Jumat, 01 Juni 2012

Percakapan Sepasang Sahabat




Seharusnya kau bersyukur, Mei. Kau beruntung memiliki nasib yang sangat jauh lebih baik dariku. Kau tahu mengapa aku tiba-tiba ke rumahmu malam ini? Aku kabur dari rumah, Mei, dan aku datang padamu dengan gerimis yang tetap menyala di kedua sudut mataku seperti dulu saat kita masih sama-sama kelas IX SMP. Aku datang dengan kerapuhanku, Mei. Kau tahu sendirikan? Sejak peristiwa perjodohan yang dilakukan kedua orang tuaku dua tahun yang lalu terhadapku, aku menjadi sangat rapuh dan tak kunjung berhenti memandikanmu dengan hujan air mataku.

Maafkan aku, Mei, sebab aku selalu saja menyusahkanmu dengan masalah yang menimpaku, membuatmu di benci kedua orang tuaku karena aku telah mencoba nekat sembunyi di rumahmu karena tidak ingin di nikahkan oleh mereka dulu. Sekali lagi kukatakan kau beruntung, Mei, sangat! Kau mempunyai kesempatan untuk melanjutkan sekolahmu ke jenjang yang lebih tinggi, sedang aku?Aku terputus di tengah jalan hanya karena menjadi korban nafsu mereka. Percuma, Mei. Percuma aku memiliki cita-cita merengkuh dunia dan menyentuh langit, sebab, ya… lihat saja keadaanku bagaimana malam ini. Hancurkan, Mei? Hancur, Mei, sangat! Tapi aku tetap mencoba bertahan dengan keadaanku yang begini, walau pada nyatanya aku sakit dan tersiksa. Mei, boleh aku meminta bantuanmu?

“Ris, kau tetap sahabatku meski telah lama kita berpisah. Jujur aku sangat senang kau masih ingat alamat rumahku, namun aku sangat miris dengan keadaanmu saat ini, Ris. Aku akan selalu membantumu selama aku bisa. Apapun itu.”

Terimakasih, Mei. Ternyata kau masih tetap Mei yang kukenal dulu. Kau tahu, Mei apa yang terjadi dengan hari-hariku semenjak pernikahan itu terjadi? Begini, Mei, semenjak itu aku berusaha menjalani hariku dengan senyum yang kupaksakan merekah di bibirku, senyum yang seolah syurga bagi mereka, namun sebenarnya adalah retak neraka di jantungku. Aku telah berusaha sekuat mungkin untuk mencintai suamiku yang lebih pantasnya ia menjadi seorang ayah sebab usianya yang terlampau sangat jauh dariku.

Kau tahu berapa usianya saat itu, Mei? DUA PULUH TUJUH tahun, Mei. Sedang aku? Kau tahu sendirikan aku masih berusia 13 tahun saat itu. Mei, sulit bagiku untuk mencintai sosok yang menyerupai ayah sepertinya. Namun aku tak pernah lelah, aku tak ingin menjadi istri yang durhaka sebab munafik. Aku tak pernah lelah untuk tetap berusaha dan mencoba menjadi yang terbaik untuknya. Aku takut bedosa padaTuhan, Mei. Aku takut Tuhan menempatkan aku dalam neraka-Nya hanyakarena aku tak mencintainya dan tak patuh atas segala perintahnya.

Aku sudah kehilangan pendidikanku, dan biarkan saja aku menikamati hidupku yang kacau ini. Aku menuruti segala apa yang diainginkannya, Mei; Mulai dari menemaninya saat terlelap, jalan-jalan menikmati suasana pantai, memasak untuknya, dan masih banyak lagi pekerjaan rumah tangga yang kulakukan layaknya rumah tangga yang lain pada umumnya. Awalnya aku merasa terpaksa, Mei, namun mungkin karena sudah biasa dengan keadaan seperti itu aku perlahan sudah mulai biasa menerima keadaan itu semua. Selang beberapa bulan aku berhasil, Mei. Ya, aku berhasil mencintainya. Aku berhasil mencintai orang yang kuanggap seperti seorang ayah.

Mungkin semua ini karena kebersamaan kami selama ini, dan dia juga selalu penuh kasih-sayang dalam rumah tangga kami. Dia ternyata orangnya pengertian, Mei. Mengerti aku yang masih tergolong usia dini, kadang aku merasa seperti anak kecil saat manja di pelukannya. Aku bersyukur pada Tuhan, Mei. Aku bersyukur karena Tuhan menghadirkan cinta di hatiku untuknya. Dan saat itu aku sudah tidak perlu susah payah lagi hanya sekedar untuk tersenyum padanya. Aku sudah tidak perlu munafik lagi, Mei.Munafik yang menghadirkanluka di hatibanyak orang.Takperlu, Mei. Takperlu. Aku sudah tidak butuh sikap seperti itu.

Semenjak bunga-bunga tumbuh bermekaran di jantungku, hari-hariku seperti merasakan kebocoran syurga Tuhan saat itu. Senang, Mei, sangat! Saat itu aku merasa seolah-olah dunia hanya milikku dengannya dan yang lain hanya mengungsi untuk sementara. Dia sangat pengertian, Mei, sempat suatu hari suamiku menawarkan padaku untuk melanjutkan sekolah. Namun aku menolak, Mei. Harapanku untuk tetap menikmati masa sekolah sepertimu telah pupus. Sedih… memang saat harus menjadi dewasa bukan pada saatnya sepertiku, sangat tersiksa, Mei. Aku menolak bukan karena aku tak ingin sekolah lagi, atpi karena aku telah frustasi dan aku merasa sangat malu pada teman-teman sekoelasku nanti karena usiaku yang jauh lebih dewasa dari mayoritas. Aku malu, Mei, semuanya telah terlanjur terjadi, biarkan saja hidupku amburadul seperti saat ini.

“Kamu jangan seperti itu, Ris, mana Riska yang dulu ku kenal sangat tegar dan tak mudah menyerah seperti ini?”

Iya, Mei. Aku tahu. Aku tahu aku memang salah bersikap seperti ini. Dan kau benar aku memang jauh berbeda dengan aku yang dulukau tahu. Tapi coba bayangkan seandainya kaulah yang berada di posisiku! Aku tidak yakin kau mampu terhindar dari perilaku seperti apa yang aku lakukan saat itu. Kau tahu, Mei apa yang menjadi permasalahan saat ini? Jarak, Mei. JARAK. Kau tahu sendiri kan jarak antara rmahku dengan rumah suamiku?, karena aku lebih sering tinggal di Jakarta orang tuaku di Madura cemburu, Mei. Aku bingung pada mereka, dulu mereka menyuruhku menikah, tapi sekarang? Aku sudah bukan tanggung jawab mereka lagi, aku berhak ikut dan tinggal di rumah suamiku, Mei. Aku sudah merupakan tanggung jawab suamiku sekarang. Apapun yang terjadi denganku, apapun yang aku inginkan, dan segalanya yang menyangkut diriku sudah merupakan tanggung jawabnya, bukan mereka.

Pernah suatu ketika aku tinggal di Madura bersama mereka selama beberapa hari, karena kebetulan pada saat itu suamiku sedang keluar negeri sebab tugas kantornya. Aku enjoy, Mei. Di sana aku menikmati hari-hariku bersama mereka. Kukerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga layaknya seorang pembantu sebagai bentuk baktiku pada mereka. Seperti biasa, Mei, saat aku usai mengerjakan semua itu, aku relax di ruang santai sambil nonton TV. Tiba-tiba bunda datang menemaniu yang tengah asyik menikmati pop corn. Aku terkejut. Tak biasanya bunda menemaniku seperti itu. Danternyata dugaanku benar, Mei. Bunda memang memiliki maksud menemaniku saat itu.

“Nduk, bunda merasa sepi saat nduk ada di Jakarta. Ayah juga seringkali tidak dirumah karena keluar-masuk kota. Sedang bunda di rumah sendiri, nduk. Bunda hanya berteman sepi, namun akhir-akhir ini untung nduk disini, jadi agak sedikit terkurangi rasa sepi itu. Kenapa kalau nduk tetap tinggal di Madura tanpa kembali ke Jakarta? Atau… kalau perlu ceraikan saja suamimu itu agar tidak membawamu jauh dari bunda. Bunda tidak ingin jauh dari anak bunda satu-satunya, begitupun dengan ayah.”

Aku tersentak mendengar permintaan bunda saat itu, mataku membelalak, tenggorokanku seolah ada benda bulat di dalamnya, ingin rasanya aku menjambak rambutnya dan memukulinya sesuka hatiku, seadainya beliau bukan bundaku sudah ku bunuh dia sekalian. Aku sudah tidak sanggup, Mei. Aku tak faham dan tidak mengerti dengan apa yang ada dalam benak mereka. Dulu mereka memaksaku menikah dengan orang yang jauh lebih tua dariku hingga sekolahkupun terputus hanyakarena mengikuti keinginan mereka, hanya karena ingin membuat mereka bahagia, Mei, tapi kenapa mereka juga tidak mencoba untuk membahagiakan eku walau hanya sekali? Sebab aku tak ingin mereka kecewa akhirnya aku belajar untuk mencintai suamiku. Dan sekarang? Setelah aku benar-benar sudah bisa menerima dan mencintainya mereka ingin memisahkan aku dengannya. Apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku, Mei? Hah? orang tua yang menghancurkan hidup anaknya sendiri! Orang tua yang tidak pernah mengerti kehidupan anaknya!

“Sabar, Ris… sabar… kembalikan semuanya pada Tuhan.”

Aku sudah tidak sanggup lagi, Mei. Mereka telah mencoba membunuhku secara diam-diam. Biarkan saja aku menjadi anak durhaka karena tidak mengikuti keinginan mereka. Biarkan saja aku berenang di neraka Tuhan karena tidak mampu menjadi anak yang baik bagi mereka. Biarakan, Mei. Atau aku mati saja agar semua ini segera berakhir?

“Sabar, Ris… hidup memang seperti ini, penuh coba dan uji dari Tuhan. Dan Tuhan akan menguji hambanya sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya. Tuhan mengujimu seperti ini karena Tuhan tahu kau mampu dan sanggup memikul semua ini. Tuhan yakin kau akan bangkit dan kembali bangun seperti dulu lagi. Ris, yakinlah… semua masalah pasti ada jalan keluarnya, semua pasti akan kembali baik lagi seperti sediakala. Pasti, Ris. Pasti.”

Terimakasih ya, Mei. Kau memang sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Dan kau memang benar, Mei, aku harus bangkit. Aku harus bangun.aku harus kembali seperti dulu lagi. Tidak mudah menyerah saat ada masalah yang memelukku. Ada Tuhan di sampingku, Mei. Aku bersama Tuhan di dunia fana ini. Oiya, Mei, aku kesini tidak sendiri. Suamiku menugguku di depan gerbang rumahmu, dia tidak mau aku ajak kesini, malu katanya sama kamu. Aku boleh meminjam uangmu, Mei? Ada kan?

“Memangnya kamu mau kemana, Ris? Iya, aku punya uang, kau butuh berapa?”

seperti yang sudah ku katakana padamu di awal. Aku kabur bersama suamiku dari rumah, aku sudah tidak tahan lagi tinggal di Madura, Mei. Dan aku pergi tanpa membawa uang sepeserpun, jadi, aku mau pinjam sama kamu untuk sementara. Tenang saja. Pasti aku ganti kok, aku utuh hanya untuk taxi saja, aku butuh lima puluh ribu, Mei. Ada kan?

“Ya, ada. Apa tidak kurang, Ris? Kau mau kabur kemana? Hati-hati di jalan, aku tidak ingin terjadi sesuatu denganmu. Sudah… itu tidak usah kau ganti, aku ikhlas kok.”

Terinakasih ya, Mei. Maafkan aku yang selalu menyusahkanmu. Aku sekarang juga nggak tahu harus pergi kemana, yang jelas aku akan mencari tempat yang membuatku tenang dan damai. Sekali lagi terimakasih ya, Mei. Maaf. Aku harus pergi, kasihan suamiku menunggu sedari tadi di luar. Suatu hari nanti aku aka datang lagi padamu, bukan dengan hujan yang mengaliri pipiku, tapi dengan bunga yang merekah melingkari bibirku. Aku pergi, Mei.




Oleh: Ummul Khaier El-Syaf
http://oase.kompas.com/read/2012/06/01/22351118/Percakapan.Sepasang.Sahabat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar