Selasa, 19 Juni 2012

Lesbianisme dan Liberalisme








Kesetaraan gender, homoseksualitas, dan lesbianisme adalah sejumlah paham dan praktik kehidupan yang gigih disebarkan oleh kaum liberal di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Dengan membonceng wacana “kebebasan berekspresi” (freedom of expression), mereka terus meneriakkan perlunya dilakukan legalisasi praktik homoseksualitas dan lesbianisme.

Untuk itu, mereka menyatakan bahwa setiap orang berhak menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa saja, termasuk kepada “sesama jenis” (laki-laki dengan lakilaki (homo) maupun perempuan dengan perempuan (lesbi). Sebagian lain sudah “lebih maju” lagi, mengampanyekan perlunya pelampiasan seks manusia dengan binatang.

Maka, tidaklah mengherankan, kedatangan pegiat dan praktisi lesbianisme, Irshad Manji, di Indonesia (pada 2008 dan 2012) mendapatkan dukungan luas oleh kaum liberal dan media massa nasional. Di sebuah Jurnal Perempuan, Irshad Manji diberi julukan sebagai “Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad!”

Sayangnya, para pendukung legalisasi perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi) biasanya “mencatut” nama-nama ulama Muslim untuk membenarkan pandangannya. Tujuannya untuk menjadikan pandangan mereka seolah-olah mempunyai landasan dalam Islam. Salah satu dari ulama yang dicatut namanya adalah Syihabuddin Ahmad al- Tifasyi (w 560 H/1184 M) dari Tunisia, penulis buku Nuzhat al-Albab fima la Yujad fi al-Kitab, (London-Cyprus: Riad El-Rayyes Books, cet I, 1992).

Kata seorang penulis liberal, dalam bukunya tersebut, al-Tifasyi disinyalir mendukung praktik homoseksualitas dan lesbianisme dengan satu pendapatnya, “al-sahq syah wa thabi’iyyah” (“les bian merupakan hasrat seksual yang normal”). Padahal, kata al-Tifasysi sendiri, itu adalah pendapat sebagian orang. (Nuz- hat al-Albab,hal 236).

Lebih dari itu, al-Tifaysi sendiri, dalam bukunya tersebut mencatat pendapat-pendapat yang mencela lesbianisne ( dzamm al-sahq). Karena, hal itu abnormal.

Di sana dicatat bahwa salah seorang “lesbian” berkirim surat kepada kekasihnya sesama lesbian. Dia menyatakan bahwa selama ini yang dia rasakan tidak sempurna. Setelah menikmati bagaimana nikmatnya berhubungan dengan laki-laki, dia tidak ingin melepaskannya. Kemudian dia mengakhiri suratnya dengan, “Keluarkanlah rasa cintamu kepadaku dari dalam hatimu. Aku telah meletakkan ‘sesuatu’ untuk menggantikan cintamu dalam hatiku. Dan, dia tidak akan keluar (hilang) kecuali bersama nyawa.” Di sana ada cerita lain bahwa seorang lesbian ditanya, “Bagaimana malammu kemarin?” Dia menjawab, “Aku sangat selera makan daging sejak 20 tahun. Aku tidak merasa kenyang memakannya, kecuali tadi malam.” Disebutkan pula bahwa seorang lesbian takjub melihat seorang laki-laki dan akhirnya dia menikahi laki-laki terse but. (al-Tifaysi, Nuz hat al-Albab, hal 245-246).

Sayangnya, pandangan al-Tifasyi yang terang-benderang itu luput dari penglihatan kaum liberal. Karena, tujuan mereka memang hanya mencari pendapat dan legitimasi yang sesuai dengan pandangan mereka meskipun pendapat dan pandangan tersebut lemah bahkan tidak benar (palsu). Terang saja hal ini tidak dapat dibenarkan, khususnya dalam dunia ilmiah.

Selain menyelewengkan pendapat al-Tifasyi, kaum liberal juga biasanya “mengkritik” kisah Nabi Luth beserta kaumnya yang mengidap penyakit sek ual menyimpang (homo). Di mana menurut mereka, azab yang menimpa kaum Luth tidak semata-mata karena praktik seksualitas mereka yang menyimpang itu. Kaum Luth diazab oleh Allah, kata mereka, adalah karena “kekafiran”. Anehnya, kaum liberal tidak mau mengulas dan melihat kisah nabi Luth dengan kaumnya itu dari sudut fiqh melainkan dari sisi sastra seperti yang dilakukan, misalnya, oleh jurnal Perempuan.

Dalam bukunya, Allah, Liberty, and Love, Irshad Manji juga memanipulasi penafsiran kisah Luth dalam Alquran. Katanya, “Cerita Sodom dan Gomorah— kisah Nabi Luth dalam Islam—tergolong tersirat (ambigu). Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi sebetulnya bisa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambaran atas kekuasaan dan kontrol. Tuhan menghukum kaum Nabi Luth karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar.”

Mengenai kisah Nabi Luth beserta kaumnya, penting untuk mencermati pandangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha di bawah ini. Setelah memberikan contoh ayat-ayat kisah “hujan batu” – salah satunya yang diminta oleh kafir Quraisy dalam QS al-Anfal:32 — Ridha menyatakan, “Kita percaya dengan ayat-ayat ini, seperti yang ada dalam surah-surah Alquran.” (Rasyid Ri d ha, Tafsir al-Manar, QS al-Anfal:518). “Dan, ketika Allah membalikkan negeri mereka (di mana bagian atasnya men jadi bagian bawah) terjadi,” menurut Ridha, berdasarkan sunah Ilahi; baik nyata maupun secara rahasia ( al-sunan al-ilahiyyah al-jaliyyah aw al-khafiyyah) tidak menafikan posisinya sebagai satu ayat. ( Tafsir al-Manar, VIII: 819).

Ketika menafsirkan akhir ayat dari QS al-Anfal:84 itu, Rasyid Ridha menyatakan, “Seruan ini umum, meliputi orang-orang yang mendengar kisah (tentunya termasuk kita, yang membaca Alquran—Red) ini, yakni orang-orang yang mau berpikir dan mengambil pelajaran. Dan, tambah Ridha, ganjaran dari orang-orang pelaku kriminal adalah hukuman, di dunia sebelum akhirat ....” ( Tafsir al-Manar,VIII: 519).

Masih menurut Ridha, para ulama berijmak (bersepakat) bahwa “homo seks” ( al-liwathah) adalah maksiat paling besar makanya Allah menyebutnya dengan perbuatan keji (fahisyah). Banyak hadis-hadis yang melaknat pelakunya, seperti dalam Imam al- Nasa’i dan Imam Ibn Hibban serta disahihkan oleh Imam al-Thabrani dan al- Bayhaqi. Sebagian lagi disahihkan oleh al-Hakim. Ala kulli, semuanya saling menguatkan dalam hal yang sudah dikenal secara otomatis dalam agama (al-ma‘lum min al-din bi al-dharurah).

Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan satu hadis Rasulullah yang berbunyi, “Satu hal yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah: perbuatan kaum Luth.” Hadis ini disahihkan oleh Imam al-Hakim, sementara menurut Imam al- Tirmidzi sendiri dinilai sebagai hadis hasan gharib. ( Tafsir al-Manar,VIII: 519). Ini tentunya bertolak belakang dengan pernyataan salah seorang aktivis liberal, yang mengutip Muhammad Galal Kisyk dalam bukunya Khawthir Muslim fi Mas’alah Jinsiyyah (Cairo: Maktabah al- Turats al-Islami, 1995), yang menyatakan bahwa menurut al-Tirmidzi hadis tersebut adalah gharib.

Kita berharap siapa pun juga, apa lagi yang mengaku Muslim, untuk berlaku jujur dan adil serta hati-hati dalam menyampaikan tentang hukum agama, seperti homoseksualitas dan lesbianisme. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada perbedaan pendapat tentang status kejahatan homoseksual dan lesbianisme. Bahwa, keduanya merupakan kejahatan seksual yang sangat bejat dan berat hukumannya dalam Islam.


Oleh: Qosim Nurseha, adalah alumnus Pascasarjana ISID-Gontor Ponorogo

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/06/16/m5pxhy-lesbianisme-dan-liberalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar