Minggu, 03 Juni 2012

Apakah berkah itu? (2)



Kata berkah banyak disebut dalam al-Qur’an dan hadits. Umpamanya yang tertera di awal surat Al-Mulk, “Maha Berkah Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam haditsnya Rasulullah mengajarkan do’a makan yang artinya, ”Ya Allah, berilah berkah terhadap apa yang Engkau rezekikan kepada kami...”
Di dalam kamus Arab, berkah memiliki arti pertumbuhan, pertambahan, kebaikan. Jika mengkaji konteks makna berkah yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits, maka berkah mengandung makna “manfaat” atau inti dari kebaikan sesuatu.

Untuk Apa Berkah?
Berkah selalu dikaitkan dengan rezeki yang diterima oleh manusia, seperti kehidupan, usia, ilmu, harta, keluarga, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Apa yang diterima oleh manusia sebenarnya bermuatan ujian dan bersifat ambigu, apakah menguntungkan penerimanya ataupun justru merugikan. Opsi tersebut terkait dengan berkah.
Untuk dapat memahami lebih jelas, kita ambil satu contoh rezeki, yaitu harta. Ada dua orang kaya, sebut saja nama mereka Abdul dan Bahlul. Meskipun kuantitas kekayaan mereka hampir sama namun kondisikehidupan mereka berbeda. Dalam keluarga Bahlul tampak kehidupan yang mewah, sering ada pesta, anggota keluarganya sering melancong ke berbagai negara terkenal, ada 2 buah mobil mahal yang parkir di garasi, namun wajah Bahlul tampak kusut, rumah Bahlul yang megah tampak suram, interaksi personal antara anggota keluarga kaku dan pragmatis, secara umum Bahlul dan keluarganya tampak tidak bahagia meskipun seakan-akan orang lain melihat mereka senang. Di lain pihak, Abdul tampak bersahaja duduk di beranda rumahnya yang megah namun tampak akrab dan ‘terbuka’, masyarakat sekitar beberapa kali berkumpul di rumah tersebut untuk pengajian atau sekedar musyawarah, masyarakat sekitar menangkap cahaya yang berseri-seri dari wajah Abdul dan keluarganya, wajah yang bahagia.
Apa yang menyebabkan perbedaan suasana tersebut? Ternyata Bahlul melihat harta sebagai tujuan sehingga dia tidak peduli bagaimana cara mendapatkan harta, yang penting harta tersebut menjadi milik mereka. Mereka kemudian menjaganya dan takut kehilangan, mereka belanjakan harta tersebut dengan sekehendak mereka berdasarkan pikiran bahwa harta yang mereka miliki adalah hasil dari jerih payah mereka, maka mereka berhak menikmati semau mereka. Mereka lupa bahwa harta materi bukan segala-galanya. Ketika hati mereka dirundung gelisah dan was-was, ketika jiwa mereka kehilangan ketentraman dan dilanda depresi, mereka akhirnya terpaksa membelanjakan hartanya untuk mencari ketenangan. Ketika kegalauan hati dan tekanan jiwa berdampak kepada penyakit fisik, mereka terpaksa membelanjakan banyak harta untuk berobat (baca artikel tentang hati di http://marufamir.blogspot.com/2011/04/mengapa-hati-ini-terasa-jenuh-dan.html).
Bagaimana dengan keluarga Abdul? Ternyata Abdul melihat harta hanya sebagai sarana atau media saja, bukan sebagai tujuan. Tujuan yang menjadi visi Abdul ternyata adalah ibadah dan menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Untuk itulah dia menggunakan harta yang dimilikinya sebagai media dan sarana. Dengan kelebihan hartanya Abdul mendidik keluarganya menjadi orang-orang shaleh yang akhirnya membuahkan kebahagiaan di hati Abdul. Kelebihan harta digunakannya juga untuk membantu orang-orang di sekitarnya dan menyebarkan kebaikan. Meskipun dia tak pernah mengharapkan respon positif dari orang yang dibantunya, namun pandangan mata bersahabat dan sikap bersaudara dari sekitarnya memberikan rasa tentram yang luar biasa di hati dan jiwa Abdul dan keluarganya. Kondisi bantin yang sangat kondusif untuk mendapatkan kondisi terbaik bagi kesehatan fisik.
Di sini tampak manfaat dari harta Abdul. Di sini tampak berkah dari harta Abdul. Sedangkan harta Bahlul tidak memiliki berkah, yang muncul akhirnya hanya masalah demi masalah.
Inilah jawaban serupa atas pertanyaan mengapa ada rumah tangga yang bisa menjadi sorga bagi suatu pasangan suami isteri, tetapi ada pula yang menjadi neraka? Di rumah tangga yang penuh berkah, masing-masing dari pasangan suami istri akan merasa tenteram setiap kali mereka pulang ke rumah, yang terucap adalah “home sweet home”, “baity jannaty”, “rumahku sorgaku”. Di rumah tangga yang kehilangan berkah, masing-masing dari pasangan suami istri akan merasa tidak betah setiap kali mereka berada di rumah, mereka merasakan suasana panas dan sesak, dan akhirnya lebih senang berada di luar rumah, masing-masing dengan kesenangannya sendiri-sendiri.
Inilah jawaban serupa untuk pertanyaan mengapa ada anak yang membahagiakan hati orang tua, tetapi ada juga anak yang menyesakkan rasa susah dan derita di hati orang tuanya? Mengapa ada makanan yang menyehatkan orang yang memakannya, tetapi ada yang justru memicu penyakit? Mengapa ada ilmu yang memuliakan pemiliknya, tetapi ada yang justru menjerumuskan pemiliknya? Mengapa ada jabatan yang meninggikan martabat pemangkunya, tetapi ada yang justru menjebloskan pemangkunya ke dalam kehinaan? Begitulah seterusnya.
Inilah penjelasan atas kebenaran ungkapan ‘biar sedikit asal berkah’. Kebenaran yang sudah terbukti dengan banyak fakta tentang orang miskin tapi bahagia di hadapan orang yang kaya raya tapi bunuh diri karena menderita; fakta tentang rakyat jelata yang dimuliakan oleh orang sekitarnya di hadapan penguasa yang dilaknat oleh banyak orang; fakta tentang kyai kampung yang didengar dan ditaati kata-katanya di depan ilmuwan besar yang dijadikan bahan joke dan anekdot.
Tentulah berkah tidak identik dengan kuantitas yang sedikit. Lebih pas jika ungkapan yang dipopulerkan juga adalah “banyak dan berkah”. Karena berkah memang terbukti bisa mengembangkan dan memperbanyak kuantitas rezeki yang diterima oleh manusia.

Bagaimana mendapat berkah?
Berkah adalah bagian dari rezeki khusus dan istimewa.
Mengingat bahwa sumber rezeki hanya Allah ar-Rozzaq, maka hanya Allah pulalah yang memiliki otoritas berkah. Dengan demikian untuk mendapatkan berkah, seseorang harus pandai memancing cinta dan rahmat dari Allah, seseorang harus membuat dirinya pantas dan layak untuk mendapatkan anugerah berkah.
Tahap awal kiat untuk mendapat berkah dapat diadopsi dari do’a minta rezeki, “Ya Allah, limpahkan bagi kami rezeki yang halal, thayyib, dan mubarok (diberkati)!”. Rumusnya adalah halal thayyib.
Kehalalan sesuatu harus mencakup dua aspek: halal zat dan halal prosedur. Jika zat sesuatu itu tidak halal maka berhentilah prosesnya. Namun jika zatnya halal, mesti dilihat dahulu apakah prosedur yang dilalui juga halal, dalam arti sesuai dengan aturan agama atau tidak. Jika tidak maka prosedur yang dilalui haram, maka sesuatu yang halal zat itu pun menjadi tidak halal. Jika kehalalan zat dan kehalalan prosedur sudah dipastikan, tinggal melihat adakah hak orang lain yang tercampur pada sesuatu yang kita miliki, jika ada, maka hak orang lain tersebut mestilah ditunaikan terlebih dahulu, sehingga sesuatu itu betul-betul sudah bersih dan sepenuhnya menjadi hak kita.
Kethayyiban sesuatu dilihat dari aspek dayaguna dari sesuatu tersebut. Makanan bisa saja halal, tetapi belum tentu berdayaguna, bagaimana kandungan gizinya? Bagaimana efek samping mengkonsumsinya? Dan seterusnya. Demikian pula dengan rezeki yang lain.
Tahap berikut dari kiat untuk mendapatkan berkah terkait dengan makna berkah itu sendiri, yaitu pemanfaatan rezeki yang diterima, apakah sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Apakah mampu mengundang cinta dan rahmat Allah?
Singkatnya mari kita perhatikan firman Allah (QS. Al-A’raf: 96),
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Jadi untuk mendapat berkah, ikuti saja kemauan Allah dan Rasul-Nya dalam mendapatkan dan menggunakan segala rezeki yang kita terima.
Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar