Dalam diri
manusia secara fitrah telah tercipta sebuah “file prestasi”. Dalam arti setiap
manusia yang hidup dalam kondisi normal dipastikan mendambakan prestasi,
sekecil apapun hingga sebesar apapun. Mereka menginginkan dirinya menjadi
manusia sukses dan beruntung terhadap apa yang diinginkan. Dan sebaliknya,
tidak seorangpun yang menginginkan dirinya menjadi manusia gagal, tidak
berprestasi dalam kehidupanya.
Naluri berprestasi
dalam ilmu psikologi Islam termasuk dalam kategori “gharizatul baqak” atau
dalam bahasa psikologi konvensional masuk dalam ranah “power motive” yang di
dalamnya terdapat “achievement motive”. Naluri ini terus menerus dicari,
digenggam, dipertahankan dan terus dikejar sampai kapanpun dan dimanapun.
Bahkan demi sebuah prestasi maka seseorang siap berkorban segalanya termasuk
harta benda atau nyawa sekalipun. Banyak juga yang mengejarnya hingga
menghalalkan aneka cara demi sebuah prestasi.
Prestasi, dalam
bahasa kehidupan sering ditandai dengan pencapaian status atau kondisi yang
lebih baik. Atau setidak-tidaknya, prestasi adalah jika seseorang tetap mampu
mempertahankan status dan keadaan yang sudah dicapai. Disana terdapat tolok
ukur seseorang untuk mendefinisikan konsepsi prestasi. Bahkan dari sisi lain,
tolok ukur prestasi bisa dengan memperbandingkan diri sendiri, orang lain,
lembaga atau organisasi lain terhadap tingkat pencapaianya.
Beberapa contoh
prestasi antara lain sebagai berikut. Pertama, bagi kalangan intelektual
senantiasa memproses untuk mendapatkan ilmu yang lebih luas, menghasilkan
penelitian, jabatan yang maksimum, title ilmuwan yang lebih tinggi hingga
doktor, post doktor dan professor. Kedua, bagi pebisnis, senantiasa berproses
untuk mendapatkan harta terus menumpuk menggunung, merajai dan menguasai dari
hulu hingga hilir. Mereka mengejar makanah (posisi) sebagai bangsawan,
milyarder atau konglomerat baik tingkat nasional ataupun internasional.
Bahkan dalam rangka
mengejar prestasi tersebut di atas dalam realitasnya banyak manusia menempuh
jalan dengan menerobos rambu-rambu yang telah digariskan dalam syariah Islam
yang sempurna itu. Mereka menghalalkan segala cara yang penting mendapatkan
prestasi sohor dan tersohor, walau terkadang harus thekor. Dalam hal ini banyak
konglomerat yang dihasilkan dari bisnis perjudian, pemerasan, penipuan,
penzaliman, penserobotan, ribawi, pornografi, perzinahan, bahkan pembunuhan dan
penjajahan.
Dari apa yang
disebutkan di atas sebenarnya bukanlah prestasi yang hakiki, melainkan prestasi
duniawi yang penuh dengan cenderung atau bahkan hanya kesemuan belaka. Sebab,
status dan predikat prestasi manusia yang jika hanya semata dipersembahkan
kehidupan dunia maka mereka akan mendapatkan itu. Sementara nilai prestasi itu
tidak pernah akan bermanfaat untuk sebuah kehidupan di akherat kelak. Bahkan
dunia yang dicari itu nantinya akan menjadi siksaan di hari akherat kelak.
Konsepsi Islam
adalah keseimbangan antara prestasi dunia dan akherat. Bahkan prestasi dunia
adalah untuk prestasi di akherat. Dalam konteks ini bisa difahami konsepsi Al
Quran surat 28 Al Qashash ayat 77 yang artinya : “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”.
Bahkan, ayat
tersebut sangat menyentuh hati dimana ungkapan pertama adalah menyangkut
pencarian bekal kebahagiaan negeri akherat, dengan tidak melupakan persoalan
duniawi. Dalam logika keindahan bahasa, demikian menyentuh, semisal “…carilah
kehidupan akherat, namun jangan lupa lho…duninya…” yang berarti justru
kehidupan akherat adalah tujuan sebenarnya (ghoyah al haq), sementara dunia adalah
waktu dan tempat mencari bekal. Konteks ayat tersebut di atas jika difahami
dari sisi ilmu ushul fiqih maka, ungkapan yang pertama adalah prioritas
daripada yang berikutnya. Demikian pula terdapat hadits yang berbunyi : I’mal
lidunyaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal liakhiratika ka-annaka tamutu ghadan
(carilah olehmu kehidupan dunia seakan-akan kalian hidup selamanya, dan carilah
olehmu kehidupan untuk negeri akherat yang seakan-akan kalian akan mati besok
hari”.
Jadi, semakin jelas
bahwa prestasi dalam pandangan psikologi Islam adalah jika pencapaian
kesuksesan tersebut diniatkan, diproses dan didapatkan sesuai aqidah Islam
tanpa terpisahkan antara dunia dan akherat. Sebab dalam konsepsi Islam juga
bahwa setiap amal perbuatan mesti dicatat dan kelak akan dimintai pertanggung
jawaban. Hal ini dapat dibuka dalam Al Quran surat 99 Al Zalzalah ayat 7 dan 8:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. Oleh karena itu, dalam
konsepsi psikologi Islam bahwa yang disebut prestasi hanya terjadi jika amalan
dan keberhasilan seseorang yang mendasarkan aqidah dan syariah Islam.
Selanjutnya, sebuah
prestasi yang hakiki dalam Islam tidak hanya pada puncak pencapaian (the end
process of pipe), tetapi juga sejak dari niat karena Allah, dan selama proses
yang diproses dengan ruh syariah dan aqidah Islam, maka ketika itu pula sudah
bernilai prestasi—sebab ketika itu pula Allah Swt memberikan pahala atas segala
usahanya, sekecil apapun. Subhanallah! Dengan demikian, seorang muslim, jika
setiap amal perbuatanya adalah “based on” karena Allah Swt maka sudah masuk
dalam ranah amal prestasi hakiki.
Berbeda dengan
pandangan dunia barat yakni di luar Islam. Nilai prestasi hanya diukur dari
hasil yang nampak. Jika Nampak hasilnya adalah prestatif, jika tidak terwujud
sesuai harapan, target dan sasaran maka disebut dengan gagal tidak berprestasi.
Pandangan seperti ini adalah sangat membahayakan terutama dari sisi psikologis.
Kiranya banyak manusia yang stress, frustrasi, akhirnya menghalalkan segala
cara, depresi hingga tidak terkendali dengan melakukan bunuh diri. Yakinlah,
jika hanya dunia sebagai satu-satunya tujuan (ghayatul ghayah) prestasi maka
seumur hidup akan senantiasa lapar, haus dan dahaga dalam kehidupanya.
Mari kita lihat,
bagaimana para pengejar dunia itu hidup. Mungkin betul mereka telah prestasi
menumpuk-numpuk harta hingga trilyunan rupiah atau bahkan super mega trilyun
dolar amerika. Apa yang terjadi? Dengan prestasi itu mereka semakin lupa
daratan, semakin gila, semakin mabuk berdiri sempoyongan bagai kerasukan
syetan, dst. Kami sudah banyak mendengar dan melihat bahwa ternyata kehidupan
psikologi orang kaya banyak dihantaui ketidaktenangan. Mereka, dari waktu ke
waktu hanya berkutat pada dinamika roda bisnis yang penuh sarat dengan ancaman,
tantangan, dst. Banyak diantara ahli dunia tersebut mengalami stress, susah
tidur (insomnia), ketidaktenangan batin, dst. Banyak pula akhirnya yang lari
pada sebuah perzinahan, kolusi pembunuhan rival, dst. Sekedar tahu saja, bahwa
Rumah Sakit Jiwa di Bandung mengalami kenaikan pasien sebesar 30% adalah
berasal dari pada pengusaha yang mengalami kegagaln di era krisis Indonesia
tahun 1998.
Contoh lain, dewasa
ini banyak pejabat publik pemerintahan Indonesia hasil PILKADAL (Pemilihan
Kepala Daerah Langsung) adalah bermasalah. Ditengarai seratus persen tidak
beres, walau yang harus berhadapan dengan hukum peradilan mencapai hampir
delapan puluh persen. Kasus-kasus melanda mereka hampir semuanya adalah korupsi
dan manipulasi hak milik rakyat. Dalam konteks kasus ini, apalah artinya menjadi
seorang pejabat Bupati, Gubernur dst jika ternyata seorang maling. Kenapa
demikian? Ya, mereka dalam rangka mendapatkan prestasi sebagai pejabat publik
antara lain dengan cara haram. Akhirnya selama menjabatpun senantiasa tidak
tenang dan ketakutan disebabkan praktek korupsinya terbongkar, terus dikejar
setoran, bayar hutang saat kampanye, dan politik balas budi lainya. Sekedar
untuk ditahui saja, bahwa beberapa waktu lalu terdapat seorang walikota
meninggal dunia dengan mulut berbusa (ciri bunuh diri minum obat serangga).
Informasi teman dekatnya bahwa sebelum ditemukan tewas di kamarnya, yang
bersangkutan mengeluh masih memiliki hutang milyaran rupiah belum terbayar dan
terus dalam ancaman, sementara jabatan walikota tinggal beberapa bulan lagi.
Lain halnya dengan
hidup di bawah bendera Islam. Sebagaimana hadits tersebut di atas,
menggambarkan bahwa kaum muslimin sangat dipersilahkan untuk menempuh prestasi
setinggi langit, asalkan tetap dalam koridor untuk kehidupan dunia dan akherat.
Sejak dari nawaitu (niatnya) sudah mencari ridla Allah Swt hingga seluruh
detail kesibukan proses (proses bisnis) senantiasa based on syariah dan aqidah
Islam. Itulah kiranya, pada zaman Rasul Saw ketika itu juga muncul banyak
sahabat yang kaya raya. Sebut saja Abdurrahman Bin Auf saja telah menginfakan
hartanya sebanyak seribu ekor unta untuk biaya dan logistik perang Tabuk
melawan Romawi di kawasan utara jazirah Arab.
Keadaan tersebut
tidak bisa dipungkiri akan menjadikan seorang yang sehat psikologisnya.
Misalnya, ketika membuka usaha dengan based on syariah dan aqidah Islam maka
komoditas yang dijual statusnya halal, modal diperoleh dengan halal tanpa ada
riba, tidak melakukan suap menyuap, tidak ada penipuan, dst. Demikian halnya,
karyawan juga dikelola sesuai manajemen yang berkeadilan syar’ie; zakat
senantiasa dikeluarkan; shodaqah juga teralokasikan secara proporsional; jika
usaha untung maka semakin bersyukur, jika merugi semakin semangat dan
bertawakkal; dst. Kondisi tersebut dijamin akan membuat seseorang untuk meraih
prestasi hakiki.
Terhadap orang-orang
yang senantiasa mengejar prestasi dunia, maka Al Quran telah mengingatkanya
dalam surat 102, At Takatsur ayat 1-8 yang artinya sebagai berikut.
(1) Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.
(2) sampai kamu masuk ke dalam kubur.
(3) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).
(4) Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
(5) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
(6) Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.
(7) Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
(8) Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
(1) Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.
(2) sampai kamu masuk ke dalam kubur.
(3) Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).
(4) Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
(5) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
(6) Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.
(7) Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
(8) Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
Terhadap ayat
pertama “bermegah-megahan telah melalaikan kamu” maksudnya: bermegah-megahan
dalam soal banyak harta, anak, pengikut, kemuliaan, dan seumpamanya telah
melalaikan kamu dari ketaatan. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini
(S.102:1-2) turun berkenaan dengan dua qabilah Anshar. Bani Haritsah dan Bani
Harts yang saling menyombongkan diri dengan kekayaan dan keturunannya dengan
saling bertanya: "Apakah kalian mempunyai pahlawan yang segagah dan
secekatan si Anu?" Mereka menyombongkan diri pula dengan kedudukan dan
kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka mengajak pula pergi ke kubur
untuk menyombongkan kepahlawanan dari golongannya yang sudah gugur, dengan
menunjukkan keburannya. Ayat ini (S.102:1-2) turun sebagai teguran kepada
orang-orang yang hidup bermegah-megah sehingga terlalaikan ibadahnya kepada
Allah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah.)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah.)
Sebaliknya, Al
Qur’an juga menggambarkan bagaimanakah orang-orang mukmin yang disebut dengan
berprestasi itu. Banyak sekali ayat, namun berikut ini diantara ciri atau sifat
manusia yang berprestasi sebagaimana dalam surat 23, Al Mukminun ayat 1-11 yang
artinya sebagai berikut.
(1) Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman.
(2) (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.
(3) dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna.
(4) dan orang-orang yang menunaikan zakat.
(5) dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya.
(6) kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
(7)
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.
(8) Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.
(9) dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
(10) Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.
(11) yakni) yang akan
mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Semoga Allah Swt
senantiasa menjadikan kita hidup dalam kemanfaatan dan kebarokahan. Setiap
prestasi yang kita ingin dan wujudkan, semoga menjadikan Allah Swt meridloinya.
Semoga pula, bersama Lembaga Bantuan Psikologi Islam Indonesia, kita ukir
sebuah pemikiran dan pemahaman menuju masyarakat yang berprestasi dalam naungan
bendera Islam : “La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah”. Amin. Wassalamu
‘alakum Wr Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar