Kamis, 14 Mei 2009

Kerjasama Suami-Istri Mengurus Rumah


Dan apapun kita, hendaknya berangkat dari sebuah negosiai dan kesepakatan secara sadar guna mencapai tujuan bersama.


Budaya kita menempatkan perempuan dengan peran baku sebagai pengelola pekerjaan domestik. Mencuci, memasak, mengurus anak dan tetek bengek pekerjaan rumah tangga lainnya seringkali sianggap sebagai kodrat istri. Para suami? Ada yang tidak mau peduli, ada yang mau membantu tetapi tertekan, tapi ada juga yang bahagia menyingsingkan lengan untuk bersama-sama mengurus pekerjaan rumah tangga.

Ada beberapa gambaran tipologi rumah tangga dalam membagi peran kerja antara suami dan istri. Menurut Ida Ruwaida Noor, dosen Sosiologi Fisip UI, tipologi keluarga Indonesia dalam kaitannya dengan pembagian kerja rumah tangga ada tiga kelompok besar.

Pertama, keluarga yang melakukan pembagian kerja secara baku atau tradisional. Keluarga tipe ini membagi tugas secara absolut dengan memberikan perempuan tugas melahirkan anak, mengasuh anak, dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya khusus mencari nafkah.

Kedua, keluarga yang melakukan pembagian tugas dengan cair, tidak ketat. Prinsipnya, pembagian tugas dilakukan secara situasional atau kondisional. Kalau memang laki-laki sempat memasak, kenapa tidak ? Kalau perempuannya senang melap mobil, kenapa tidak? Bahkan kalau perempuan mau bekerja dan memiliki gaji besar kenapa tidak laki-laki bertugas di rumah?

Ketiga, keluarga dengan tipe antara cair dan baku. Di satu sisi masih memegang bentuk baku, tapi di sisi lain mulai mengarah ke yang cair. Contohnya, kaum perempuan ikhlas saja dengan ketentuan porsi yang lebih besar untuk keluarga, tapi tetap memiliki peluang untuk berperan di sektor publik dengan beban kerja yang disesuaikan dengan beban pekerjaan domestik. Misalnya memilih profesi dosen, yang tidak full time.

Untuk tipe keluarga yang kedua dan ketiga kini mulai banyak bermunculan di kota-kota besar.

Menurut Dr Idris Abdusshomad, pembagian kerja dalam rumah tangga tidak bersifat beku. Artinya, meski secara fitrah perempuan lebih dekat pada tugas memelihara (diri dan kehormatan keluarga, rumah, anak-anak, harta suami) bukan berarti ia tidak boleh melakukan peran publik.

Pembagian peran ini dapat dikompromikan sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam memanage rumah tangga. Dan komunikasi pasutri adalah hal yang tidak boleh diabaikan dalam mengantisipasi timbulnya masalah akibat pembagian tugas rumah tangga. Misalnya, ibu harus pergi, tapi anak-anak tetap harus ada yang menjaga. Bagaimana caranya? Ini perlu dicarikan jalan keluar. Tidak mungkin ayah pergi, ibu pergi dan anak-anak sendirian.

Lebih lanjut Dr Idris Abdusshomad mengatakan, penanganan pekerjaan rumah tangga dijalankan dengan prinsip umum “wata’a wanu ‘alal birri wa taqwa” (saling tolong menolonglah kamu dalam perbuatan kebajikan dan taqwa).

Sebab, secara tekstual tidak ada dalil yang mengharuskan laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah dan sebaliknya juga tidak ada dalil bahwa memasak atau mencuci itu pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, secara historis para salafusshalih seperti Luqman, Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan juga Imam Syafei, mengambil peran dalam menangani pendidikan anaknya.

Dalam banyak kisah sejarah digambarkan bagaimana para sahabat itu sempat pergi ke pasar dan mengadoni roti untuk keluarganya, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat sibuk dalam berdakwah dan berperang di jalan Allah. Contoh lain, Ali bin Abi Thalib begitu kasih dan perhatiannya pada fatimah yang kelelahan mengurus rumah tangga hingga memberanikan diri datang menghadap Rasulullah guna meminta seorang pelayan untuk membentu istrinya. Dan kala Rasulullah tidak mengabulkan permintaannya, maka Ali langsung turun tangan membantu pekerjaan rumah. Dan bukankah baginda Rasulullah saw. pun ke pasar, belanja, menjahit bajunya yang sobek, memperbaiki sepatunya yang rusak tanpa menunggu istrinya melakukan untuk dirinya?

Karena itu, menanggapi suami dengan tipologi yang pertama, Dr Idris berpendapat, selayaknya para suami tidak enggan mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk mengurus keperluannya sendiri. Sebab, ini sama sekali tidak akanmenurunkan kewibawaan suami di mata istri, justru menimbulkan penghargaan dan penghormatan.

Selain itu, kebiasaan saling menolong dalam urusan rumah tangga akan memberikan kesan psikologis positif pada anak-anak. Mereka akan belajar bahwa ayah dan ibu mereka bekerjasama dengan senang hati dalam menangani pekerjaan rumah. Anak-anak pun akan belajar ketrampilan baru yang bisa jadi berbeda dengan apa yang mereka lihat di luar. Dan yang penting, anak-anak akan memiliki pemahaman bahwa jika berusaha sungguh-sungguh, laki-laki pun bisa mengerjakan pekerjaan yang selama ini dianggap Cuma urusan peermpuan.

Sayangnya, pekerjaan rumah tangga oleh sebagian kalangan masih dianggap sepele dan kurang dihargai. Bagaimana mungkin dianggap sepele jika Rasulullah memberikan penghargaan yang begitu tinggi- setimpal dengan pahala jihad fi sabilillah-untuk para istri yang ‘ikhlas’ dalam menjalani peran dan fungsinya. “Laki-laki mati syahid di medan perang sama dengan seorang ibu yang mati sedang mengiris bawang dalam keadaan ikhlas, suaminya juga ridho, dia juga ridho dengan keberadaan suaminya. Subhanallah.”

Menurut Dr Idris ini adalah persepsi dan paradigma keliru yang harus diubah. Sebab, pekerjaan rumah tangga sebenarnya bukan pekerjaan yang ringan. “Kelihatannya ringan saat dilakukan perempuan, coba laki-laki yang melakukannya. Misalnya menjaga anak. Kaum perempuan mampu menjaga anak selama 5 sampai 6 jam. Laki-laki baru satu jam saja sudah gelisah.”

Kenyataan ini, mengharuskan para suami menghargai istrinya dengan mau berbagi tugas dalam urusan rumah tangga.

Pada dasarnya, pilihan tipe manapun bisa berdampak positif dan negatif tergantung pada kualitas masing-masing elemen. Dan apa pun pilihan kita, hendaknya berangkat dari sebuah negosiai dan kesepakatan secara sadar guna mencapai tujuan bersama. Jika salah satu pihak merasa tertekan karena tidak adanya kesetaraan beban, maka tentu tidak sehat.

Namun Dr Idris mengingatkan agar jangan sampai melanggar rambu-rambu syariah dalam menjalani pembagian peran ini. “Dalam Islam, seorang istri keluar mencari nafkah hanya bersifat anjuran, sunnah. Kalau suami itu wajib. Nah, dahulukan yang wajib.” Artinya, ayo saling bantu dalam urusan rumah tapi bukan berarti tukar peran!


Penulis : Teh Emil
Refrensi : Majalah Ummi No. 9/XIII
Januari-Februari 2002/1422 H
Author : PercikanIman.ORG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar