Kata berkah banyak disebut dalam al-Qur’an dan hadits.
Umpamanya yang tertera di awal surat Al-Mulk, “Maha Berkah Allah Yang di
tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam
haditsnya Rasulullah mengajarkan do’a makan yang artinya, ”Ya Allah, berilah
berkah terhadap apa yang Engkau rezekikan kepada kami...”
Di dalam kamus Arab,
berkah memiliki arti pertumbuhan, pertambahan, kebaikan. Jika mengkaji konteks
makna berkah yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits, maka berkah mengandung
makna “manfaat” atau inti dari kebaikan sesuatu.
Untuk Apa Berkah?
Berkah selalu dikaitkan dengan rezeki yang diterima oleh
manusia, seperti kehidupan, usia, ilmu, harta, keluarga, jabatan, kekuasaan,
dan sebagainya. Apa yang diterima oleh manusia sebenarnya bermuatan ujian dan
bersifat ambigu, apakah menguntungkan penerimanya ataupun justru merugikan.
Opsi tersebut terkait dengan berkah.
Untuk dapat memahami lebih jelas, kita ambil satu contoh
rezeki, yaitu harta. Ada dua orang kaya, sebut saja nama mereka Abdul dan
Bahlul. Meskipun kuantitas kekayaan mereka hampir sama namun kondisikehidupan
mereka berbeda. Dalam keluarga Bahlul tampak kehidupan yang mewah, sering ada
pesta, anggota keluarganya sering melancong ke berbagai negara terkenal, ada 2
buah mobil mahal yang parkir di garasi, namun wajah Bahlul tampak kusut, rumah
Bahlul yang megah tampak suram, interaksi personal antara anggota keluarga kaku
dan pragmatis, secara umum Bahlul dan keluarganya tampak tidak bahagia meskipun
seakan-akan orang lain melihat mereka senang. Di lain pihak, Abdul tampak
bersahaja duduk di beranda rumahnya yang megah namun tampak akrab dan
‘terbuka’, masyarakat sekitar beberapa kali berkumpul di rumah tersebut untuk
pengajian atau sekedar musyawarah, masyarakat sekitar menangkap cahaya yang
berseri-seri dari wajah Abdul dan keluarganya, wajah yang bahagia.
Apa yang menyebabkan perbedaan suasana tersebut? Ternyata
Bahlul melihat harta sebagai tujuan sehingga dia tidak peduli bagaimana cara
mendapatkan harta, yang penting harta tersebut menjadi milik mereka. Mereka
kemudian menjaganya dan takut kehilangan, mereka belanjakan harta tersebut
dengan sekehendak mereka berdasarkan pikiran bahwa harta yang mereka miliki
adalah hasil dari jerih payah mereka, maka mereka berhak menikmati semau
mereka. Mereka lupa bahwa harta materi bukan segala-galanya. Ketika hati mereka
dirundung gelisah dan was-was, ketika jiwa mereka kehilangan ketentraman dan
dilanda depresi, mereka akhirnya terpaksa membelanjakan hartanya untuk mencari
ketenangan. Ketika kegalauan hati dan tekanan jiwa berdampak kepada penyakit
fisik, mereka terpaksa membelanjakan banyak harta untuk berobat (baca artikel tentang hati di http://marufamir.blogspot.com/2011/04/mengapa-hati-ini-terasa-jenuh-dan.html).
Bagaimana dengan keluarga Abdul? Ternyata Abdul melihat
harta hanya sebagai sarana atau media saja, bukan sebagai tujuan. Tujuan yang
menjadi visi Abdul ternyata adalah ibadah dan menjalankan tugasnya sebagai
khalifah. Untuk itulah dia menggunakan harta yang dimilikinya sebagai media dan
sarana. Dengan kelebihan hartanya Abdul mendidik keluarganya menjadi
orang-orang shaleh yang akhirnya membuahkan kebahagiaan di hati Abdul. Kelebihan
harta digunakannya juga untuk membantu orang-orang di sekitarnya dan
menyebarkan kebaikan. Meskipun dia tak pernah mengharapkan respon positif dari
orang yang dibantunya, namun pandangan mata bersahabat dan sikap bersaudara
dari sekitarnya memberikan rasa tentram yang luar biasa di hati dan jiwa Abdul
dan keluarganya. Kondisi bantin yang sangat kondusif untuk mendapatkan kondisi
terbaik bagi kesehatan fisik.
Di sini tampak manfaat dari harta Abdul. Di sini tampak
berkah dari harta Abdul. Sedangkan harta Bahlul tidak memiliki berkah, yang
muncul akhirnya hanya masalah demi masalah.
Inilah jawaban serupa atas pertanyaan mengapa ada rumah
tangga yang bisa menjadi sorga bagi suatu pasangan suami isteri, tetapi ada
pula yang menjadi neraka? Di rumah tangga yang penuh berkah, masing-masing dari
pasangan suami istri akan merasa tenteram setiap kali mereka pulang ke rumah,
yang terucap adalah “home sweet home”, “baity jannaty”, “rumahku
sorgaku”. Di rumah tangga yang kehilangan berkah, masing-masing dari pasangan
suami istri akan merasa tidak betah setiap kali mereka berada di rumah, mereka
merasakan suasana panas dan sesak, dan akhirnya lebih senang berada di luar
rumah, masing-masing dengan kesenangannya sendiri-sendiri.
Inilah jawaban serupa untuk pertanyaan mengapa ada anak yang
membahagiakan hati orang tua, tetapi ada juga anak yang menyesakkan rasa susah
dan derita di hati orang tuanya? Mengapa ada makanan yang menyehatkan orang
yang memakannya, tetapi ada yang justru memicu penyakit? Mengapa ada ilmu yang memuliakan
pemiliknya, tetapi ada yang justru menjerumuskan pemiliknya? Mengapa ada
jabatan yang meninggikan martabat pemangkunya, tetapi ada yang justru
menjebloskan pemangkunya ke dalam kehinaan? Begitulah seterusnya.
Inilah penjelasan atas kebenaran ungkapan ‘biar sedikit asal
berkah’. Kebenaran yang sudah terbukti dengan banyak fakta tentang orang miskin
tapi bahagia di hadapan orang yang kaya raya tapi bunuh diri karena menderita;
fakta tentang rakyat jelata yang dimuliakan oleh orang sekitarnya di hadapan
penguasa yang dilaknat oleh banyak orang; fakta tentang kyai kampung yang
didengar dan ditaati kata-katanya di depan ilmuwan besar yang dijadikan bahan
joke dan anekdot.
Tentulah berkah tidak identik dengan kuantitas yang sedikit.
Lebih pas jika ungkapan yang dipopulerkan juga adalah “banyak dan berkah”.
Karena berkah memang terbukti bisa mengembangkan dan memperbanyak kuantitas
rezeki yang diterima oleh manusia.
Bagaimana mendapat berkah?
Berkah adalah bagian dari rezeki khusus dan istimewa.
Mengingat bahwa sumber rezeki hanya Allah ar-Rozzaq,
maka hanya Allah pulalah yang memiliki otoritas berkah. Dengan demikian untuk
mendapatkan berkah, seseorang harus pandai memancing cinta dan rahmat dari
Allah, seseorang harus membuat dirinya pantas dan layak untuk mendapatkan
anugerah berkah.
Tahap awal kiat untuk mendapat berkah dapat diadopsi dari
do’a minta rezeki, “Ya Allah, limpahkan bagi kami rezeki yang halal, thayyib,
dan mubarok (diberkati)!”. Rumusnya adalah halal + thayyib.
Kehalalan sesuatu harus mencakup dua aspek: halal zat dan
halal prosedur. Jika zat sesuatu itu tidak halal maka berhentilah prosesnya.
Namun jika zatnya halal, mesti dilihat dahulu apakah prosedur yang dilalui juga
halal, dalam arti sesuai dengan aturan agama atau tidak. Jika tidak maka
prosedur yang dilalui haram, maka sesuatu yang halal zat itu pun menjadi tidak
halal. Jika kehalalan zat dan kehalalan prosedur sudah dipastikan, tinggal
melihat adakah hak orang lain yang tercampur pada sesuatu yang kita miliki,
jika ada, maka hak orang lain tersebut mestilah ditunaikan terlebih dahulu,
sehingga sesuatu itu betul-betul sudah bersih dan sepenuhnya menjadi hak kita.
Kethayyiban sesuatu dilihat dari aspek dayaguna dari sesuatu
tersebut. Makanan bisa saja halal, tetapi belum tentu berdayaguna, bagaimana
kandungan gizinya? Bagaimana efek samping mengkonsumsinya? Dan seterusnya.
Demikian pula dengan rezeki yang lain.
Tahap berikut dari kiat untuk mendapatkan berkah terkait
dengan makna berkah itu sendiri, yaitu pemanfaatan rezeki yang diterima, apakah
sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Apakah mampu mengundang
cinta dan rahmat Allah?
Singkatnya mari kita perhatikan firman Allah (QS. Al-A’raf:
96),
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi.”
Jadi untuk mendapat berkah, ikuti saja kemauan Allah dan
Rasul-Nya dalam mendapatkan dan menggunakan segala rezeki yang kita terima.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar