Sabtu, 09 Mei 2009

Umat Islam di AS mencapai enam juta jiwa. Mereka berasal dari berbagai macam suku bangsa.


Islam adalah salah satu agama yang berkembang paling cepat di Amerika Serikat (AS). Sesuai perkiraan yang dimuat dalam lembar fakta Departemen Luar Negeri AS, pada tahun 2010 mendatang, jumlah penduduk Muslim AS diperkirakan akan melampui jumlah kaum Yahudi dan menjadikan Islam sebagai agama terbesar nomor dua di negara itu setelah agama Kristen.

Masyarakat Muslim Amerika merupakan sebuah mosaik kebudayaan. Para anggotanya berasal dari lima benua. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2007 lalu, kebanyakan kaum Muslim di Negeri Paman Sam tersebut adalah imigran yang jumlahnya 77,6 persen berbanding 22,4 persen yang lahir di AS.

Penelitian itu juga menunjukkan asal usul masyarakat Muslim sebagai berikut: 26,2 persen dari Timur Tengah (Arab); 24,7 persen dari Asia Selatan; 23,8 persen Amerika keturunan Afrika; 11,6 persen lain-lain; 10,3 persen Timur Tengah (non-Arab); dan 6,4 persen Asia Timur.

Meskipun di Amerika Serikat tidak ada catatan jumlah penduduk berdasarkan agama, para pakar memperkirakan bahwa kaum Muslim di Amerika berjumlah sekitar enam juta jiwa. Perkiraan-perkiraan lain berkisar antara empat dan delapan juta jiwa. The Britannica Book of the Year memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 2000, terdapat 4.175.000 Muslim di Amerika Serikat dan 1.650.000 di antaranya berasal dari kalangan Amerika keturunan Afrika (Afro-Amerika). Rata-rata 17.500 warga Afro-Amerika ini berpindah ke agama Islam tiap tahun antara 1990 dan 1995.

Kira-kira, sepertiga kaum Muslim Amerika tinggal di kawasan Pantai Timur (32,2 persen), 25,3 persen hidup di kawasan Selatan, 24,3 persen di kawasan Tengah, dan 18,2 persen di kawasan Barat. Saat ini, terdapat sekitar 2.000 bangunan masjid di seluruh penjuru AS serta ratusan sekolah Islam dan organisasi Islam.

Selain itu, Muslim Amerika juga banyak mendirikan pusat-pusat Islam (Islamic Center) di berbagai kota-kota besar, seperti Los Angeles, San Diego, Houston, Ohio, dan New Jersey.

Empat gelombang
Ada dugaan bahwa Islam pertama kali dibawa ke Benua Amerika, termasuk wilayah Amerika Serikat, oleh kaum Muslim yang ikut serta dalam pelayaran pelaut Spanyol dan Portugal ke Benua Amerika. Dalam pelayaran itu, kaum Muslim berperan sebagai pemberi arah bagi kapal. Selain itu, sebagian kaum Muslim Morisco, yaitu kaum Muslim Spanyol yang dikejar-kejar tentara Kristen dan dipaksa masuk Kristen dalam peristiwa penaklukan kembali (reconquista) pada 1492 konon melarikan diri ke benua ini.

Kemudian, diperkirakan bahwa hampir seperlima dari budak-budak yang dibawa ke benua ini dari Afrika antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-19 beragama Islam. Merekalah cikal bakal kaum Muslim di Amerika Serikat. Tetapi, karena keadaan yang sulit untuk mengembangkan agama, banyak di antara mereka yang belakangan masuk Kristen.

Namun, terkikisnya jumlah kaum Muslim generasi awal ini tergantikan oleh adanya imigrasi kaum Muslim dalam jumlah besar yang terjadi secara regular ke wilayah Amerika Serikat sejak akhir abad ke-19. Pionirnya sebagian besar adalah orang Arab dari kekhalifahan Turki Usmani.

Para imigran Muslim datang ke Amerika Serikat dengan beragam alasan. Kedatangan para imigran Muslim ini terbagi dalam empat gelombang. Gelombang pertama imigrasi kaum Muslim ke negara ini berlangsung pada sekitar tahun 1875, dari wilayah Libanon, Suriah, Yordania, hingga Palestina. Mereka pada umumnya miskin keterampilan dan tidak cukup terdidik serta sebagian besar merupakan petani yang berharap bisa sukses secara finansial di Amerika Serikat.

Tetapi, karena kesempatan kerja terbatas, mereka terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik, pelabuhan, dan lainnya. Mereka terutama menetap di wilayah Midwest. Pengelanaan mereka kemudian menarik minat rekan-rekan mereka yang lain. Arus imigrasi gelombang pertama ini pun meningkat dan baru terhenti pada akhir Perang Dunia I.

Gelombang kedua menyusul pada 1920-an yang kemudian terhenti karena Perang Dunia II. Hukum-hukum imigrasi pada periode ini agak membatasi. Hanya orang berkulit hitam atau Kaukasia yang boleh masuk ke Amerika Serikat. Orang Arab tidak termasuk dalam dua kategori itu.

Gelombang ketiga terjadi antara pertengahan tahun 1940-an hingga pertengahan tahun 1960-an. Kaum Muslim yang masuk ke AS dalam gelombang ini lebih terdidik. Sebagian mereka hijrah karena penindasan politik. Jumlah terbesar dari mereka adalah orang Palestina yang terusir dengan didirikannya negara Israel pada tahun 1948, orang Mesir yang merasa dirugikan oleh kebijakan Presiden Gamal Abdel Nasser, dan orang Islam Eropa Timur yang mencoba melarikan diri akibat Perang Dunia II dan pemerintahan komunis.

Sementara itu, gelombang imigrasi kaum Muslim keempat bermula sekitar tahun 1967 dan masih berlangsung hingga kini. Mereka umumnya sangat terdidik dan fasih berbahasa Inggris. Mereka berimigrasi karena berbagai alasan, seperti peningkatan kemampuan profesional dan untuk menimba ilmu di universitas-universitas Amerika.

Muslim kulit hitam
Salah satu fenomena yang menonjol dari Islam di Amerika Serikat adalah keberadaan kaum Muslim kulit hitam atau yang kerap disebut dengan istilah Black Muslims dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan, beberapa tokoh Black Muslims Amerika cukup dikenal di berbagai negara. Sebut saja Malcolm X dan petinju legendaris dunia Muhammad Ali.

Organisasi Black Muslims yang juga dikenal dengan sebutan Nation of Islam (NOI) pertama kali dibentuk kali di Detroit pada 1931 oleh Wallace D Fard atau yang lebih dikenal dengan beberapa nama lain: Wallace Fard Muhammad, WF Muhammad, Walli Farrad, Farrad Muhammad, dan Prof Ford. Tokoh pendiri NOI ini secara tiba-tiba menghilang untuk alasan yang tidak diketahui pada 1934.

Posisi Wallace D Fard kemudian digantikan oleh Elijah Muhammad yang berhasil memimpin faksi terbesar dari organisasi ini dan membuka markas besarnya di Chicago. Elijah adalah putra seorang pendeta Baptis di Georgia. Di bawah kepemimpinannya, NOI menjadi organisasi kaum Muslim terpenting di AS pada tahun 1950-an.

Organisasi ini bertambah besar gaung dan pengaruhnya dengan keterlibatasn Malcolm Little. Seperti halnya Elijah, Malcolm juga merupakan anak seorang pendeta Baptis yang belakangan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X ini menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak.

Bersama dengan Martin Luther King Jr, ia menjadi kritikus paling lantang terhadap ketidakadilan berdasarkan ras di Amerika Serikat. Ia juga aktif menyuarakan hak-hak kulit hitam di negara adidaya tersebut. Namun, karena perbedaan pandangan dengan Elijah, tahun 1964 Malcolm memutuskan mundur dari NOI dan mendirikan organisasinya sendiri, Muslim Mosque Inc. Namun, ia dibunuh tidak lama kemudian.

Jika pada awal didirikan NOI hanya diperuntukkan bagi kaum Muslim Afro-Amerika; ketika dipimpin oleh Waris Deen Muhammad, organisasi ini mulai membuka diri bagi Muslim kulit putih dan mendorong para pengikutnya untuk ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik di AS. Dan, sejak saat itu, nama NOI diganti menjadi World Community of al-Islam in the West (WCI) yang kemudian diganti menjadi American Muslim Mission (AMM).

Akan tetapi, perubahan tersebut ditentang oleh beberapa faksi Muslim kulit hitam lainnya. Di bawah pimpinan Louis Farrakhan, pada tahun 1977, mereka menyatakan mundur dari AMM dan kembali ke ajaran lama Elijah Muhammad. Mereka menuntut keadilan sosial dan ekonomi bagi semua orang berkulit hitam dan memberikan suara kepada Jesse Jackson (seorang Afro-Amerika) dalam pemilu presiden Amerika Serikat tahun 1984 dan 1988.


Perkembangan Islam Usai September Kelabu

Peristiwa serangan 11 September 2001 ke menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon telah membawa perubahan besar dalam kehidupan beragama di Amerika Serikat, khususnya kaum Muslim di sana. Usai serangan itu, berbagai tudingan dilontarkan kepada Islam dan umatnya. Banyak serangan yang terjadi tehadap Muslim Amerika setelah kejadian itu walaupun terbatas pada kelompok minoritas kecil.

Menurut survei yang dilakukan pada 2007, sekitar 53 persen Muslim Amerika menganggap bahwa lebih sulit menjadi seorang Muslim di Negeri Paman Sam setelah serangan itu. Wanita Muslim yang menggunakan hijab atau jilbab diganggu sehingga beberapa wanita Muslim lebih memilih untuk tinggal di rumah. Sedangkan, yang lainnya, untuk sementara, meninggalkan aktivitas mereka di tempat kerja.

Namun, menurut Imam Masjid Islamic Center New York, M Syamsi Ali, ada kecenderungan positif warga Amerika sesudah perstiwa September kelabu itu. Sebelum 9/11, mereka acuh tak acuh terhadap agama. ''Jangankan terhadap Islam, terhadap agama kelahiran mereka saja mereka acuhkan. Gereja-gereja kosong. Agama tidak lebih perayaan-perayaan sosial semata, seperti Natal dan lain-lain. Sebaliknya, anak-anak muda mereka semakin antiagama yang dianggap kuno dan menjadi faktor keterbelakangan dan kebodohan,'' paparnya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Sebelum peristiwa 9/11, lanjut dia, Islam juga tidak terlalu menjadi sorotan. Mayoritas masyarakat tidak tahu apa atau belum pernah mendengar kata Islam itu sendiri. Media-media massa tidak terlalu banyak menyebut Islam, kecuali jika ada hal-hal sensitif yang terjadi di belahan dunia lainnya.

Setelah 9/11, semua ini berubah. Keinginan untuk tahu Islam, ungkap Syamsi, menjadi sangat menonjol, bahkan referensi Islam menjadi jualan paling laris di seantero Amerika Utara. Berbagai kalangan pun berminat untuk mendengarkan secara langsung apa itu Islam dari gereja-gereja, sinagog, ataupun perkantoran-perkantoran swasta, bahkan pemerintahan. ''Maka, dengan sendirinya, para imam memiliki akses lebih luas untuk memperkenalkan Islam kepada publik Amerika,'' ujarnya.

Kondisi tersebut, menurut Mohammad Kudaimi, anggota Nawawi Foundation (sebuah lembaga pendidikan yang berbasis di Chicago--Red), membuat umat Islam terus bertambah banyak di Amerika Serikat setelah peristiwa 9/11. ''Alhamdulillah, kondisi umat Islam di Amerika Serikat baik-baik saja. Umat Islam terus bertambah banyak di Amerika Serikat, baik sebelum maupun setelah peristiwa 11 September,'' kata dia kepada Republika di sela-sela kunjungannya ke Indonesia pada awal Juli 2007 lalu.

Bagi Kudaimi, sulit untuk memahami fenomena kontradiktif ini. Logikanya, setelah terjadinya peristiwa 11 September lalu, umat Islam banyak merasa tertekan akibat adanya tudingan macam-macam yang menyudutkan mereka. Maka, mereka akan takut masuk Islam. "Tapi, faktanya tidak demikian," tukasnya.

Pesatnya perkembangan Islam di AS itu diakui oleh Dr Umar Faruq Abdullah, ketua Nawawi Foundation. Saat ini, tak kurang dari tujuh juta warga AS yang memeluk agama Islam. Bahkan, lembaganya turut membantu para mualaf mengikrarkan syahadat dan membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik. ''Agama Islam terus berkembang di Amerika Serikat dan tetap survive,'' kata Umar.

Umar mengungkapkan, dengan keutamaan dan kelebihannya sendiri, Islam berkembang di wilayah Amerika Serikat. ''Bahkan, hingga umat Islam dalam kondisi yang teramat buruk, tapi semata-mata karena keutamaan dan kelebihan Islam, Islam pun berkembang di Amerika.'' dia/berbagai sumber/taq

By Republika Newsroom
Senin, 06 April 2009 pukul 12:17:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar