Jumat, 15 Mei 2009
Sedekah Ke Non Muslim
Sedekah Kepada Orang-orang Kafir
Para imam telah bersepakat tidak diperbolehkannya memberikan zakat kepada selain kaum muslimin, selain dari muallaf qulubuhum—mereka adalah orang-orang yang diharapkan keimanannya atau dikhawatirkan kejahatan mereka, walaupun di sana terdapat perbedaan tentang keberadaan mereka saat ini dan didalam boleh tidaknya memberikannya kepada mereka jika mereka ada—dan dalil dari tidak diperbolehkannya memberikan zakat kepada oang-orang kafir adalah sabda Rasulullah saw,”Zakat diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.” Didalam hadits Muadz ketika dia diutus ke Yaman sedangkan yang dimaksudkan adalah orang-orang kaya kaum muslimin dan oang-orang fakir mereka (kaum muslimin) bukan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.
Ibnul Mundzir mengatakan,”Konsensus para ahli ilmu menyatakan bahwa orang-orang kafir dzimmi tidaklah diberikan kepada mereka sedikit pun dari zakat harta. Sementara mereka berbeda pendapat dalam hal zakat fitrah, Abu Hanifah membolehkannya, dari ‘Amr bin Maimun dan selainnya bahwa mereka pernah memberikan bagian darinya kepada rahib (pendeta).
Malik, Laits, Ahmad dan Abu Tsaur mengatakan bahwa mereka tidaklah diberikan. Kemudian Pemilik kitab “al Bayan” memberitakan dari Ibnu Sirin dan Zuhri yang membolehkan pendistribusian zakat kepada orang-orang kafir. (al Majmu juz VI hal 246)
Akan tetapi sedekah sunnah diperbolehkan diberikan kepada non muslim sebagaimana pembolehan Nabi saw terhadap Asma binti Abu Bakar untuk berbuat baik kepada ibunya yang masih musyrik dan mengatakan kepadanya,”Sambungkanlah ibumu.” Diperkuat lagi dengan firman-Nya :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Dan firman-Nya :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Artinya : “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al Insan : 8)
Ayat tersebut adalah mutlak dan orang yang ditawan pada saat itu masih beragama dengan agamanya yang bukan islam. Mereka mengatakan bahwa Umar pernah memberikan sedekahnya kepada orang Yahudi yang didapatinya meminta-minta di jalan. (Fatawa al Azhar juz IX hal 226)
Jadi pada dasarnya dibolehkan bagi anda memberikan sedekah selain zakat kepada orang-orang non muslim akan tetapi ada baiknya anda membuat skala prioritas dalam menentukan para penerima sedekah anda, diantara urutan prioritas itu adalah :
1. Orang-orang muslim; tentunya mereka lebih berhak dari pada orang-orang kafir terlebih anda sedang melanjutkan studi di luar negeri tentunya kebersamaan dan ta’awun antara sesama mahasiswa muslim perantau lebih diutamakan daripada yang lain. Dalam memberikan kepada orang-orang muslim ini sendiri pun anda juga perlu membuat lagi urutan prioritasnya dimulai dari ketakwaannya, keilmuannya, orang yang menutupi kefakirannya, memiliki keluarga dan kaum kerabat.
2. Orang-orang kafir yang tidak memerangi islam dan membenci kaum muslimin dan senantiasa menyatakan perdamaiannya kepada kaum muslimin sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
3. Orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin—terlebih lagi jika anda berada di negara non muslim yang berarti mereka adalah mayoritas—maka ada baiknya dimasukkan kedalam prioritas terakhir atau tidaklah diberikan kepadanya kecuali darurat. Karena dikhawatirkan apa yang anda berikan kepada mereka justru membawa mudharat buat kaum muslimin, seperti digunakan untuk memerangi atau menyakiti kaum muslimin yang lain.
Merekayasa Data-data Penemuan
Ilmu adalah amanah Allah swt kepada orang-orang yang telah diberikannya yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Atas dasar ilmu inilah Allah swt membedakan derajat sebagian orang-orang yang beriman dengan sebagian yang lainnya sebagaimana disebutkan didalam firman-Nya :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya : “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah : 11)
Didalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda,”Keutamaan seorang yang berilmu dari seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di malam purnama dari seluruh planet. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan juga dirham akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Dan barangsiapa yang mendapatkannya maka dia telah mendapatkan suatu bagian yang besar.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Tentunya ilmu disini bukan hanya ilmu-ilmu yang terkait dengan agama meskipun hal ini menjadi yang paling utama akan tetapi termasuk juga ilmu-ilmu umum yang bermanfaat buat kehidupan umat manusia.
Dikarenakan ilmu yang bermanfaat adalah sesuatu yang mulia dihadapan Allah swt maupun dihadapan umat manusia maka diharuskan setiap orang yang menuntut atau mencarinya juga memiliki kebersihan baik kebersihan jiwa maupun cara mendapatkannya. Dengan begitu ilmu tersebut akan mendapatkan keberkahan dari Sang Pemberinya yaitu Allah swt.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa adab yang pertama sekali dimiliki oleh seorang yang menuntut ilmu adalah mengedepankan kebersihan jiwa dari akhlak-akhlak kotor dan sifat-sifat yang tercela.
Hal itu dikarenakan bahwa ilmu adalah ibadah hati dan pendekatan batin kepada Allah swt sebagaimana tidak sahnya shalat yang merupakan perbuatan lahiriyah kecuali dengan kebersihan batin dari berbagai hadats dan kotoran. Demikian pula tidak sahnya ibadah batin dan memakmurkan hati dengan ilmu kecuali setelah kebersihannya dari berbagai kotoran akhlak dan kerusakan sifat.
Sabda Rasulullah saaw,”Agama ditegakkan diatas kebersihan.” Termasuk kebersihan lahir dan batin. Firman Allah swt : “Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis” peringatan bagi akal bahwa kebersihan dan najis tidaklah terbatas pada yang bersifat lahiriyah. Orang-orang musyrik terkadang bersih pakaiannya, wangi badannya akan tetapi mereka najis batinnya bercampur dengan berbagai kotoran. Najis adalah sesuatu yang harus dijauhkan oleh setiap hamba. (Ihya Ulumuddin juz I hal 62)
Dan diantara kebersihan sifat seorang mahasiswa muslim adalah jujur (shidqu) dan tidak dusta. Karena kejujurannya didalam mendapatkan ilmu akan mengantarkannya kepada kebaikan padanya baik di dunia maupun di akherat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kalian berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkannya kepada kebaikan dan kebaikan akan mengantarkannya kepada surga. Dan tidaklah seorang hamba berbuat jujur atau berusaha untuk jujur sehingga ia dituliskan sebagai orang yang jujur di sisi Allah.” (HR. Bukhori Muslim)
Diantara bentuk kejujuran adalah jujur didalam perbuatan yaitu menjauhi sifat dusta termasuk kedustaan didalam mendapatkan sesuatu, seperti harta, pekerjaan, ilmu pengetahuan, gelar kesarjanaan dan lainnya.
Sepertihalnya kejujuran yang mengarahkannya kepada kebaikan maka sifat dusta mengarahkannya kepada keburukan (dosa) seperti yang disabdakan Rasulullah saw,”Sesungguhnya dusta mengarahkannya kepada keburukan (dosa) dan sesungguhnya dosa akan mengarahkannya kepada neraka. Dan sesungguhnya seorang yang berbuaat dusta maka akan dituliskan sebagai pendusta di sisi Allah swt.” (Muttafaq alaih)
Jadi tidaklah dibenarkan merekayasa hasil-hasil penelitian, penemuan, data-data riset atau yang sejenisnya karena itu termasuk didalam perbuatan yang tidak jujur atau dusta terlebih lagi apabila data-data itu adalah hasil dari menjiplak (plagiat) yang kemudian direkayasa dengan sedikit perubahan di sana sini sehingga tampak seperti hasil karyanya dan hal ini tidaklah dibenarkan.
Adapun tentang darurat atau mengambil rukhshah didalam kebohongan dan dusta maka Imam Ghazali mengatakan bahwa perkataan adalah sarana untuk mencapai keinginan maka setiap keinginan terpuji yang dimungkinkan bisa dicapai dengan kejujuran dan kedustaan sekaligus maka berdusta di sini diharamkan. Adapun jika dimungkinkan dicapai hanya dengan kedustaan bukan dengan kejujuran maka berdusta di sini dibolehkan apabila keinginan itu adalah hal yang mubah dan diwajibkan jika keinginan itu adalah hal yang wajib. (Ihya Ulumuddin juz III hal 146)
Dan diantara dalil yang digunakan adalah apa yang diriwayatkan dari Ummu Kaltsum berkata,”aku tidak pernah mendengar Rasulullah saw telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam dusta kecuali pada tiga hal : seorang laki-laki yang mengatakan suatu perkataan yang menginginkan perdamaian (antara orang yang berselisih, pen), seorang laki-laki yang mengatakan (dusta) didalam peperangan dan seorang laki-laki yang mengatakan (dusta) kepada istrinya atau seorang istri yang berbicara kepada suaminya.” (HR. Muslim)
Pada dasarnya permasalahan yang anda tanyakan tidaklah termasuk didalam tiga hal yang disebutkan oleh hadits diatas jadi jelas bahwa berbuat jujur adalah yang paling utama daripada berdusta. Namun jika memang berdusta (seperti : merekayasa data-data) adalah menurut anda adalah suatu keterpaksaan maka ada baiknya anda mengikuti tips yang diberikan Imam Ghazali berikut ini :
"Jika berbuat dusta membawa bahaya dan berbuat jujur juga menimbulkan bahaya maka hendaklah orang itu membandingkan antara satu dengan yang lainnya dan menimbangnya dengan timbangan keadilan. Jika dia mengetahui bahwa bahaya yang ditimbulkan dengan sikap jujurnya lebih berat dalam timbangan syariah daripada berbuat dusta maka diperbolehkan baginya berdusta. Dan jika hal itu (bahaya) yang ditimbulkan dari berbuat jujur lebih ringan (daripada berdusta) maka wajib baginya berbuat jujur.
"Namun terkadang didalam (suatu permasalahan) keduanya saling bertentangan dan orang itu kebingungan (dalam menentukan) antara keduanya maka lebih condong kepada kejujuran adalah diutamakan karena dusta dibolehkan dikarenakan darurat atau suatu kebutuhan yang penting dan jika terdapat keraguan didalam kebutuhan penting itu maka pada asalnya (berdusta) diharamkan dan hendaklah dia kembali berbuat jujur." (Ihya Ulumuddin juz III hal 148)
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo, Lc.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar