Iran. Bendungan jembatan itu mampu menggelontorkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu.
Setelah muncul di Dezful, Iran, bendungan jembatan juga muncul di kota-kota lainnya di dunia Islam. Sehingga, masyarakat Muslim pada masa itu tak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Selain itu, para insinyur Muslim juga telah memperkenalkan bendungan penggiling yang kemudian disebut Pul-i-Bulaiti. Pertama kali bendungan itu dibangun di Sungai Karun, Iran. Kemudian, banyak dibangun di negara Islam lainnya.
Pada era kekhalifahan, para insinyur Muslim sudah mampu membangun bendungan pengatur air (diversion dam). Bendungan ini digunakan untuk mengatur atau mengalihkan arus air. Bendungan pengatur air itu pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.
Pembangunan bendungan berkembang di negara-negara Islam, seperti di kawasan Afrika Utara, Spanyol, kawasan Barat Daya Asia sampai Sungai Indus, dan Uzbekistan. Pada 970 M, orang-orang Yamani berhasil membangun bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Pembangunan bendungan di Spanyol Muslim berkembang begitu pesat.
Di Kota Codoba hingga kini masih terdapat bendungan peninggalan kejayaan peradaban Islam. Salah satu bendungan tertua peninggalan Islam yang masih berfungsi itu terdapat di Sungai Guadalquivir. Tentu saja, gencarnya pembangunan bendungan di dunia Islam ditopang oleh pesatnya industri dan ilmu pengetahuan para Muslim Spanyol.
Pembangunan bendungan di Sungai Guadalquivir itu dijelaskan geografer Muslim abad ke-12 bernama Al-Idrisi. Menurut Al-Idrisi, bendungan itu dibuat dari batu Mesir dengan pilar-pilar marmer yang digunakan sebagai tempat bagi tiga penggilingan, yang masing-masing terdiri atas empat kincir air. Penggilingan tersebut masih berfungsi hingga belakangan ini meskipun telah banyak berubah dari bentuk aslinya.
Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya Islamic Technology: an Ilusstrated History mengungkapkan, tiga abad sebelumnya, sekitar tahun 370 H/960 M, Buwayyah Amir Adud Al-Daulah membuat proyek hidrolik raksasa di Sungai Kur, Iran. Al-Hassan pun mengutip pernyataan geografer Muslim Al-Muqaddasi yang menjadi saksi sejarah pembangunan proyek hidrolik raksasa itu.
"Adud Al-Daulah menutup sungai antara Shiraz dan Istakhr (Persepolis) dengan tembok besar berfondasi menerus sehingga membentuk danau dan permukaannya naik. Di kedua sisi danau dibangun 10 noria, seperti yang terdapat di Khuzistan dan di bawah setiap noria terdapat sebuah penggilingan yang hingga hari ini merupakan salah satu daya tarik di Fars. Di sana, ia membangun sebuah kota. Air mengalir melalui kanal-kanal dan mengairi tiga ratus desa.''
Bukti lainnya yang menunjukkan keberhasilan peradaban Islam dalam pembangunan bendungan terdapat di Tunisia. Di negara itu terdapat waduk irigasi penting yang terletak sekitar 100 kilometer dari gerbang utara kota Qayrawan. Di tempat itu terdapat dua waduk yang mengumpulkan air dari wadi Marj Al-Lil. Waduk yang kecil merupakan sebuah poligon 17 sisi dan panjangnya rata-rata 6,25 meter, setiap sudut diperkuat dari luar dan dalam dengan beton penyangga bulat (butters).
Diameternya adalah 37,4 meter. Waduk kecil ini berfungsi sebagai tangki penunjang serta tempat pengendapan lumpur. Salah satu sisinya bersinggungan dengan sisi waduk yang lebih besar. Di sisi inilah terdapat saluran penghubung sirkular pada dinding penyekat, beberapa meter di atas dasar waduk.
Waduk yang besar mempunyai 48 sisi dengan beton penyangga bulat di setiap sudutnya, berdiameter dalam 130 meter dengan kedalaman delapan meter. Instalasi ini diselesaikan pada 248 H/862-3 M. Begitulah, dunia Islam di era keemasannya telah memberikan sumbangan penting dalam pembangunan bendungan. Para insinyur Islam membangun bendungan dengan teknologi yang canggih dan murni, hasil pemikiran mereka. N desy susilawati/hri
Adud Al-Daulah, Raja yang Mendukung Pembangunan Bendungan
Sejatinya, ia bernama Fannakhusru bin Hasan (324- 372 H/936-983 M). Namun, sultan dari Dinasti Buwaih (950-983 M) itu lebih populer dengan nama Adud Al-Daulah. Adud sendiri berarti anggota negara yang terpuji. Ia dikenal sebagai raja yang menyukai pembangunan. Dalam sejarah peradaban Islam disebutkan, ia telah membangun rumah sakit, jembatan, saluran irigasi, bendungan, dan pagar di sekitar Kota Madinah.
Ia berkuasa di Persia, Moshul, Irak, dan Arab Saudi. Bahkan, ia berhasil menyatukan Irak dan Persia di bawah kekuasaannya. Namun, setelah kematiannya, kedua wilayah tersebut pecah akibat perselisihan di antara anak-anaknya. Adud Daulah mengaku dirinya adalah seorang raja yang adil atau "amir al-adil".
Adud Daulah merupakan penganut Syiah, demi menjaga reputasi di mata rakyatnya yang sebagian besar Sunni, ia berusaha menjalin hubungan istimewa dengan Khalifah Abbasiyah. Ketika masuk ke Baghdad, dia disambut hangat. Dan, ini terlihat adanya pemilahan yang diciptakan antara pemerintah (Adud) dan agama.
Antony Black dalam bukunya Pemikiran Politik Islam menggambarkan suasana ketika Adud Daulah memasuki kota Baghdad. ''Merupakan suatu kebahagiaan bagiku untuk menyerahkan masalah pengurusan rakyat kepadamu, baik di timur maupun di barat, kecuali harta milik pribadi, kekayaan, dan istanaku,'' papar Khalifah Abbasiyah yang menyambut kedatangan Adud Daulah.
Setelah itu, Dinasti Buwaih memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Baghdad. Pemerintahan Adud Al-Daulah sangat mendukung dan memfasilitasi para ilmuwan dan seniman. Dukungan itulah yang membuat para ilmuwan memutuskan hijrah dari kampung halamannya ke Baghdad dan mengabdi di Istana Adud. Di antaranya, sang matematikus Abul Wafa, Al- Quhi, dan Al-Sijzi.
Tapi, di sisi lain, kata Antony Black, Adud mengadopsi gelar Persia Syah-an-Syah atau 'raja di raja' yang membuat rakyatnya yang mayoritas Sunni muak. Salah satu jasa penting Adud Al-Daulah dalam bidang teknik sipil adalah pembangunan hidrolika raksasa di Sungai Kur, Iran.
Ia memerintahkan agar sungai antara Shiraz dan Istakhr (Persepolis) ditutup dengan tembok besar berfondasi, hingga membentuk danau dan permukaannya naik. Di kedua sisi danau dibangun 10 noria, seperti yang terdapat di Khuzistan dan di bawah setiap noria terdapat sebuah penggilingan yang hingga hari ini menjadi salah satu daya tarik di Fars, Iran.
Di sana, ia membangun sebuah kota. Air mengalir lewat kanal-kanal dan mengairi tiga ratus desa. Begitulah, peran Adud Al-Daulah dalam membangun dunia Islam di era kejayaan Dinasti Buwaih sebuah dinasti yang dibangun oleh tiga putra Abu Syuja Buwaih seorang pencari ikan di daerah Dailam.
By Republika Newsroom
Selasa, 31 Maret 2009 pukul 14:16:00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar